Bab tiga

18 6 10
                                    

Budayakan nge Vote sebelum baca dan ngoment setelah baca my story :)

Happy reading.

Sedari tadi Astra tidak berhenti meniup telapak tangannya sendiri akibat menahan bola kasti secara tiba-tiba. Tangannya terasa panas dan kebas, Cowok itu melakukan gerakan menggenggam dan melepaskan untuk meredakan rasa nyeri di telapak tanganya.

Cowok itu berjalan tak tentu arah, semua orang yang berlalu lalang melewatinya selalu meliriknya secara terang-terangan, Astra telah biasa dilihat seperti itu, tapi cowok itu tidak menggubris, wajahnya selalu tampak datar dan dingin.

Rahang yang tegas itu mengetat, sedari tadi ruang kepala sekolah tidak dapat ia jumpai, sudah lama ia berputar-putar di lingkungan sekolah tapi tetap saja ruangan itu tidak dapat ia temukan. Cowok itu tidak bertanya pada siapapun karena dia yakin akan menemui kepala sekolah tanpa bantuan orang lain, karena Astra tidak terlalu suka berinteraksi dengan orang asing, Cowok itu lebih memilih untuk mencarinya sendiri.

Penampilan Astra sangat mencolok, dengan baju putih yang keluar dari celana abu-abunya, sabuk berkepala naga mengintip di balik baju putihnya, dua kancing atas terbuka sehingga memperlihatkan kaos hitam di dalamnya. Rambut hitam legam yang acak-acakan, jam mahal melingkar di lengan kirinya, sepatu snekers yang bewarna donker dengan palet putih. Di sebelah bahu tegapnya menggantung tas bewarna hitam  yang hanya berisi jaket, baju kaos, dasi,dan hape. Sangat tidak niat emang.

Seseorang menepuk pundaknya pelan, sehingga membuat Astra menoleh. Alis tebal itu mengernyit.

"Lo anak baru ya?" tanya seseorang itu menyunggingkan senyum.

"Hmm." Astra menjawab acuh.

"Kenalin Gue Derren!!" Astra menatap Derren acuh.

"Lo pasti lupakan sama gue?!" Derren kembali bersuara, cowok itu mengeluarkan sesuatu dari saku celana.

"Ini punya lo bukan?" Derren memberikan sebuah gelang kepada Astra.

Astra menatap gelang itu dan Derren secara bergantian.

"Lo yang nolongin gue di club waktu di Amerika," Derren mengingatkan Astra, perlahan-lahan kerutan di dahi Astra semakin memudar. Ia sudah ingat.

Menurut Astra ia sama sekali tidak menolong Derren, ia hanya menolong dirinya sendiri, karena Derren yang dikeroyok orang tepat disampingnya, dan Astra terkena tendangan oleh orang yang mengkroyok Derren makanya Astra melampiaskan kekesalannya waktu itu kepada orang orang yang mengeroyok Derren.

Itu gelang kesayangan Astra. Cowok itu mengambil gelang itu dari tangan Derren lalu memakainya.

"Lo dapet gelang gue di mana?" tanya Astra.

Derren terkekeh, "Waktu lo nolong gue, gak sengaja gelang lo jatuh, terus setelah semuanya lo buat tumbang, eh lo main pergi aja, gue udah berusaha memanggil lo tapi lo udah terlanjur jauh."

Astra mendengarkan.

"Lo keren Bro waktu itu, gue salut sama lo, seakan-akan mereka hanya kulit kuaci yang harus dibasmi buat lo," Derren mengajak Astra kekantin.

Astra menurut.

"Gue kira waktu itu adalah hari kematian gue, karena gak cuma satu atau dua yang nonjok gue, mereka 7 orang Man,"

Derren celingak celinguk mencari tempat duduk. Cowok itu menyadari sedari tadi semua mata terutama cewek-cewek menatap Astra ter pesona, Derren saja yang cowok mengakui ketampanan Si anak tunggalnya Remon itu. Tapi Derren tidak peduli, ia kembali bercerita.

"Gue dihajar habis habisan, kalo lo gak datang nolongin gue, tamat lah riwayat gue."

Derren dan Astra memilih duduk di pojok karena hanya itu satu-satunya meja yang kosong.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Yoss(A)straTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang