11✴

2.9K 343 15
                                    

Matahari berseru terang menghangatkan pagi hari setelah menggantikan tugas sang bulan semalam suntuk. Orang-orang bangun untuk beraktivitas seperti kebiasaan mereka masing-masing. Tak terkecuali Renjun.

Pemuda keturunan Tiongkok itu kini sudah bersiap untuk pergi sekolah, seragamnya sudah rapih sejak pukul 07.00, yang mana dua menit lagi Renjun akan berangkat sekolah.

"Pagi, ma, ba!" sapanya riang.

"Pagi juga jagoan!" balas sang ayah sambil mencubit pipi gembil Renjun.

"Pagi untuk si mungil keluarga mama!" mama Sin menyolek hidung bangir Renjun.

"Iih! Mama! Aku enggak mungil ya! Kak Jeno sama kalian aja yang kegedean badan!" protes Renjun, pipinya menggembung.

"Apaan nih, pagi-pagi nama kakak udah disebut-sebut? Ngefans? Aduh, please deh! Jangan rebutin aku, aku tau aku itu ganteng, ta-"

"-bang, bacot anda." potong Renjun dingin.

"Ewh! Kakak kepedean, bukan anak bunda nih!" mama Sin menggoda Jeno yang sudah cemberut.

"Kamu siapa? Anak baba kah?" giliran sang kepala keluarga yang mengejek si sulung keluarga Huang.

"Jaehyun! Udah! Jangan tambah digodain dong, tuh Jeno-nya udah cemberut." sang mama menegur sambil menahan tawa.

"Mama kalo mau ketawa jangan ditahan, nggak baik. Ntar keluarnya lewat hidung, kan bahaya." kata Jeno memelas. Pasrah dia dikerjai keluarganya.

"Njun.. Kok diem aja, tumben?" tanya papa Huang.

"E-enggak apa-apa kok, ba." elak Renjun.

"Kamu mau bohong sama baba?" papa Huang tersenyum lembut.

Mama Sin dan Jeno ikut memperhatikan si mungil yang tengah terdiam, biasanya dia yang sering bersuara nomor satu untuk menggoda kakak-nya, tapi sekarang dia bungkam dengan pandangan kosong. Tadi masih riang, kenapa tiba-tiba?

Renjun menghela nafas putus asa. "Aku bakal kalian buang nggak?"

Begitu pertanyaan keluar dari mulut Renjun, ketiga orang yang memperhatikannya bungkam. Apa maksud dari perkataan Renjun? Membuang mahluk seperti Renjun? Oh yang benar Saja! Itu hal mustahil.

"Kamu ngomong apa sih, dek? Yang jelas, kita nggak mungkin buang kamu." ujar Jeno.

"Udah ya, Renjun pamit. Mau berangkat." Renjun bangkit dan memakai tas sekolahnya yang ada di senderan kursi.

Kaki kecilnya pergi meninggalkan ruang makan yang di penuhi keheningan serta tanda tanya, ada apa dengan si kecil mereka hingga mengajukan sebuah penuntutan seperti tadi?

***

Gerbang besi menjulang tinggi di depan Haechan. Hari ini ia terlambat karena bangun kesiangan. Dengan malas ia langkahkan tungkai miliknya ke arah pak satpam.

"Pagi, pak!"

"Loh? Kamu kenapa baru berangkat? Gerbangnya sudah di tutup, apa kamu engga bisa melihatnya?"

"Gini deh, pak. Saya murid baru disini, kalo bapak biarkan saya masuk, bapak boleh lapor besok ke guru. Tapi saya minta izin dibolehin masuk, saya laper banget, pak!"

"Ya sudah, kamu boleh masuk! Besok lagi kalau kamu terlambat saya kasihin kamu langsung ke guru piket."

"Makasih, pak. Tapi saya nggak yakin, saya pasti bakal mengulangi apa yang saya lakukan, dengan senang hati saya terima hukumannya!"

Setelah memijak halaman sekolahnya, yang Haechan pikirkan hanya satu tempat. Yaitu kantin. Karena demi Tuhan! Perutnya keroncongan sejak tadi. Haechan berjalan menuju kantin dengan santai, koridor sepi. Yah.. Dia berangkat saat jam pertama sedang berlangsung, bagaimana tidak sepi.

Setelah mendapatkan yang ia inginkan, ia makan untuk mengisi perutnya, sekotak susu milo dan roti isi. Sambil berjalan menuju atap, ia minum susunya yang tinggal setengah. Namun, saat sampai di koridor dekat lapangan, ia melihat sosok Renjun sedang duduk di bangku taman sekolah sendirian.

Susu yang tinggal setengah buru-buru ia habiskan, setelahnya sampah bungkusnya ia masukkan ke kotak sampah. Buru-buru ia melangkah menuju bangku yang di duduki Renjun.

"Wah! Anak teladan bisa bolos juga?"

Haechan duduk di samping Renjun. Renjun hanya diam, tidak berniat menanggapi omongan Haechan barusan. Mata rubah milik Renjun menatap teman-teman kelasnya dengan tatapan iri.

"Kamu sendiri, bolos?"

Akhirnya Renjun buka suara. Begitu pertanyaan Renjun masuk ke telinga Haechan, pemuda berkulit tan itu tertawa hingga matanya menyipit dan bibir lovenya terbuka.

"Ada yang lucu sama omongan saya?"

Renjun mengernyit bingung dengan respon yang Haechan berikan. Ia menatap Haechan pada akhirnya dengan pandangan penuh tanda tanya dan raut bingung.

"Ngapain lo nanyain yang pastinya udah jadi sahabat gue? Kurang jelaskan tingkah pola laku gue?"

Haechan meredam tawanya, ia menatap Renjun tepat pada netra karmelnya. Tatapan yang entah mengapa membuat Renjun bingung sekaligus berdegup.

"Lantas, kamu kenapa enggak pernah lihat apa yang jadi teman saya? Mungkin bisa jadi jawaban mengapa saya ada disini, bukan dilapangan." Renjun membalikkan kata-kata Haechan.

"Heh! Kalian berdua ngapain tatap-tatapan begitu?! Dan, Lee Haechan! Ternyata kamu disini, bolos lagi?!"

"Kamu, bolos juga Ren?"

"Engga, pak."

"Yaudah, kalian berdua ikut bapak ke ruangan BK sekarang."

***

"Bukannya tadi itu, Renjun? Apa gue salah liat ya?" gunam Jaemin.

Iya, tadi dia baru saja dari toilet dan kebetulan ia melewati lapangan, matanya tidak sengaja menangkap sosok Renjun yang tengah berbicara dengan Haechan. Hanya saja, Jaemin masih ragu. Apakah penglihatannya salah atau tidak.

"Gue butuh cek ulang,"

Dia mengangkat bahunya acuh dan lebih memilih melanjutkan perjalanannya yang tertunda tadi.

Sementara itu, Renjun dan Haechan duduk berdampingan menghadap pak Donghyun.

"Jadi, kalian berdua ngapain?"

"Saya nggak bisa ikut olahraga, karena fisik saya enggak memungkinkan. Jadi saya suruh duduk sama pak Taeil." jawab Renjun.

"Saya terlambat, sekaligus niat bolos. Tapi enggak jadi karena kepergok." jawaban yang membuat pak Donghyun memijit pelipisnya. Beliau pening.

"Saya gak tahu apa kesalahan fatal kamu di sekolah yang sebelumnya dan sekolah lama kamu sampai-sampai pihak sana enggan kasih tahu ke saya. Yang saya tahu kamu hanya membolos dan terlambat."

"Saya membakar gudang teater." aku Haechan jujur.

Mata Renjun membulat sempurna mendengar pengakuan Haechan. Separah itu sampai-sampai pihak sekolah sana enggan?

"Kalo bapak nggak percaya, bapak bisa dateng ke sekolah saya, pasti ada renovasi ulang gudang teater." Kata Haechan enteng.

Pak Donghyun menghela nafas lelah. Memandang tidak percaya pada Haechan. Bayangkan, gudang teater itu besar! Dan Haechan membakarnya seenak hati? Bahkan dia tenang sekali saat menceritakannya.







Tbc!

Vote and komen ya!

Biar aku semangat buat ngembangin ide!

Biar juga gue semangat ngetik naskahnya, yaaa...

(: guys, publis YoungRen nggak?

Uda itu aja (:

Ttd

©kdywifeu

Fireflies|✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang