Part 1- Takdir atau....

519K 10K 817
                                    

Matahari mulai bersinar tanpa malu. Menghangatkan bumi yang baru saja di guyur hujan. Tanganku merapatkan jaket, sisa udara dingin masih sanggup mengigit kulitku. Kakiku terus melangkah menyusuri jalan kecil menuju kampus.

Namaku Andara Zahwa Anezka, seorang putri pemilik perusahaan besar di bidang IT. Nama kelurgaku tidak asing di telinga orang-orang. Kejeniusan ayah membuahkan hasil yang mampu membuat rekan bisnisnya kagum. Laki-laki yang sanggat menggilai ibuku itu bahkan sering di undang dalam seminar-seminar untuk berbagi kesuksesan.

Sayangnya selama hampir empat tahun kuliah, nama kebesaran itu tidak boleh kusandang. Perjanjian dengan ayah saat diriku memaksa kuliah di kota lain tidak bisa ku tolak. Aku harus siap dengan segala resiko dan konsekwensinya termasuk gaya hidupku.

Uang sakuku di batasi dan harus hidup dalam sederhana. Awalnya memang berat tapi setelah sekian lama terbiasa juga. Satu syarat dari ayah dan yang paling penting, tidak boleh pacaran. Ayah tidak akan mentoleransi, dia akan memaksaku pulang atau memberiku pengawalan walau hanya ke kampus. Keduanya bukan pilihan yang menyenangkan.

Di usiaku yang susah kepala dua, diriku masih saja sulit memberi pengertian padanya kalau aku bukan lagi anak lima tahun yang perlu dikhawatirkan. Tubuhku selalu merinding saat ayah memintaku mempersiapkan diri setelah lulus. Embel-embel kata CEO membuatku tidak percaya diri terlebih harus berada di bawah bayang-bayang kehebatannya.

Lain dengan Barra, adikku yang sudah setahun ikut bekerja sambil kuliah di perusahaan ayah yang akan jadi miliknya kelak. Penampilan dan kepintarannya yang menurut bunda fotocopy ayah, mampu membuat orang-orang percaya dengan kemampuannya. Padahal usia kami hanya terpaut dua tahun.

"Dara," Seorang wanita berkacamata memanggilku dari arah gerbang kampus.

Aku menghampirinya, dia dan dua temanku yang lain diminta menghadap dosen kewirausahaan super galak di jurusan, pak Husri. Itu sebabnya mau tidak mau, aku harus mengorbankan waktu liburku hanya agar tidak di marahi.

Kirana, wanita manis berkamata didepanku mulai berdecak. Matanya melirik ke arah jam tangan dengan tidak sabar. "Tenang Ra, tuh Sisi sama Dido sudah datang." Aku menunjuk dengan wajahku pada dua sosok yang sedang berlari ke arah kami.

"Sorry, jalanannya macet banget." Nafas Sisi masih tidak beraturan, begitupun dengan Dido.

"Ya sudah, kita pergi sekarang ke ruang dosen. Masih ada waktu sepuluh menit lagi kok," ucapku menenangkan ketiga temanku.

Pak Husri di kenal sangat tegas disetiap aturannya. Telat semenit saja tidak boleh masuk kelasnya. Mahasiswanya hanya di perbolehkan dua kali absen, itupun harus dengan alasan yang jelas.

Suasana kampus belum terlalu ramai. Koridor yang biasanya di penuhi mahasiswa yang menunggu jadwal kuliah tampak lengang. Kami bergegas menuju ruang dosen tanpa menyia-nyiakan waktu.

"Pak Asep, pak Husri sudah datang?" sapaku pada seseorang yang cukup kukenal.

Laki-laki yang bekerja di bagian tata usaha mengangguk. "Sudah dari tadi. Sekarang sedang ada tamu penting. Mau bimbingan?"

Kepalaku menggeleng. "Di suruh pak Husri datang pagi-pagi."

"Oh ya sudah, tunggu saja. Nanti juga di panggil. Bapak masuk dulu ya," ucap laki-laki itu lalu memasuki ruangan yang bersebelahan dengan ruang dosen.

Kami menunggu di tempat biasa mahasiswa menunggu untuk bimbingan. Semester ini, rencananya aku akan kerja praktek. Ayah sudah siap membantu kalau di perjalanan nanti, aku kesulitan mencari perusahaan yang mau menerima.

Ketiga temanku sejak tadi terdiam. Sifat jahil dan keceriaan yang biasa di tunjukan ketiganya seolah menghilang. Perasaanku sebenarnya juga cemas, jarang-jarang dosenku yang satu ini memanggil mahasiswanya kalau bukan ada masalah.

My Last PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang