Selama perjalanan sepasang kekasih itu diam seribu bahasa. Yang bermata sipit fokus mengemudi dan yang lebih kecil sesekali melihat keluar jendela di sampingnya, lalu menatap depan dengan pikiran yang berkecamuk.
Sampai di rumah mereka juga masih diam. Plan setelah turun dari mobil segera masuk lebih dulu. Sedangkan pasangannya memakirkan mobil dengan aman lalu menyusul masuk.
Plan duduk di sofa dengan memainkan ponsel. Berusaha tenang walau hatinya sudah tidak bisa berkompromi lagi. Mean melewatinya begitu saja. Seolah keadaan normal seperti biasa, ia berjalan santai menuju dapur.
Hari ini Mean sangat lelah. Dia ingin membersihkan diri lalu istirahat, sebab besok masih ada jadwal yang harus ia jalani. Saat memasuki kamar, ia menemukan Plan sudah berada di ruangan tersebut. Ranjang king size menjadi tumpuan badan pria yang hobi masak itu.
"Kau masih akan terus mendiamkanku, Mean?" Plan membuka suara lebih dulu. Tak ada jawaban dari orang yang ditanya.
"Baiklah, kalau begitu biar aku yang berbicara. Kau cukup mendengarkan," ucap Plan lalu mengambil nafas dalam dan menghembuskannya.
"Mean, aku tidak tahu apa yang salah dari hubungan kita akhir-akhir ini. Kita tidak seperti dulu. Kau tidak lagi mempercayaiku. Maaf jika aku membuat kesalahan dan membuatmu tidak lagi nyaman. Setidaknya aku tulus mencintaimu dan akan terus seperti itu. Aku tidak akan menanyakan apapun tentang dirimu, tetapi akan selalu menunggumu untuk kembali mempercayaiku." Plan menahan tangis saat berbicara. ia mencoba tenang di tengah hati yang perih. Plan mendekati Mean dan menatapnya lekat.
"Bisakah aku mendapatkan ciuman sekali saja, Mean?" pinta Plan kepada orang yang dicintainya itu.
Plan perlahan mendekatkan wajahnya dan mulai mengaitkan bibirnya dengan bibir Mean. Tangannya meraih tengkuk sang kekasih setelah kakinya berjinjit mengimbangi tinggi badan lawannya.
Mean menerima ciuman itu, bahkan ia mulai mendominasi dan meraih tubuh mungil di hadapannya. Sudah berapa lama mereka tidak merasakan sentuhan seperti ini?
Rindu ... perasaan ini yang menguar disaat mereka kini saling menautkan lidah dan saling mengulum bibir pasangannya. Lebih dalam dan lebih kuat, hisapan dan gigitan di bibir keduanya semakin intens. Deru nafas mulai tidak beraturan. Tangan mereka pun semakin lincah bergerilya di tubuh lawannya.
Kenikmatan ciuman itu harus terhenti saat Plan menarik diri. Dia melepaskan bibir dan pelukannya, lalu tersenyum. Mean menatapnya nanar, namun tidak mengerti makna di balik senyum pacarnya itu.
"Terimakasih, Mean. Aku masih bisa mempercayaimu." Plan menjauh dari Mean dan berhenti di pintu kamar. "Aku mencintaimu, Mean ... tanpa mengharapkan apapun darimu," tukasnya, lalu menghilang di balik pintu.
Mean terpaku mendengar ucapan Plan untuk beberapa saat. Dan ketika sadar ia segera berlari menyusulnya. Namun terlambat, Plan sudah melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah. Tidak tahu kemana tujuannya.
Mean menyesali diamnya selama ini. Dia menyadari sudah menyakiti orang yang sangat dicintainya begitu banyak. Seharusnya dia yang meminta maaf, bukan Plan. Dan kesalahannya tidak pantas mendapatkan ampunan dari Plan.
.
.
.
"Mean, ini dokumen tawaran kerjasama dari perusahaan TEXXXXX. Pelajari dulu, jika kau oke, kita bisa langsung menemui mereka besok," kata sang manajer yang tidak mendapatkan respon dari Mean.
Pria bermata sipit itu hanya memandangi layar poselnya. Sebuah foto dua orang laki-laki yang saling tersenyum berpandangan. Tidak ada yang istimewa dari foto tersebut, kecuali salah seorang di sana adalah orang yang spesial di hati orang lainnya yang sedang memandanginya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meschever
Fanfiction'Do you know?' 'That I love ....' 'What ... (feel) pain' 'you'