Klimaks

103K 489 2
                                    

Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu. Ada yang berubah. Sejak hari itu, Pram tidak pernah bicara kepadaku. Aku pun juga tidak pernah bicara kepadanya. Biasanya kami saling mengobrol dan diskusi dalam banyak hal, terutama cinta. Sekarang kok rasanya hidupku hambar ya? Mungkinkah karena disini aku merasa seperti kesepian karena tidak ada keluargaku, sehingga mengandalkan Pram untuk menjadi teman curhatku? Ataukah memang cinta kepada Pram mulai bertumbuh di hatiku? Entahlah, aku juga tidak mau ambil pusing.

TUUTT... TUUTT... Ada SMS masuk di HP-ku. Sudah malam jam sepuluh begini, siapa ya? Ah, mungkin dari suamiku. Aku segera membuka SMS di HP-ku.

“Hai, sayang. Lagi apa?” SMS dari Pram.

Ah, akhirnya dia SMS juga. Haduuh, pake sayang-sayangan segala pula. Dasar.

“Hai, cinta. Lagi tiduran aja di kamar. Kamu?” Balasku.

Eh, gawat. Mengapa aku tanpa sadar membalas SMS-nya menggunakan panggilan cinta? Sungguh, ini diluar kehendakku. Tok... Tok... Tok... Ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku segera membukakan pintu kamarku. Ternyata Pram. Waduh, kenapa Pram datang kesini? Seorang pria tampan, bertubuh besar, dan berkulit coklat yang ada dihadapanku ini adalah seorang yang sudah memenuhi sebagian hatiku sekarang. Hatiku sungguh berdebar-debar hanya dengan berdiri di hadapannya.

“Eeh... P... Pram... Ngapain... kamu kesini?” Tanyaku dengan terbata-bata.

“Hmmm. Kangen. Udah seminggu sih kita ga ngobrol.” Kata Pram dengan datar.

Deegg... Hatiku begitu berdebar-debar mendengar kata kangen dari Pram. Tidak hanya berdebar-debar, aku juga bisa merasakan perasaan senang yang mengamuk dihatiku, dan aku tidak bisa mengontrolnya.

“Ngopi yuk.” Kata Pram.

Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku, itupun aku merasa diluar kesadaranku. Tidak salah lagi, gejala ini... memang cinta sudah mulai menguasai diriku. Gawat, entah kenapa pikiran dan tubuhku tidak mendengarkan perintahku. Aku keluar bersama Pram menuju kafe tempat biasa kami ngopi bareng. Pram pun menggandeng tanganku. Lagi-lagi perasaan berdebar-debar kembali berdegup di jantungku. Aku pun juga tidak kuasa menolak gandengan tangan dari Pram. Kami terus bergandengan tangan sampai cafe.

Kebetulan cafe yang kami datangi itu buka 24 jam, sehingga walau jam 22.30 begini pun masih buka. Cafe ini tidak ramai, mungkin karena ini hari Senin, dan besok hari Selasa yang adalah hari kerja. Pram segera memesankan capuccino untukku, sedangkan dia memesan espresso.

“Espresso melulu. Nggak bosen apa?” Tanyaku.

“Lah, kamu sendiri capuccino melulu.” Kata Pram.

“Kan kamu yang pesenin.” Kataku.

“Habis kamu cuma suka capuccino. Mana mungkin aku lupa tentang minuman favorit orang yang kusayangi.” Kata Pram.

Aih, gombal teruusss... Tapi harus kuakui, dari dulu sampai sekarang, pemilihan kata yang digunakan oleh gombalannya itu tidak pernah salah. Tidak pernah sekalipun jantungku tidak berdebar-debar mendengarkan gombalannya. Singkat kata, kami terus mengobrol. Obrolan kami hanya sebatas obrolan ringan saja. Pram selalu menyisipkan kata-kata gombalan di obrolan kami setiap ada kesempatan. Lama-lama, aku pun jadi terbiasa dengan gombalannya. Yah, entah terbiasa, atau aku sudah mulai terjerat dengan cinta akibat digombali terus menerus.

“Emang kamu yakin Pram cinta sama aku? Kamu kan udah punya istri.” Kataku.

“Yakin kok.” Kata Pram.

“Dasar, nggak setia kamu.” Kataku.

“Tapi, kalo aku menyangkal diriku sendiri, artinya aku ga setia sama rasa cintaku kepada kamu dong? Dengan demikian, sama aja ga setia.” Kata Pram.

Kesetiaan, Cinta, Integritas dan Perselingkuhan (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang