Davin membanting ember pink ke sembarang tempat. Melangkah tajam ke arah meja makan.
"Nona Hwang.."
Davin mengabaikan panggilan dari pelayannya. Sementara pelayannya mengekor di belakang wanita itu, menatap wajah kesal pada sudut kening majikannya.
"Jangan tanya," ultimatum Davin.
Wanita itu sebenarnya gatal untuk bertanya, tapi ia tidak memilih untuk melakukannya.
"Maafkan saya. Seharusnya saya memastikannya terlebih dahulu."
Kim Yeong Woo sudah bekerja untuk Hwang Davin selama lebih dari dua puluh tahun. Di pertengahan usia enam puluhan, wanita itu masih diberi kesempatan mengurus rumahnya. Meski sekarang tugasnya diperingan, hanya sebagai Kepala asisten rumah tangga yang berkerja sedari pagi hingga sore hari. Sejak menikahi Kim Namjoon, wanita itu sudah tidak lagi melihat senyum cerah dari Nonanya. Sempat ia memilih untuk pergi dan tinggal bersama anak dan cucunya di Hongseong. Namun sepertinya Hwang Davin lebih membutuhkan perhatian dan bantuannya.Jika saja ia tidak terlambat datang pagi ini, ia bisa membangunkan Tuan-nya dan mengusir perempuan itu lebih awal, sebelum Nona-nya melihat.
"Kau tahu ini bukan kali pertamanya."
Jawabnya tanpa memandang Bibi Woo, sebutnya. Sudut bibir perempuan itu meninggi, tangannya sibuk mengoleskan selai coklat pada roti yang ada di depannya."Bibi, meski aku tidak pernah tau rasanya kasih sayang seorang Ibu, tapi aku sudah menganggapmu seperti ibuku di rumah ini. Jadi, berhentilah bilang maaf."
Bibi Woo berbalik menatap perempuan itu. Pandangannya penuh iba, namun ia tidak bisa mengucap sepatah katapun tentang rasa simpatinya. Ia sangat mengetahui nona-nya. Perempuan bernama Hwang Davin itu tidak suka dikasihani orang lain. Baginya, rasa simpati dan kasih sayang seseorang terhadapnya merupakan timbal balik atas apa yang telah ia dilakukan selama ini.
Pada penglihatannya, Davin terlihat baik-baik saja. Nona-nya tetap berekspresi bagai batu es jika dihadapkan dengan permasalahan Namjoon.
"Hanya kau yang paham situasi sebenarnya di rumah ini. Aku mohon padamu untuk-"
"Tidak menceritakan hal ini ke siapapun kan, Nona? Saya paham." ujarnya, memotong pembicaraan perempuan itu, sebab bukan kali pertama baginya mendengar kalimat tersebut.
Davin mengalihkan pandangannya kepada Bibi Woo, ia mengangguk, menata kembali roti selai yang tadi ia siapkan ke atas tiga buah piring kecil. Sementara Bibi Woo membantunya menuangkan teh citrus dan menyiapkan buah stoberi kesukaan Davin.
Aktivitas keduanya berhenti ketika mendengar langkah kaki bersepatu heels yang dengan cepat menuruni anak tangga. Bibi Woo bergegas meninggalkan meja makan dan pergi ke ruang belakang setelah mengetahui pemilik langkah tersebut.
Park Sera, dengan pakaian berbau alkohol yang ia gunakan semalam, berusaha melangkah dengan cepat untuk keluar dari rumah itu. Apalagi saat pandangannya bertemu dengan Hwang Davin. Wajah lusuh tanpa riasannya menjelaskan betapa malunya ia saat ini.
Davin menaikkan satu sudut bibirnya. Melangkah menuju salah satu kursi pada meja makannya, menarik kursi itu sembari memandang perempuan yang mematung di depannya.
"Duduklah, aku menyiapkannya untukmu. Tamu tidak boleh pergi dengan perut kosong, bukan?"
Park Sera menatapnya kesal. Ia hanya memalingkan wajahnya dari tatapan tajam Hwang Davin. Kemudian ia berjalan kembali dengan cepat, menjauh dan membuka pintu depan rumah dengan kasar.
Davin tertawa datar, menyadari betapa lucu dan menggelikannya pemandangan yang ia lihat saat ini. Ia pun sebenarnya tidak tahu apa yang ia tertawai, Park Sera atau nasibnya.
"Pagi, sayang." Lamunannya sirna tatkala sapaan dan sebuah kecupan mendarat pada pucuk kepalanya. Davin menoleh.
"Joon?" ucapnya, mendenguskan nafasnya pelan.
Davin menatap Namjoon yang tengah melangkah menuju bangku yang biasa ditempatinya untuk makan. Namjoon langsung melahap roti isi yang ada di depannya, menghiraukan Davin yang sedari tadi mematung menatapnya.
Skenario macam apa lagi ini? pikirnya dalam hati.
Akhirnya, perempuan itu memilih untuk duduk di bangku yang tadi ditariknya. Ia menggulung lengan blazer abu-abu yang ia kenakan, kemudian melahap sarapannya.
Suasana hening menyelimuti keduanya, hanya ada bunyi denting garpu dan pisau yang kadang bersentuhan. Namjoon menatap perempuan di seberangnya. Setelah kejadian tadi pagi, kepalanya terus berputar untuk memikirkan topik apa yang ia akan bicarakan pada istrinya kali ini.
"Hwang Davin?"
"Hmm?" perempuan itu hanya menjawab singkat dan lebih memilih fokus pada makanannya.
Namjoon berdehem, "kau, masih ingat alasan kita menikah, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Should I Stay?
FanfictionKim Namjoon memanfaatkan latar belakang Hwang Davin demi menyelamatkan reputasinya. Sementara Hwang Davin terus mencari keberadaan Kim Seokjin selagi menjalankan misinya. Sampai mereka berada di satu titik yang mengharuskan keduanya untuk memutuska...