Selesai makan gue nggak langsung balik ke kelas. Saat gue baru aja nyalain hp buat tanya keberadaan Rafki, dia tiba-tiba langsung muncul. Mungkin diberitahu Fara makanya dia datang ke kantin. Padahal dari pagi gue di sekolah batang hidungnya sama sekali nggak kelihatan.
Dari pada gue jadi nyamuk mending gue cabut dari kantin. Memberikan ruang dan waktu pada dua sejoli itu untuk berpacaran.
Sambil jalan gue melihat jam tangan yang menunjukkan pukul 11. Gue pun berniat untuk pulang saja, dari pada gabut di sekolah nggak tahu mau ngapain.
Setelah selesai mengambil tas dari kelas, gue langsung berjalan menuju parkiran. Menyalakan motor kemudian menjalankan kendaraan roda dua itu meninggalkan sekolah setelah berbasa-basi dengan satpam sekolah.
Begitu sampai di jalan raya dari kejauhan gue melihat cewek berambut pendek sedang duduk di halte. Meskipun postur tubuh yang kelihatan hanya dari samping, tapi gue langsung tahu kalau orang itu adalah Revy. Tanpa pikir panjang gue langsung melajukan motor menuju halte.
Kemunculan gue yang tiba-tiba membuat Revy terkejut bukan main.
Gue pernah bilang kan kalau muka kagetnya itu lucu? Nah itu yang sekarang terpampang nyata di hadapan gue. Rasanya gue pengen cium. Ah, jadi dejafu.
Tapi Revy adalah Revy. Orang tanpa ekspresi yang sangat melekat dengan dirinya. Nggak sampai semenit wajah kagetnya dia langsung bisa menetralkan kembali ekspresi wajahnya.
Revy kembali melihat jalanan yang tidak terlalu ramai. Seperti menganggap gue nggak ada di hadapannya.
Gue langsung duduk di sebelahnya setelah selesai memarkirkan motor di depan halte. Gue tahu itu dilarang, tapi bodo amat.
"Mau pulang ya?" Tanya gue sambil mengamati wajah Revy dari samping.
Revy menggeleng. Sama sekali nggak memandang gue yang ada di sampingnya.
Gue hanya mengangguk paham meskipun sadar betul bahwa dia pasti nggak melihat gelengan kepala gue.
Entah modus atau memang insting seorang cowok, gue berniat untuk mengantar Revy pulang.
"Nggak usah, gue belum mau pulang. Lagian rumah gue dekat."
Gue tahu bakalan di tolak. Tapi Entah kenapa gue pede aja buat ajak dia pulang bareng.
Kita berdua kemudian diam. Revy sibuk mandangin jalan raya sedangkan gue sibuk memandangi Revy.
Cantik.
Satu kata yang selalu langsung terlintas di otak gue saat melihat Revy.
"Lo cantik."
"Hah?"
Revy kaget lagi dong pemirsa. Gue ketawa tapi tidak dengan Revy. Wajahnya kembali datar dan menghadap jalan raya.
"Btw kemarin nomor wa yang lo kasih, itu bukan nomor lo kan?" Tanya gue.
Revy menggelengkan kepalanya, "bukan."
Santai banget dia jawabnya. Kayak nggak ada beban hidup, dosa dan sejenisnya.
"Jahat banget lo. Gue minta nomor wa punya lo tapi malah ngasih punya tukang laundry."
"Emangnya lo ngomong kalau minta nomor wa gue?" Tanya Revy. Kali ini wajahnya sudah menghadap kearahku.
"Yaiyalah!" Seru gue dengan semangat.
"Kapan?" Revy bertanya lagi. Ini anak hilang ingatan apa ya?
"Kemarin Revy. Kan tadi gue bilangnya gitu. Gimana sih." Kata gue dengan kesabaran yang sudah mau habis.
Dia diam. Mungkin lagi mikir.
Kemudian dia menghela napas berat. "Masih ingat nggak apa yang lo bilang ke gue waktu itu?"
"Hah?" Gue bingung beneran. Yakin banget kalau muka gue kelihatan bego banget.
Revy kembali menghela napas berat, "Kemarin kan lo ngomongnya 'bagi nomor WhatsApp dong'. Lo nggak bilang kalau yang dimaksud itu nomor gue." Revy menatap kembali ke jalan raya, "saat itu yang terlintas di otak gue ya cuma nomor tukang laundry."
Anjirr!
Ini anak terlalu pintar atau gimana sih? Heran gue.
Gue mengacak rambutnya sembarangan, "lo itu nggak peka atau gimana sih?"
"Entah," jawabnya sambil merapikan rambutnya yang gue berantakin.
Kita berdua kembali diam. Gue mikir, ada benarnya juga sih jawaban Revy. Ini gue deh yang kayaknya beneran bego banget. Ngakunya sudah fasih bahasa Indonesia, tapi cara minta nomor WhatsApp orang lain saja masih salah. Bego dasar.
Gue mengetuk-ngetuk kepala gue pelan. Revy menoleh ke arah gue sebentar kemudian berdiri. Bersiap untuk pergi.
Secepat kilat langsung gue tarik tangannya. Nggak membiarkan dia pergi gitu aja. Setidaknya gue harus sudah punya nomor dia. Biar rencana gue bisa berjalan mulus.
"Eh, tunggu dong. Barengan pulangnya."
Awalnya dia menolak. Tapi dengan paksaan yang cukup kuat, akhirnya dia mau gue bonceng.
Gue mengantar Revy sampai rumahnya. Rumah yang gue lihat beberapa hari lalu didatangi Revy bersama seorang anak kecil.
"Makasih."
Dia kemudian berjalan menuju gerbang kecil berwarna hitam. Ingin masuk ke dalam pelataran rumahnya. Tapi gue langsung menghadang.
"Bayar dulu dong."
"Bayar?" Tanya Revy dengan wajah penuh kebingungan.
Gue ketawa, "iya bayar, pakai nomor lo."
Revy mencibir. Tapi tak urung dia memberikan nomornya ke gue.
Gue senengnya minta ampun. Rasanya kayak dapat undian mobil. Enggak deng, itu berlebihan.
Pokoknya gue seneng banget. Sampai-sampai selama di perjalanan pulang gue selalu senyum-senyum kegirangan.
Hari ini gue sial tapi beruntung.
***
TbcJumlah kata: 765 kata
Happy reading guys!
vicachuuu
KAMU SEDANG MEMBACA
To Get Her
Teen FictionBerawal dari rasa penasaran membuat dua insan mengalami hal yang cukup menguras emosi. Diabaikan, ditolak, dimaki, dijauhi, dan hal-hal menyakitkan di rasakan Elvano demi seorang gadis. Namanya Revyara Arista, gadis yang terkenal dengan wajah jutek...