Chapter 02

262 48 16
                                        

"Halo?”

Ohhalo, Jimin!

“Kau ada waktu senggang malam ini? Mau menyelesaikan tugas bersama?”

Malam ini, ya? Ah, sebenarnya aku terkena demam. Maaf, Jim.”

“Begitu, ya? Baiklah, lekas sembuh!”

Jimin agak kecewa sebetulnya. Dia sudah bersiap; memakai hoodie, topi, bahkan peralatan belajarnya sudah lengkap dalam tas. Jadi Jimin hanya menumbangkan badan di sofa, bersama pandangan hampa menatap televisi di hadapannya. Tidak menonton, sebab televisi-nya sama sekali tidak menyala. Lalu Jimin menyeret langkah malas ke kamarnya, beranjak hampiri meja belajar sambil membuka buku kembali. Ada soal tentang pereaksi pembatas pada bab Stoikiometri yang dia belum paham betul penyelesaiannya. Dan itu jadi alasan kenapa dia menelepon Namjoon malam-malam seperti ini. Akhirnya Jimin merelakan beberapa baris halaman yang kosong untuk loncat ke soal berikutnya.

“Jimin, sedang apa?” Di saat kepala  Jimin lebam-lebam dihujani stres akibat kewalahan mengerjakan tugas, sambil mengacak-acak rambut frustasi, tampak presensi ayahnya di sana. Jimin menoleh, dengan  mengenakan busana resmi ayahnya berpijak di ambang pintu.

“Ayah mau pergi lagi?” Sang ayah berjalan memperketat spasi. Mengusap kepala Jimin yang rambutnya sempat berantakan lantaran ulah tangannya yang frustasi.

“Ayah ada pertemuan dengan anggota kongres II. Mungkin tengah malam baru sampai di rumah. Kau belajar saja yang rajin, ya? Selesaikan tugasmu itu, jangan malah bermain game!”

“Baik, ayah. Hati-hati!”

*

Namjoon mematikan ponselnya setelah mendapat panggilan dari Jimin, kemudian melemparnya cuma-cuma ke jok belakang mobil. Namjoon sedang dalam mode tidak ingin diganggu. Mobilnya diparkir di area parkir violet, tempat para tamu VIP memarkirkan kendaraannya.

Toyota Camry hitam yang jadi incaran mata sejak tadi telah tiba di sana. Park In Jong turun dari mobil dan seketika masuk ke gedung hotel melalui lift. Namjoon tidak perlu tergesa-gesa menyusul, dia sudah memegang nomor kamar yang akan ditempati targetnya malam ini.

Sekiranya sudah tepat, Namjoon ikut masuk ke gedung hotel. Namun, dia lebih dulu menyekap salah satu pegawai hotel di sana, setelah itu digiring ke salah satu toilet yang paling tersudut. Namjoon membekap pegawai laki-laki itu dan membiarkannya tergeletak lemas di atas jubin toilet. Mantel hitam dibuka, lantas ditukar dengan jas seragam milik pegawai itu. Segala barang yang digunakan untuk menyembunyikan identitas Namjoon; masker, topiㅡdisimpan ke dalam saku mantel,  mantel tersebut direntangkan di atas tubuh pegawai yang hilang kesadarannya untuk menutupinya. Efek obat bius yang dipakai pasti tidak bisa tahan terlalu lama, maka Namjoon harus bergegas.

Bibirnya tersenyum kalem, melewati pegawai lain tanpa ada tatapan curiga dari siapapun. Melangkah congkak dengan dagu terangkat sepanjang koridor hotel, siapa yang akan curiga jika yang sedang berperan adalah penipu ulung?

Namjoon memasuki pantry dan bertanya santai, “Ada pesanan untuk kamar VIP nomor dua?”
Setelahnya sang kepala koki tersenyum sembari menyerahkan senampan makanan mewah—khas untuk tamu istimewa. Memutar balik arah ke luar pantry, Namjoon beralih pergi membawa nampan makanan ke kamar yang dituju.

Selepas ketukan pelan tiga kali dan sahutan dari dalam ruangan, Namjoon masuk seraya menebar senyumnya yang membuat lesung pipi mencuat manis. Ini betul-betul definisi mewah yang konkret. Dua ranjang besar berlapis selimut tebal, sofa dan meja kayu dengan ukiran majemuk, pun nuansa satin emas yang membalut keseluruhan ruangan. Di dalam sana hanya ada empat orang, dan Namjoon hanya mengenali satu—targetnya.

Menaruh satu-persatu makanan ke atas meja, Namjoon selayaknya pegawai profesional yang sudah mengabdi bertahun-tahun pada  bidangnya. Tiba saat Namjoon hendak menaruh gelas berisi cocktail, dia sengaja sedikit memiringkan gelas ke arah Park In Jong. Air manis dan lengket milik cocktail sukses membanjiri bagian sekitar paha.

“Maaf, tuan. Saya tidak bermaksud. Biar saya bantu—“

“Tidak, tidak perlu. Saya akan ke toilet sebentar. Permisi.” Pria paruh baya itu tersenyum, kemudian memilih pergi ke toilet di luar kamar hotel. Itu suatu kebetulan yang indah bagi pemuda umur delapan belas.

Namjoon turut beranjak dari sana setelah melontarkan secuil pencitraan. Mengikuti langkah Park In Jong waspada namun pasti.

Sebentar lagi suhu dingin toilet serta komponen lainnya akan jadi saksi bisu, perihal tiap detik menegangkan yang berlaku di sana.

__________

S W I T C H
©2019 XZSHAO

SWITCH°Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang