Prolog

150 15 0
                                    

Sudah sebulan semenjak ayah Jihan pergi untuk selama-lamanya. Gadis itu sekarang hanya punya ibu dan adiknya saja. Rasanya masih seperti mimpi, namun apa boleh buat Tuhan lebih sayang dengan ayah Jihan. Tuhan sudah merindukannya. Jihan hanya bisa berdoa yang terbaik untuk ayahnya.

Namun gadis itu kembali terpukul ketika ibunya memutuskan untuk menikah lagi. Jihan tak habis pikir dengan ibunya.

"Apa ibu sudah tidak sayang dengan ayah lagi?"

"Bukan seperti itu Jihan, tapi..." Belum selesai ibunya berbicara tiba-tiba Jihan memotongnya begitu saja.

"Tapi apa? Apa begitu mudah Bu, untuk melupakan cinta ayah? Baru sebulan ayah pergi tapi ibu sudah mau menikah lagi. Semudah itukah ibu melupakan ayah?" Mata Jihan mulai memerah, ia tak kuasa menahan amarahnya.

"Ibu juga berhak untuk bahagia! Sudahlah tidak usah menghalangi kebahagiaan ibu!"

Seminggu setelah itu, diadakanlah pernikahan antara ibu Jihan dan laki-laki yang dicintainya. Mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri sekarang.

Entah mengapa hati Jihan masih tidak rela. Apalagi dengan sikap ayah tirinya yang kelihatannya galak. Sesungguhnya Jihan sudah tidak betah tinggal di sini. Sekarang ibunya tidak lagi seperti dulu.

Jihan sedang menyetrika pakaian. Bukan hanya miliknya saja namun milik seluruh penghuni di rumah ini.

"Jihan baju saya sudah siap atau belum?" Teriak ayah tirinya dari luar.

"Sebentar lagi," jawab Jihan. Namun tiba-tiba ponselnya berbunyi. Jihan segera pergi mencari ponselnya tanpa menghiraukan setrikanya.

"Ya ampun. Bau gosong apa ini," ujar ayah tiri Jihan ketika masuk ke dalam rumah. Ia sangat terkejut ketika melihat baju yang akan dikenakannya pagi ini sudah gosong dan bolong karena kelalaian Jihan.

"Jihan! Kamu apakan baju saya hah!?" Bentak laki-laki itu.

"Aduh apa sih ribut-ribut?" Tanya ibu Jihan yang baru saja dari dapur.

"Ya ampun Jihan! Kamu apakan baju ayah kamu!?" Ujar ibu Jihan ketika melihat pakaian suaminya gosong akibat seterika.

Jihan langsung berlari ke sumber suara. Jihan juga terkejut dengan apa yang ia perbuat.

"Maafin Jihan. Jihan nggak sengaja," kata Jihan.

"Maaf maaf! Kamu pikir ini baju murah?"

"Tapi Jihan benar-benar nggak sengaja." Jihan menunduk ketakutan.

"Memangnya kamu bisa ganti! Ini baju mahal!"

"Kamu gimana sih! Selalu saja buat masalah! Pusing lama-lama kalau seperti ini!" Kata ibu Jihan.

Jihan sangat takut sekarang. Sebelumnya ia tak pernah dibentak dengan sekeras ini. Dulu ayah dan ibunya mendidik Jihan dengan baik dan lemah lembut. Namun kini ibunya tidak lagi sama seperti dulu.

"Nggak guna! Punya anak kok seperti ini!" Kemudian ibu Jihan meninggalkan Jihan sendiri. Ayah tirinya sudah sejak tadi pergi keluar rumah karena harus mencari baju ganti untuk berangkat kerja hari ini. Kini Jihan hanya bisa menangis sambil tertunduk. Hatinya hancur. Orang yang dulu menjadi kebanggaannya karena dengan sikap keibuannya, kini sudah berubah menjadi sosok yang lain.

Jihan sudah tidak bisa menahan emosinya. Ia masuk kedalam kamar untuk mengemasi pakaiannya.

"Maaf ayah, tapi Jihan sudah tidak tahan," kata Jihan sambil mengemasi barang-barangnya.

Sebelum benar-benar meninggalkan rumah ini, Jihan menyempatkan untuk menulis sesuatu terlebih dahulu. Kemudian dimasukkannya ke dalam amplop dan disimpannya di laci meja belajarnya.

Setelah memastikan di rumah tidak ada orang, Jihan segera keluar rumah. Berjalan kaki entah ia mau kemana.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Jihan berhenti di sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu. Ia duduk di pinggiran. Matanya kini menatap air jernih yang terus mengalir. Dibandingkan dirinya sekarang mungkin ikan-ikan di sungai ini lebih beruntung karena bisa hidup dengan tenang. Sesekali Jihan menjatuhkan batu kecil ke sungai. Jihan hanya bisa meratapi nasibnya sekarang.

"Kue kue,"

Jihan menoleh ke sumber suara. Dari kejauhan seorang wanita yang sudah tua berjalan kearahnya. Wanita itu tampaknya sedang berjualan.

"Mau beli kue nak?" Tanya wanita itu.

Karena Jihan merasa kasihan dan kebetulan ia belum makan jadi Jihan membeli dua buah kue mochi buatan wanita tua itu.

"Kamu kenapa sepertinya sedih?"

"Ah tidak apa-apa. Hanya sedikit saja."

"Kamu bawa koper nak? Memangnya mau kemana?"

"Saya bingung. Orang tua saya sudah berubah. Mereka nggak sayang lagi sama Jihan," jawab Jihan yang masih menamakan kue mochi.

Wanita tua itu tersenyum, mengusap punggung Jihan pelan seraya berkata, "Sabarlah wahai anak muda. Nenek dulu juga mengalaminya," jawab sang nenek.

"Lalu kemana kamu akan pergi?" Tanya sang nenek.

"Nggak tau. Jihan bingung. Jihan nggak punya siapa-siapa lagi," kata Jihan sambil tertunduk.

"Kalau kamu tidak keberatan. Kamu bisa tinggal di rumah nenek. Kebetulan nenek tinggal sendiri," ujar nenek Hwang.

"Boleh nek?" Tanya Jihan.

"Boleh, yasudah ayo kita pulang."

"Makasih nenek," kata Jihan sambil memeluk nenek Hwang.








-TBC-

Enjoy this story

Vote & comment please




Sikap dan cara mendidik yang diberikan orang tua sangat mempengaruhi tumbuhnya anak di masa depan. Sedikit kata yang mungkin menusuk hati ketika orang tua ucapkan terkadang membekas di hati sang anak dan akan terasa sangat sakit.

Dan satu yang paling penting, berhenti membandingkan satu anak dengan anak lainnya meskipun mereka kakak beradik atau saudara.

Setiap orang punya porsi masing-masing. Mereka unik dengan cara mereka sendiri. Mereka hebat dengan cara mereka sendiri.

😊😊

My prince » Kang YeosangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang