Part 5

356 48 8
                                    

"Plannn!" teriak Mean berusaha melepaskan diri dari kuncian tangan kekar pengawal ayah Plan yang mulai mengendur.

Mean berlari ke arah Plan setelah berhasil lepas dari pengawal itu. Secepat kilat ia mendorong tubuh kekasihnya ke tepi jalan. Dan ...

Brukkk

Semua orang terbelalak melihat apa yang terjadi di jalan raya itu. Terlebih Plan yang berada dekat sekali.

"Mean!"

Suara Plan bergetar. Tubuhnya lemas saat menghampiri badan yang tergeletak tak berdaya setelah sebuah truk menabraknya. 

Diraihnya tubuh lunglai di jalan raya tersebut yang sudah berlumur darah. Ia berusaha membuat Mean sadar dan membuka mata. Namun orang yang kini di pangkaunnya itu tetap memejamkan mata.

Plan menoleh kanan kiri meminta bantuan, tetapi tidak ada yang membantunya. Plan semakin sedih melihat badan Mean mengeluarkan darah terus. Segera ia menelpon ambulance untuk segera datang.

Tanpa menunggu lama, sirine ambulan terdengar. Plan segera membantu memasukkan Mean ke dalam mobil rumah sakit yang telah berhenti sempurna tersebut.

Saat ia akan naik ke mobil untuk menemani kekasihnya, lengan Plan di cengkram oleh Tuan Kijworalak. Ia tahu arti cengkraman itu.

"Lepaskan!" suruh Plan.

"Kau tak perlu menemaninya," balas ayah Plan yang sorot matanya tidak kalah tajam dengan tatapan Plan saat ini.

"Minggir! Mean butuh penanganan cepat." Plan mengibaskan lengannya dengan kasar.

Ibu Plan mencegah suaminya bertindak lebih jauh. "Biarkan dia. Sudah cukup kau bertindak dengan keegoisanmu," ujarnya pada sang suami, lalu mengajak para pengawal untuk segera ke mobil.

Plan terus menggenggam tangan Mean yang lemah itu selama perjalanan ke rumah sakit. Bahkan ketika ambulan berhenti di depan pintu masuk penerimaan pasien pun, Plan masih menggenggam erat tangan kekasihnya.

Dokter profesional segera dihubungi untuk datang ke ruang ICU. Luka dan darah di sekujur tubuh Mean di bersihkan. Plan menunggu di luar ruangan dengan cemas.

Orang tua Plan datang tergopoh-gopoh. Mereka menghampiri Plan yang mondar-mandir di depan pintu ruang ICU.

"Bagaimana keadaannya, nak?" tanya nyonya Kijworalak.

"Dokter baru saja masuk untuk memeriksanya," jawab Plan sambil memeluk ibunya.

"Kau bisa meninggalkannya di sini," ucap ayah Plan yang membuat ibu dan anak itu melepaskan pelukannya.

"Saya akan tetap di sini," timpal Plan.

"Kau tidak terluka, sayang." Ibu Plan sangat lembut dan penuh perhatian. Dia mengkhawatirkan anaknya dan juga Mean.

"Saya tidak apa-apa, Mae. Saya tetap di sini saja," tegas Plan.

Dokter keluar dari ruangan tersebut. "Pasien belum sadar. Benturan di bagian kiri tubuhnya cukup  keras. Ada sendi di lengannya yang bergeser. Kami harus memeriksanya lebih lanjut," penjelasan sang dokter.

"Lalu kapan ia akan sadar, Dok?" tanya Mae khawatir.

"Kami tidak bisa pastikan. Kita lihat saja perkembangannya," jawab dokter tersebut.

"Baik, Dok. Kami mengerti," balas Plan.

"Kalau begitu saya permisi dulu." Dokter tersebut meninggalkan Plan dan orang tuanya diikuti perawat.

"Nak, kau sungguh tidak apa-apa?" tanya sang ibu

"Iya, Mae. Aku baik-baik saja. Ini semua berkat Mean. Dia menyelamatkanku hingga dia sendiri seperti ini," sesal Plan. Air matanya jatuh membasahi pipinya.

MescheverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang