Sepertinya pemandangan di luar jendela lebih menarik dibanding seluruh isi kamarnya, kantung matanya menghitam dan bibir pucat. Sudah lebih dari 5 jam setelah dia terbangun dari tidurnya dan hanya menatap kosong keluar jendela. Ketukan di pintu pun tak dihiraukannya, hingga seorang wanita paruh baya masuk ke kamar.
"Hokuto-kun,"
Hokuto terkejut menerima sentuhan di rambutnya langsung menepis tangan yang menyentuhnya dan menjauhkan diri. Wanita paruh baya itu terkejut mendapati perilaku anaknya yang tidak biasa, diikuti ekspresi sedih setelahnya. Wajah tampan anaknya kini seperti zombie. Pucat, kantung mata yang menghitam dan lebam di beberapa sisi wajahnya.
"Maaf, Ibu." Ucap Hokuto saat menyadari bahwa yang menyentuhnya adalah sang ibunda. Ditunjukkannya sebuah senyum lemah, "Aku hanya... merasa tidak sehat,"
"Sudah empat hari kau mengurung diri di kamar, apa kita perlu ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanmu?" Tawar sang ibu dengan wajah sendu, sudah empat hari anaknya hanya diam di atas ranjang sambil menatap keluar jendela. Empat hari yang lalu, tepat sehari setelah Ryota terbang ke Inggris Hokuto pulang dengan penampilan acak-acakan dan mata basah. Mengunci diri di kamar dan tidak keluar sama sekali. Ibu mana yang tidak khawatir dengan keadaan anaknya yang seperti itu?
Hokuto menggeleng, "Tidak perlu Ibu, aku hanya butuh istirahat saja."
Sang ibunda mengangguk, "Istirahatlah, Hokuto-kun. Ibu akan mengambilkan makan malam untukmu," tangan itu kembali menyentuh rambut Hokuto dan mengelusnya, kali ini tidak ditepis oleh sang anak. "Jika kau ingin bercerita pada Ibu, ceritalah Nak. Jangan kau simpan sendiri,"
"Aku baik-baik saja, Ibu tidak perlu khawatir."
"Ibu memang tidak mengerti masalahmu, tapi Ibu yakin kau anak yang kuat." Ucap ibunda sebelum keluar dari kamar Hokuto.
Hokuto menekuk kedua kaki dan memeluknya, membenamkan kepalanya diantara kedua lutut. Bayangan Haru kembali muncul di benaknya, pemuda itu kembali menangisi dirinya yang lemah. Tidak Ibu, aku bukan anak yang kuat. Aku tidak sekuat yang Ibu sangka.
Pintu kamar Hokuto kembali terbuka, tampak sang ibu membawa nampan berisi makan malamnya. "Hokuto-kun, temanmu datang."
Dengan ekspresi heran Hokuto menyahut, "Teman? Aku tidak punya teman, Ibu."
"Ah, ternyata benar. Kau tidak menganggapku sebagai temanmu." Serta merta sosok yang tidak ingin dilihatnya muncul di balik punggung sang ibu.
"Ka-Kazuma?"
"Yo, Hokuto." Sapa Kazuma seperti biasa, dengan cengiran lebar seperti biasa. Hangat seperti matahari di pagi hari.
"Kawamura-kun. Bibi keluar dulu ya," pamit ibu Hokuto dan Kazuma mengangguk sebagai jawaban.
"Kupikir kau tidak akan menganggapku teman lagi," lirih Hokuto.
"Mana mungkin, bukan? Lagipula kau tidak —" ucapan Kazuma menggantung. Tidak, seharusnya ia tidak membahas kembali apa yang terjadi empat hari yang lalu.
Diam dan canggung yang terasa mencekik menguasai mereka, sampai Kazuma menunjukkan sebuah kantong berbahan kanvas yang ia bawa, "Ah, Keiji menitipkan ini untukmu."
"Kuroki-sensei?"
"Ya.. itu catatan pelajaran selama kau tidak masuk," tangan yang memegang tas mengambang di udara seolah bertanya kemana ia harus meletakkan kantong tersebut, dan telunjuk Hokuto menunjuk meja belajar di seberang ruangan.
Setelah memastikan barang yang dititipkan oleh sang wali kelas aman di atas meja belajar Hokuto, dengan seenaknya Kazuma menarik kursi dari meja belajar Hokuto dan duduk di samping ranjang pemilik kamar. "Lalu, bagaimana kabarmu?"
Hokuto menatap Kazuma seolah berteriak, 'apa aku terlihat baik-baik saja?!'
Kazuma terkekeh, "Ya. Aku tahu pertanyaanku bodoh sekali. Tapi sungguh aku ingin tahu bagaimana keadaanmu setelah menghilang selama 4 hari ini,"
Kazuma menunduk pada akhirnya. Ia tak sanggup memandang wajah menyedihkan kawannya yang benar-benar seperti zombie. "Maaf, aku tidak bisa menolongmu seperti yang kujanjikan. Aku tidak bisa—"
"Bukan. Ini bukan salahmu, Kazuma. Ini salahku karena terlalu lemah, salahku karena aku tak pernah mengatakannya padamu."
Bodoh. Kazuma bodoh. Kenapa harus membahasnya lagi?! Tangan Kazuma menyentuh bahu Hokuto, meremasnya pelan. "Hokuto, kali ini aku berjanji akan selalu ada untukmu. Jangan takut untuk menceritakan semuanya padaku, sekalipun yang merisakmu adalah teman dekatku. Haru, Makoto atau Itsuki, aku akan tetap membelamu."
"Tapi memang mereka semua yang merisakku." Sahut Hokuto polos.
Kazuma terkejut dan menampakkan wajah yang tak kalah polosnya dengan Hokuto. "Eh? Benarkah?"
Hokuto tertawa kecil, wajah Kazuma sekarang sangat lucu hingga ia tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. "Maaf,"
Kazuma ikut tersenyum melihat Hokuto tertawa, tak sia-sia ia tersesat saat menuju kemari. Kehadirannya dapat menghibur Hokuto, setidaknya itu sudah cukup.
"Hei, kau harus membayarku yang bersedia mengantar catatan itu. Kau tahu, tadi aku tersesat saat mencari rumahmu!"
"Eh? Sungguh? Berapa yang kau inginkan?" Panik, Hokuto merangkak di atas ranjang demi meraih tas— oh tidak. Ia baru ingat, tasnya tertinggal di toilet empat hari yang lalu. Hokuto kembali duduk menghadap Kazuma dengan lesu, kepalanya tertunduk, "Maaf, aku sedang tidak punya uang. Tasku tertinggal di sekolah,"
"Tidak, tidak, tidak. Bukan uang," Kazuma mengibas-ngibaskan tangannya. "Dan sepertinya ini tasmu. Haru menitipkannya padaku kemarin," menunjukkan sebuah tas dengan gantungan kunci bola basket di salah satu resletingnya. Hokuto langsung menyahut tas itu dan memeluknya.
"La-lalu, apa yang kau inginkan?" Tanya Hokuto takut, takut Kazuma meminta hal aneh yang akan menambah traumanya. Mendengar nama Haru saja badannya sudah menegang.
"Tawa." Jawab Kazuma dengan sorot mata lembut. "Tertawalah dengan lebih keras. Aku bersedia menjadi badut demi membuatmu tertawa,"
"Tapi aku benci badut,"
"Eh?"
Lagi, Hokuto tertawa dengan ekspresi terkejut Kazuma yang terlihat konyol. Kali ini tawanya lebih keras seperti yang diminta Kazuma, ia tertawa lepas.
Mendecak, Kazuma mengacak-acak rambut Hokuto gemas. "Kau ini, selalu saja membuatku gagal terlihat keren."
"Maaf," bisik Hokuto disela-sela tawanya. Entah mengapa, ia merasa aman berada di dekat Kazuma. Berada di dekat Kazuma membuatnya melupakan dunia nyata. Berteman dengan Kazuma ternyata semenyenagkan ini, tidak heran teman-temannya betah berada di sampingnya. Kazuma seperti matahari yang menerangi bumi, menggantikan peran bulan yang telah pergi. Kazuma begitu menyilaukan.
Sudah sepekan Kazuma selalu mengunjungi Hokuto dan menghiburnya. Setiap kali Kazuma datang, selalu saja ada yang membuat Hokuto tertawa seolah lawakannya tak pernah habis.
Hari ini Kazuma membawa cerita dari sekolah tentang bagaimana dirinya dimarahi oleh Akira-sensei, guru matematika mereka karena salah menjawab soal dan akhirnya Akira-sensei menyuruhnya untuk berdiri di lorong. Tapi namanya Kazuma, tidak mungkin dia akan menurut dengan berdiri di lorong. Tentu saja ia akan menggunakan kesempatan itu untuk kabur.
"Kau ini memang bodoh atau pura-pura bodoh sih, Kazuma? Anak SD pun tau 6x7 itu 42!" Hokuto tertawa terbahak-bahak hingga perutnya sakit.
Kazuma tersenyum, "Itu karena tidak ada kau yang membantuku," ucapnya pelan. Dan ucapan itu sukses membuat Hokuto terdiam dari tawanya. "Kembalilah ke sekolah, Hokuto."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sun at Night [KazuHoku]
Hayran Kurgu[THE RAMPAGE from EXILE TRIBE | AU] Tolong! Seseorang, tolong aku! Jangan biarkan aku bunuh diri!