Kapan, sih, aku tidak sendirian?
Bahkan kalau pun daun berguguran dari dahan, niscaya tidak akan jatuh di dekatku, lantaran angin yang mengarahkannya.
Jika angin saja enggan, apalagi manusia?
"Hei, kamu! Sini, ayo membentuk kelompok!"
"Aku sendiri saja, terima kasih." Begitulah jawabku.
Mereka berseru. "Kenapa?!"
"Aku alergi manusia yang hanya ingat jika butuh—eh, EH! Maksudku, aku punya alergi jadi sering kentut satu menit sekali."
Kudengar mereka mendengkus. Aku sampai bingung harus menyebutnya dengan mendengkus atau mendengus. Karena ... mereka manusia tapi dengkusannya seperti dengusan sapi.
"Biarkan saja, ya sudah biarkan. Begitu saja, biarkan. Dia sendiri saja, biarkan. Kita bisa sendiri, BIARKAN!" Setelah menyeru seperti itu, orang-orang berbondong menjauhiku.
Tentu saja aku senang. Itulah mauku.
Mengabaikan situasi lalu, aku menggantinya dengan membuka buku. Meski banyak deretan kalimat yang lebih konyol dari bualanku barusan..., pokoknya baca saja!
"Hei."
Suara jakun naik-turun menyapaku—ehm ... maksudku dia seorang pria. Kalau dikira aku mengenal dia, tidak. Kalau dikira tidak mengenal, iya.
"Jangan cuma melihat saja. Jawab, kenapa?"
"Kenapa?" tanyaku.
Dia tersenyum, sampai pipi atasnya menggembung, dan kukira akan meletus sebentar lagi. "Aku ingin sekelompok denganmu. Boleh?"
Kenapa sih, semua orang menawariku kerja kelompok? Padahal aku adalah mahasiswi biasa. Biasa mendapat IPK 3.99, dan ditawari untuk lulus cepat namun tidak mau. Lagi pula, apa hal yang akan mereka dapat selain jawaban serba cepat dariku, padahal mereka juga punya otak?
"Hei, jangan melamun. Aku tanya sekali lagi. Boleh?"
Aku menggeleng-geleng, kalau bisa sampai akalku oleng. Pokoknya, jangan pernah terima orang yang hanya ingin menggunakanmu ...
... seperti mereka, dan lelaki ini, Park Jihoon.