Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al Mundzir mengatakan: “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad Darimi di atas dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama:
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
Allah SWT berfirman:وَ يَسْــئَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۙ قُلْ هُوَ اَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَآءَ فِى الْمَحِيْضِ ۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
"Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, Itu adalah sesuatu yang kotor. Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 222)Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, atau tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukum (larangan menjauhui istri) adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam shahih Muslim bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang haid ketika dalam keadaan Ihram untuk umrah:
“lakukankanlah apa yang dilakukan jamaah haji, hanya saja jangan melakukan thawaf di Ka’bah sebelum kamu suci” (HR. Muslim: 4/30).
Kata Aisyah: “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Dalam shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah:
“Tunggulah, jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu, ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha’ dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ini masalah penting, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib difahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan, dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya, dan siapa yang berhak menerimanya, tentang puasa; waktu dan masanya, tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etika makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami-istri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat,, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum mu’minin.