tiga

75 22 1
                                    


Guanlin mengendarai mobilnya dengan kecepatan normal, jalanan kota Seoul sore ini cukup senggang dan memudahkan mobil sportnya untuk bernafas.

Sepanjang perjalanan Guanlin tak henti-hentinya memikirkan Jihoon, tentang bagaimana perasaannya kepada Jihoon, dan tentang plester putih di rahang Jihoon.

Guanlin sangat yakin jika plester tersebut adalah plester luka. Lagi, jika itu merupakan koyo seharusnya Jihoon tidak memasangnya di sana, memang akan berpengaruh apa koyo pada rahangnya? Tidak ada, bukan?

Guanlin sudah berpengalaman dalam hal berkelahi, luka ataupun memar sudah menjadi santapannya setiap kali berkelahi yang membuat Bundanya selalu marah dan mau tak mau mengobati lukanya.

Ia ingat setiap kali lukanya mengeluarkan darah dan terlihat cukup besar, Bundanya akan memasang sebuah plester luka layaknya koyo berwarna putih di sana. Dan Guanlin yakin seratus persen jika dibalik plester tersebut terdapat sebuah luka yang Jihoon sembunyikan.

"Hh. Udah lah. Bukan urusan gue juga, ngapain sih gue ngurusin dia, keluarga bukan, pacar bukan-eh, soon deh," monolog Guanlin pada dirinya sendiri, lalu terkekeh layaknya orang gila baru.

Guanlin tidak tahu saja semenjak kemarin ia bertemu dengan Jihoon, ia tidak bisa mengingat berapa kaki ia tertawa dan tersenyum sendiri, dan kedua hal itu merupakan hal yang sangat tidak mencerminkan sosok Lai Guanlin semasa di Taiwan.

"Park Jihoon. You driving me crazy!" gumam Guanlin sambil menahan senyumnya, bersamaan dengan sampainya ia pada tujuan. Yaitu sebuah mansion megah yang ia sebut rumah.

•••

Jihoon menutup pintu rumahnya rapat dengan pelan, lalu bersender di sana sambil mendahkan kepala. Menatap langit-langit rumahnya yang sangat tinggi.

Satu helaan nafas keluar dari belah bibir Jihoon saat lelaki itu mulai melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya. Hari masih sore dan kebetulan keluarganya sedang tidak ada di rumah, membuat Jihoon sepertinya akan sendirian sampai esok pagi.

Kebetulan saat ia selesai berganti baju, perutnya berbunyi dengan nyaring pertanda untuk Jihoon memberinya makan. "Ada makanan apa, ya?" ucap Jihoon sambil berjalan kearah dapur seraya memasang kembali kaca matanya.

Beruntung saat membuka kulkas, bahan-bahan makanan cukup lengkap dan Jihoon berinisiatif untuk membuat nasi goreng kimchi ala-ala nya.

Saat memasak, Jihoon tidak sengaja menjatuhkan botol bumbunya ke lantai. "Shit!" umpat Jihoon sambil berjongkok hendak mengambilnya.

Gerakan tangannya terhenti saat matanya menangkap sebuah benda lain di samping botol bumbunya yang mengeluarkan bau tembakau. "Ini....kenapa masih disini?" gumam Jihoon sambil buru-buru mengambil rokok tersebut dan membuangnya ke tempat sampah.

Jihoon menatap lama tempat sampah dihadapannya, lalu mendesah berat sambil menyenderkan punggungnya ke meja dapur.

Jari lentik lelaki itu menyentuh lengan kirinya dan menggosoknya pelan, hingga tanpa sadar ia mengeluarkan desisan pelan. "I'm tired, please," gumam Jihoon pelan sambil menutup mata.

Sebuah bau gosong tiba-tiba saja menyeruak di indera pernafasannya yang sontak membuat Jihoon membuka matanya dan buru-buru menarik tubuhnya ke arah wajannya yang mengeluarkan asap hitam.

Kalang kabut, Jihoon mematikan api di kompornya lalu mengipas-ngapas asap yang mengepul di sana. Lelaki manis itu hanya bisa menatap kecewa pada nasi goreng gosongnya dan memindahkan wajan tersebut ke wastafel, lalu mengisinya dengan air.

"Kaga jadi makan dah gue. Nasib-nasib!" ucap Jihoon sambil menyusun kembali bumbu-bumbu dan bahan makanan ke tempatnya.

Sambil menggosok kerak gosong yang ada di wajannya, Jihoon melamun. Kadang ia selalu berfikir, apa arti hidup untuknya, jika hidup sendiri tidak menganggap Jihoon berarti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

N o t  a v a i l a b l e  ;  p a n w i n kTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang