Siapa bilang aku anti sosial?
Begitu mudahnya Jihoon bicara tanpa dasar.
Aku yakin, dia meluncur dari lorong rahim saja tidak ingat, sok berlagak memahami orang lain.
"Nak, berangkat kuliah naik transportasi umum, saja, ya! Mobil ayahmu rewel lagi."
Tik, tok, tik, tok!
Kuralat, tidak hanya di malam hari, pokoknya dalam waktu-waktu aku sedang sial, jam itu semakin menjadi-jadi. Dia mengejek!
Awas saja, sepulang kuliah kulempari benda itu pakai batu.
Ah, tidak tahulah! Sudah makin siang, aku buru-buru lari ke luar.
"Hei."
Ya, itu Jihoon. Duduk di dalam mobil, diantar supir. Yah, siapa yang menyangka kalau Jihoon adalah superstar, kemana-mana harus diantar?
"Mau menumpang?" tanyanya. Dia menepuk-nepuk sofa mobil yang kosong.
"Tidak."
Jihoon keluar, menghampiriku. "Kalau begitu, aku minta izin menggeretmu ke dalam. Boleh?"
"Tidak mau, ya tidak!"
Biasanya aku tidak pandai lari. Namun hari ini, aku menganggap aspal akan runtuh, kemudian ... lari sekencang-kencangnya!
Yang aku pikirkan adalah: mari melakukan sesuatu tanpa berpikir, setidaknya sekali dalam hidup.
"Hei!"
Oh, sial. Kenapa Jihoon menyusulku berlari?!
Bodohnya, sudah tahu tidak pandai lari, lebih lagi memperhatikan Jihoon di belakang, membuatku melawan batu, lalu terguling ke depan.
Wow, pusing.
Jihoon mengulurkan tangan. "Sini, kubantu."
"Tidak usah!" Kutepis dengan keras.
"Ya sudah, setidaknya berdiri dulu, agar kodok nakalnya pergi!"
Sekali ini aku mempercayainya, dan bangkit sendiri.
"Kenapa, sih, ikut lari-lari?! Punya mobil, juga!" ketusku.
"Kamu itu payah! Sekali-kali, biarkan aku tahu di mana letak kebodohanmu!"
Kutendang tulang keringnya. Jihoon meringis, mengusap-usap bagian yang sakit. "Rasakan! Lagipula, buat apa coba?!"
"Bodoh! Agar aku tahu porsi untuk menjagamu!"