Revyara Arista
Nama yang selalu memenuhi otak cetek gue dalam dua hari belakangan ini. Saking penuhnya otak gue, dua kata itu kini sudah tertumpah pada buku catatan Fisika gue.
"Mampus." Ejek Rafki dengan suara pelan yang masih kedengaran sampai ke meja gue. Itu anak memang nggak punya rasa setia kawan. Karena mulut embernya catatan gue ditarik langsung sama Pak Tigor, guru Fisika kelas gue.
Di sinilah gue berada, di depan kelas XII IPS 1. Kelasnya Revyara Arista. Cewek yang biasanya dipanggil Revy. Cewek yang kata orang-orang nggak pernah senyum dengan tulus.
Sekarang yang perlu gue lakukan adalah memanggil itu cewek dan bawa ke kelas gue yang berada di ujung timur lantai dua gedung sekolah. Rasanya pengen sekalian gue bawa itu tas sekaligus kursi dan meja punya dia ke kelas gue. Biar puas itu si Rafki dan Pak Tigor.
Selama di perjalanan menuju kelas gue nggak ada satu kata pun keluar dari mulutnya Revy. Cuma diam doang. Hebat bener. Padahal mulut gue sudah gatal pengen ngomong dari tadi. Tapi nggak tahu mau ngomong apa.
"Emangnya gue dipanggil buat apa?" Akhirnya, Ya Tuhan, dia ngomong juga. Kalau begini kan mulut gue nggak bakalan gatal lagi pengen ngeluarin unek-unek.
"Gue kira lo bisu."
"Hah?"
Lucu. Muka bingungnya itu loh, rasanya pengen gue cium pipinya. Eh salah, maksud gue pengen cubit. Kalau cium entar gue malah digampar, kan jadi masalah.
Belum sempat gue cubit pipinya, jalan kita berdua sudah di hadang sama sosok tak bertanggung jawab yaitu Pak Tigor. Tadi guru berkumis tebal itu yang suruh gue panggil Revy buat datang ke kelas gue, eh sekarang dia suruh Revy balik lagi ke kelas dia dan gue disuruh balik ke kelas gue. Ditambah lagi gue dihukum buat makalah tentang materi bab selanjutnya. Ah, ribet. Pengen gue maki aja rasanya. Capek hati gue.
Sabar, Van. Orang yang sabar hidupnya bakalan lebih bahagia.
Gue merapalkan dua kalimat itu dalam hati sebanyak tiga kali. Tujuannya agar gue nggak kelepasan maki-maki Pak Tigor. Kalau itu terjadi ujung-ujungnya gue bakalan di-skorsing.
Setelah Pak Tigor pergi menuju tangga ke lantai 1 gue lihat Revy sudah mau berbalik ke arah kelasnya. Dengan cekatan gue tahan lengannya.
Dia ngelihatin gue, alisnya terangkat ke atas. Kelihatan banget dia bingung karena gue tahan. Bukan itu saja, muka dia kayak nggak enak gitu. Buru-buru gue lepas deh tangannya, takut digampar gue.
"Bagi nomor WhatsApp dong." Gue langsung menyodorkan ponsel gue ke hadapan dia.
Nggak perlu nunggu lama, ponsel gue langsung diambil. Penurut juga ternyata ini cewek. Dengan lihai dia mengetik sesuatu di ponsel gue.
Setelah Revy selesai mengetik di ponsel pintar gue, itu benda langsung dikembalikan. Terus dia pergi. Gitu aja, nggak ada ngomong apa-apa. Bilang duluan kek, apa kek, setidaknya buat basa-basi. Ah, payah emang berurusan sama cewek aneh itu. Mending gue sekarang ke kelas. Yang penting gue sudah dapat nomornya dia.
***
"Ah, bangke!"
Gue menjerit sejadi-jadinya di kamar gue. Disaksikan oleh Rafki, sahabat gue yang nggak tahu diri. Dia bukannya menghibur malah ngetawain.
"Makan tuh nomor tukang laundry."
Rafki ketawa lagi. Kali ini tambah keras. Dengan cekatan gue masukin pisang goreng ke mulutnya.
Pintar juga itu otaknya si Revy. Oh iya, dia kan juara kelas. Nggak heran sih. Kalau begini ceritanya bakalan sulit deh gue buat beraksi.
"Arrgghhh ...." Gue menjerit lagi dengan lebih keras. Kalau aja bunda ada di rumah pasti kuping gue sudah merah dijewer dan diceramahin.
Tawanya Rafki makin keras lagi karena melihat gue yang persis kayak orang frustasi. Santet orang boleh kali ya?
"Kasih gue ide dong," gue merengek ke Rafki. Seperti biasa, kalau otak gue sudah buntu, gue bakalan minta tolong ke Rafki. Ya, meskipun terkadang nggak berhasil tapi bisa dicobalah.
"Kalau saran gue sih, lo mendingan nggak usah ngelanjutin rencana lo. Buang-buang waktu."
Nah kan bener. Terkadang anak yang satu ini nggak bisa diandalkan.
"Tapi gue kepo. Udah level tertinggi."
Rafki hanya geleng-geleng kepala. Sahabat gue itu sekarang sudah berbaring di lantai dengan bantal yang menyangga kepalanya. Santai bener. Dengan cekatan gue langsung menarik bantal yang sedang dipakai Rafki. Biarin aja itu kepalanya benjol. Buat emosi mulu sih.
"Pokoknya gue harus cari cara lain biar bisa dekat sama Revy."
Gue sudah memantapkan pilihan. Tinggal menyusun strategi dan kali ini nggak boleh gagal.
"Tidur-tidur, entar sore ada futsal. Jangan mikirin Revy mulu."
Setelah ngomong begitu Rafki langsung menyumpal telinganya pakai earphone dan memejamkan matanya. Rafki dan kebiasaannya, molor. Tanpa pakai bantal dia juga bisa tidur nyenyak. Nggak heran kalau setelah ini dia bakalan ngorok.
Mungkin gue butuh tidur juga, biar bisa berpikir jernih. Semoga saja nanti setelah bangun sudah dapat ide. Semoga.
***
TbcJumlah kata : 764 kata
Lumayan lah ya buat orang pemalas kayak aku. Hampir seharian nulis cuma dapat segitu aja aku sudah bangga hehehehe
Jangan lupa buat vote, comment dan follow akun ku ya. Biar aku makin semangat dan kita bisa ketemu lagi di next chapter hehehe
Thank you all :)
vicachuuu
KAMU SEDANG MEMBACA
To Get Her
Teen FictionBerawal dari rasa penasaran membuat dua insan mengalami hal yang cukup menguras emosi. Diabaikan, ditolak, dimaki, dijauhi, dan hal-hal menyakitkan di rasakan Elvano demi seorang gadis. Namanya Revyara Arista, gadis yang terkenal dengan wajah jutek...