•Day-2•

214 19 1
                                    

2RCafe. Disitulah aku menunggu. Terlalu cepat sih.

Wait. Bukan terlalu cepat, dasar bodoh.

Tapi karena memang aku tinggal di lantai tiga kafe ini.

Aku duduk di meja paling sudut sambil menyeruput coklat panas yang dibuatkan Mama di dapur kafe tadi.

"Eh, ngapain pagi-pagi udah nongkrong aja disini?" Tanya seseorang yang menghampiriku. Papa rupanya. "Udah rapi lagi bajunya. Mau nge-date yang low budget ya?"

"Apasih, Pa." Aku mendatarkan ekspresi wajahku lalu kembali menyeruput coklat panasku.

"Jadi mau ngapain, hm?" Tanya Papa yang selanjutnya malah duduk didepanku. Pastinya dngan senyum smirk-nya yang ketara.

"Paa, aku cuma mau kerja kelompok disini. Dan sambil nunggu ya aku dibikinin mama coklat panas tadi," jawabku sambil mengeluarkan gerutuan-gerutuan kecil.

"Jangan percaya, Pa," sahut seseorang yang tiba-tiba saja hadir ditengah-tengah kami.

"Papa tau, gak? Kemarin si Rion ini dapet temen sebangku cewe, sihiy!" Rian sialan. Kenapa harus disebarluaskan coba. Apalagi sama Papa. Selesai sudah hidupku digoda oleh dua manusia yang sedarah ini.

"Eeh, yang bener? Setelah menjomblo selama enambelas tahun akhirnya di usia yang ke tujuhbelas ini Rion mendapatkan pujaan hatinya juga," ucap Papa penuh dengan drama.

"Ish, lo bisa diem gak, sih?" Desisku pada Rian.

"Pa, dia cuma temen sebangku aku. Bukan pacar aku. Udahan bahas hal yang gak guna gini," ucapku bete pada Papa yang sifatnya mirip sekali dengan Rian sialan—menjengkelkan.

"Ah, aku juga baru inget!" Tiba-tiba saja cecenguk ini berteriak heboh disebelahku. "Pa, Rion lagi nunggu cewe itu pasti! Yakan? Ngaku!" Tunjuk Rian padaku dengam tatapan menjengkelkannya yang ingin sekali ku ratakan dengan aspal.

"Aish, kalo iya kenapa?"

"Woaaah! Pa, denger sendiri, kan? Duh, aku harus bilang ke Mama soal ini!" Segera saja ia pergi dari hadapanku dan ngacir ke dapur—dapat kupastikan 100% karena mama sedang ada disana.

"Beneran nge-date?" Tiba-tiba saja pertanyaan yang Papa berikan berubah menjadi serius.

Eh? Situasi macam apa ini?

"Cuma kerja kelompok, Pa."

Hening.

"Yaah, penonton kecewa," rengek Papaku yang menunjukkan raut wajah kecewa yang dibuat-buat.

Dasar drama king.

"Jangan kayak Rian deh, Pa," ucapku padanya setengah jengkel.

"Lah, kayaknya Rian deh yang ngikutin Papa."

Ah, iya juga ya.

"Yaa pokoknya gitu deh. Kenapa sih Mama bisa mau sama Papa yang annoying gini?" Aku terkekeh pelan. Jika kalian berpikir aku adalah anak yang durhaka karena telah melukai perasaan Papaku dengan menyebutnya annoying, kalian salah besar. Ia malah senang jika ada yang menyebutnya annoying. Serius, aku tak berbohong.

"Mamamu tuh, dulu pendiem banget dikelas. Yaudah, kayak cerita telenovela-telenovela gitu, karena sering Papa gangguin, eh taunya jadi malah suka-sukaan," cerita Papa sambil senyum-senyum gak jelas.

"Cerita yang klise," jawabku singkat.

"Memang. Tapi asal kamu tau. Yang kamu bilang klise itu, ada beribu kebahagiaan yang hadir di dalamnya. Sebagian orang berfikir kalo sesuatu yang klise adalah hal yang membosankan. Namun selagi hal yang klise itu bisa membawa kebahagiaan, kenapa harus ditolak? Toh, pahit-manisnya juga kita yang ngerasain, kok," ucap Papa panjang lebar dan menohokku kian dalam.

Introvert Girl [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang