Hokuto berdiri di tepi tebing, menatap kosong deburan ombak yang saling menyahut di bawahnya. Angin kencang berhembus menerpa tubuh kurusnya, ia menulikan pendengarannya dari teriakan seseorang yang mencoba mencegahnya terjun. Siapa peduli jika aku tidak ada. Bukankah ini yang selama ini mereka inginkan?
Kilasan makian bergema di telinganya, berputar di otaknya. “Mati saja kau!”
“Tidak ada yang menginginkanmu hidup di dunia ini!”
“Dasar pecundang!”
“Mati saja kau, Homo!”
“Ck, memangnya siapa yang homo?!” gumamnya. Hokuto merentangkan tangannya bersiap untuk terjun dari tebing. Namun bukannya hempasan angin dan tamparan ombak, yang ia rasakan adalah tarikan kuat dan benturan tanah berbatu pada punggungnya. Ia tak peduli dengan rasa nyeri yang ia rasakan akibat benturan keras itu. Ia lebih peduli pada orang yang merusak rencana bunuh dirinya. Kawamura Kazuma, teman sekelas yang duduk di sampingnya.
“Apa yang kau lakukan, Yoshino?!” bentak Kazuma. Tersirat kekhawatiran penuh dibalik bentakan itu.
“Oh, hai Kawamura. Bagaimana kabarmu? Kenapa kau ada disini? Bukankah karyawisata diadakan besok?” sapa Hokuto dengan senyum ceria seperti biasa. Bukan seperti orang yang hampir lompat dari tebing setinggi 100 meter dari permukaan laut.
“Apa yang kau lakukan...?” Kazuma mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada yang lebih lembut. Jantungnya masih berdegup dengan kencang. Jika ia tidak lebih cepat, mungkin pemuda di hadapannya ini sudah tiada.
“Aku hanya ingin melihat pemandangan dari atas sini, indah sekali!” jawab Hokuto dengan senyum bodoh sambil menunjuk tebing yang ada di seberang. Senyuman cerah seperti tak pernah ada masalah yang mampir di hidupnya.
Kazuma menarik kepala Hokuto dan mendekapnya hingga Hokuto dapat mendengar degup jantungnya yang tak karuan. “Kawamura?”
“Aku akan selalu ada untukmu jika kau butuh tempat bersandar. Bilang padaku jika kau butuh bantuan,” lirih Kazuma di balik helaian rambut Hokuto yang lembut. Hokuto tersenyum miris mendengarnya, bagaimana mungkin seseorang yang tidak tahu apa-apa mengatakan hal yang sangat ingin didengarnya. Mati-matian ia menahan air matanya agar tidak terjatuh. Ia menggigit bibir bawahnya sekuat tenaga, tak peduli jika berdarah sekalipun. Ia hanya tidak ingin menangis di hadapan orang lain, ia tak peduli jika dadanya akan terasa sakit. Ia pernah mendapatkan yang lebih menyakitkan dari sekadar nyeri di dadanya.
“Aku sedang tidak butuh sandaran, Kawamura. Lagipula lebih nyaman bersandar pada pohon dibanding manusia,” balas Hokuto dengan suara parau, mengalihkan pembicaran dengan candaan bodoh. Ia melepas dekapan Kazuma dan tersenyum cerah, air mata yang membendung di kelopak mata ia samarkan dengan menyipitkan matanya.
Kazuma ikut tersenyum kecil, “Begitu ya,” Ia tahu Hokuto berbohong. Mungkin Hokuto tidak sadar, tapi Kazuma melihat air mata lolos dari kelopak matanya yang menyipit.
Hokuto berdiri dan menatap kembali hamparan air sejauh mata memandang, diikuti Kazuma yang berdiri di sampingnya. Ia mengurungkan niatnya untuk lompat dari tebing ini, “Mungkin tidak sekarang,” lirihnya.
“Hm? Kau mengatakan sesuatu?”
Hokuto memejamkan mata dan menggeleng, “Tidak ada,” jawabnya. Angin di atas sini cukup membuatnya tenang. Mungkin ini akan menjadi tempat favoritnya, setidaknya sebelum ia memutuskan untuk melompat.
“Kau benar, pemandangan dari sini jauh lebih indah.”
“Iya kan,”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sun at Night [KazuHoku]
Fanfiction[THE RAMPAGE from EXILE TRIBE | AU] Tolong! Seseorang, tolong aku! Jangan biarkan aku bunuh diri!