Hembusan angin malam yang menusuk, ditambah ditengah hutan yang lebat seperti ini cukup membuat bulu kudukku meremang. Aku merapatkan peganganku pada Ar yang masih fokus mengendarai Tim tanpa rasa lelah.
Antony dan Que memimpin di depan, berbekal pencahayaan dari lentera yang sederhana, membuat kami tak bisa melihat lebih dari radius 5 meter saja.
Jalan setapak sudah hilang kira kira 30 menit yang lalu, membuat Tim dan Tom agak kesulitan melewati medan yang agak berat dan licin. Namun mereka Eger yang lincah, mereka bisa berjalan dengan hati hati sekaligus cepat diwaktu bersamaan.
"Kau kedinginan?" Tanya Ar, yang masih fokus mengendarai Tim. Pandangannya lurus kedepan.
"Yah, sedikit." Aku bergumam. Merapatkan baju kebesaran milik Ar yang melilit tubuhku.
"Aku membawa mantel, kau bisa mengambilnya di kantong sisi pedal." Ujarnya.
Tanpa menunggu dua kali aku berbalik dan berusaha menggapai kantong sebelah kanan. Badan Tim besar. Membuat aku bisa kapan saja rebahan diatas pedal yang luas. Mungkin jika aku mengantuk, aku akan rebahan nanti.
Setelah beberapa lama mencari mantel di kedua sisi pedal, aku akhirnya membawa mantel itu ke posisi duduk ku semula. Lalu memakainya ke sekujur tubuhku. Syukurlah, aku merasa lebih baik dan hangat.
"Ar, bisakah kau ceritakan kita akan kemana? Aku sama sekali buta akan apa yang terjadi, lho" Ucapku.
Habisnya aku tak tahan lagi untuk bertanya. Kami sudah berkendara kurang lebih 2 jam namun belum ada yang berani untuk buka suara.
"Baiklah," Ar memajukan sedikit badannya untuk menggapai kepala Tim lalu mengusapnya seakan membisikkan sesuatu. Lalu setelah itu berbalik membuat kamu duduk berhadapan.
"Eh, kau kan sedang berkendara" Aku panik berusaha melihat kedepan namun terhalang oleh badan Ar yang agak besar.
"Tenang saja. Tim sudah terlatih. Ia akan tahu arah dan terus berjalan tanpa harus diarahkan."
Aku mengernyit. "Lalu kenapa kau tidak sedari tadi melakukannya?"
Ia terkekeh, "aku hanya menunggumu bertanya"
Aku cemberut. Orang ini benar benar.
"Jangan marah, Tuan putri. Itu hanya gurauan" Ia lalu mengusap rambutnya kebelakang. Menampilkan wajahnya agar lebih jelas terlihat, walau dengan cahaya remang remang.
"Baiklah, sepertinya otakmu itu sudah tak tahan akan pertanyaan yang kian membludak"
Aku hanya terdiam, menunggunya menyelesaikan kalimat.
"Sekarang kita akan menuju istana Esther, salah satu rekan ayahku dan ibumu dahulu. Ia ratu hutan Estonia. Pemilik kerajaan nymph terbesar di Agharta. Kita menuju kesana sekarang untuk meminta pertolongan. Aku akan bercerita sedikit, kondisi Agharta saat ini sedang tidak stabil. Penguasa yang dulu sudah terbuang kini mulai bangkit dan hendak menguasai agharta kembali dengan segala macam cara.
"Unit Shamballa telah diruntuhkan. Padahal itu merupakan wilayah yang paling kuat sistem penjagaannya. Dengan ribuan pengguna abilities di seluruh penjuru shamballa. Kota megah nan indah, namun penguasa terbuang itu, menghancurkan shamballa hanya dengan jentikkan jari saja.
"Ayahku, salah satu panglima shamballa yang tersisa bersembunyi di padang antah berantah itu agar tak terdeteksi oleh nya. Karena jika ayahku ikut binasa, masa depan Agharta akan menjadi suram kembali. Peradaban yang telah dibangun akan kembali pada titik nol lagi. Dan sang penguasa yang terbuang akan membawa Agharta menjadi negeri yang menyeramkan dan tak terkalahkan. Membinasakan setiap insan yang memberontak tanpa ampun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ethereal
AdventureEthereal berarti cahaya lembut yang bukan berasal dari dunia ini. Sesuatu dari tempat yang jauh, tak terjamah. Suatu hal yang suci seakan berasal dari surga. Seraphine tahu betul bahwa hilangnya sang ibu dikarenakan hal yang tidak wajar. Sampai suat...