Menolak

27 1 0
                                    

Pagi hari, seluruh sudut kota tampak sedang sibuk. Di kota terpencil yang dikelilingi gedung-gedung yang tingginya tak seberapa, pohon-pohon menjulang dihinggapi burung-burung kecil yang berkicauan. Langit pagi yang cerah dengan suasana sejuk menjadi atap bagi orang-orang yang akan memulai pekerjaannya. Di kota inilah, aku dibesarkan dari lahir sampai aku lulus SMA. Setelah 10 tahun lamanya, aku kembali kesini dengan maksud memberi sedikit 'perubahan'. Bukan perubahan politik, perubahan ekonomi, apalagi perubahan teknologi. Tidak, aku tak sepintar dan sehebat itu. Aku hanya ingin pulang, memberikan apa yang aku dapatkan dari kota lain tempat aku 'merubah' diri. Aku sadar, setiap orang perlu untuk pulang. Perlu untuk mengingat kenangan yang indah. Saat dimana aku mencari jawaban yang ku tanyakan selama ini, 'Sebenarnya untuk apa aku hidup?'

***

"EZA!! BANGUN!! UDAH JAM 6 INI!!", teriak Ibuku dari luar kamar, membangunkanku.

"Iya, Bu.", jawabku dengan pura-pura mengantuk. Ya, aku memang berpura-pura masih tidur. Padahal, aku sudah bangun dari jam setengah 6 pagi ini. Aku hanya sengaja tidur agar punya alasan untuk tidak sholat shubuh. Ibuku memang seorang ibu rumah tangga dan orang tua yang sangat berpegang teguh pada agama Islam, dan selalu memberi nasihat agar aku dan adikku untuk menjaga sholat 5 waktu dan membaca Al-Qur'an rutin setiap harinya. Tetapi, aku hanya mengerjakan sholat dan baca Al-Qur'an apabila di hadapannya. Bukan apa-apa, aku hanya malas saja. Terlebih lagi, aku melihat Ayahku juga ternyata sama sepertiku. Saat Ibuku pergi menginap dengan teman-teman pengajiannya, Ayahku yang biasanya sholat berjama'ah di masjid dan rutin membaca Al-Qur'an, ternyata tidak mengerjakannya saat Ibu tidak ada di rumah. Terlebih lagi, Ayah bekerja kantoran sebagai karyawan biasa, dan aku sangat yakin siang dan sore yang Ayah habiskan di kantor tidak diselingi oleh sholat Dzuhur dan Ashar. Sedangkan adikku tidak seperti ayahku dan aku. Adikku Eisyah, dia sangat rajin ibadah, tetapi aku sampai saat ini masih percaya itu karena dia disekolahkan di sekolah menengah pertama swasta yang islami. Berbeda denganku yang terlanjur dari dulu selalu sekolah negeri, sehingga pemahamanku akan agama juga jauh lebih sedikit dibanding adikku. Kalau saja adikku tidak sekolah di sekolah Islam, pasti sudah sama denganku dan ayahku.

Tepat jam 7, aku sampai di sekolah. Saat ini, aku duduk di kelas 12 SMA di sekolah negeri. Di kelas, aku langsung bertemu dengan 2 temanku yang sudah bersamaku sejak aku pertama kali masuk SMA. Yang pertama adalah Fadhil, yang juga teman sebangkuku dan teman yang paling dekat denganku dibanding yang lain. Fadhil sangat religius, dan selalu mengajakku sholat bahkan kajian di berbagai tempat. Meski begitu, aku sering menolak ajakannya. Untung saja, nasihat Fadhil tak begitu panjang setelah aku menolak ajakannya tidak terlalu panjang. Sehingga aku masih bisa nyaman berteman dengannya tanpa merasa terkekang. Selain itu, Fadhil juga seorang pecinta sains sehingga dia selalu menjadi sumber jawaban tugas-tugasku. Temanku yang selanjutnya adalah Justin, seorang Nasrani yang juga sangat berpegang teguh dengan agamanya dan rajin beribadah. Meski begitu, Justin adalah orang yang sangat humoris sehingga selalu membuat kami senang dan tertawa. Diantara kami bertiga, memang yang paling malas, bodoh, dan 'berantakan' adalah aku. Memang harus ku akui itu, tapi aku tak sama sekali malu dengan kebodohanku ini.

Bel masuk berbunyi. Pelajaran pertama hari ini adalah pelajaran agama Islam dengan Pak Roni. Malas sekali rasanya, apalagi Justin yang sering menghiburku harus menunggu di luar kelas selama pelajaran agama Islam berlangsung. Sebenarnya aku sering bercanda dengan Pak Roni, karena memang humoris orangnya, tetapi tak tahu mengapa hari ini aku sedang sedikit malas.

"Ja! Jangan ngantuk gitu, dong. Ini materinya lagi seru!" kata Fadhil.

"Emangnya tentang apa, sih?" jawabku sambil menguap tanda kantuk.

"Itu loh, tentang sejarah masuknya Islam di Indonesia. Ternyata, ya, Islam itu masuk lewat...." ucapan Fadhil terpotong oleh seruan Pak Roni.

".....Oy akhi! Ngobrol mulu nih, ajak-ajak lah kalau ngobrol tuh sama yang lainnya jangan berdua aja. Oy, Ja, daritadi ngantuk mulu, main PUBG aja semangat kamu." Seru Pak Roni diiringi tawa oleh teman-temanku di kelas.

"Maaf, Pak, kemarin baru bisa tidur jam 1 jadi ngantuk sekarang." Jawabku yang tentunya aku hanya berbohong.

"Kenapa kamu gak bisa tidur? Mikirin pacar? Baru putus nih sama si Nisa?" kata Pak Roni diiringi tawa teman-temanku.

"Aduh, Pak, jangan percaya hoax, Pak, cuma gossip." jawabku.

"Alasan aja nih akhi. Sudah, cuci muka dulu sana" kata Pak Roni.

"Udah gak usah pak ini udah gak ngantuk. Sudah siap menerima segala materi dari Bapak yang akan Eza amalkan di kemudian hari." jawabku.

"Siap mantap, gitu dong akhi. Sudah sudah, kita lanjut cerita-cerita tentang sejarahnya, ya..." ucap Pak Roni.

Dan pelajaran pun berlanjut sampai bel berbunyi.

"Ja, hari ini ada kajian di DKM, tentang kepemimpinan dalam Islam, loh. Yuk ikut, pematerinya dari luar, kece banget dia aktivis gitu" Kata Fadhil yang seperti biasa tanpa lelah mengajakku kajian, walau ia tahu pasti aku akan menolaknya.

"Aduh pusing banget nih mau langsung pulang aja." jawabku.

"Ajaib emang ya Ezra ini. Dikit-dikit pusing, dikit-dikit sakit hati—eh maksudnya sakit perut, dikit-dikit sakit jiwa—eh maksudnya sakit kaki, mau sakit apalagi sih?" canda Justin.

"Berisik. Sudah ya, Fadhil aku udah gak kuat pusing mau langsung pulang. Yuk Justin kita pulang." Jawabku.

"Ayolah, Ja. Tentang kepemimpinan, loh. Kita semua kan pasti akan jadi pemimpin nantinya. Kamu gak mau tahu dasar-dasar kepemimpinan gimana aja? Itu penting banget apalagi di zaman sekarang ini....." ajak Fadhil yang terpotong olehku.

"Emangnya manusia hidup buat apa sih? Aku akan jadi apa nanti? Buat jadi pemimpin emang? Enggak, Dil. Orang macam aku gak akan bisa jadi pemimpin, jadi percuma ikut kajian juga. Besok besok aja, ya. Dadah Fadhil!"

Begitulah sehari-hari aku menolak ajakan ibadah dari Fadhil. Alasanku bermacam-macam, misalnya sakit, disuruh pulang cepat sama Ibu, disuruh jaga Adik di rumah, dan lain-lain. Kadang-kadang aku juga berpikir, mau-maunya Fadhil berteman dengan aku. Dia dan aku yang sangat berbeda, tak membuat dia putus asa untuk selalu mengajakku kepada kebaikan.

Satu pertanyaan yang selalu aku lontarkan saat aku menolak ajakan Fadhil, adalah "Memangnya manusia hidup untuk apa?" atau pertanyaan semacamnya, dan Fadhil selalu tidak memiliki jawaban akan hal itu. Pertanyaan itu memang keluar dari mulutku begitu saja dengan tidak sadar, yang seakan sudah menjadi skenario penolakan untuk Fadhil.

Setahun kemudian, aku dan teman-temanku lulus dari SMA ini. Aku senang sekali, akhirnya aku terbebas dari segala peraturan-peraturan sekolah yang mungkin hanya lima belas persennya saja yang aku patuhi. Kenakalanku ini berimbas kepada nilai rapotku yang hasilnya tidak seberapa. Hasilnya, aku hanya bisa diterima di universitas swasta! Karena itulah, aku terpaksa mengikuti keinginan Ibuku untuk kuliah di salah satu universitas swasta yang islami, dengan jurusan yang sama sekali tak pernah terbayangkan olehku, yaitu jurusan Aqidah dan Filsafat Islam. Cukup aneh mungkin terdengarnya apabila seorang Eza kuliah di jurusan islami seperti itu. Tetapi apa boleh buat? Aku berpikir, daripada aku mengalami gap year dan membuatku semakin malas, lebih baik aku turuti saja keinginan Ibuku.

Berbeda nasib dengan Fadhil, karena ia pintar jadi ia diterima di salah satu universitas negeri yang bergengsi. Dengan jurusan yang paling ia ingin-inginkan dari dulu, jurusan Fisika, membuat Fadhil semakin hebat saja. Justin juga diterima di universitas negeri yang berbeda dengan Fadhil, dengan jurusan Seni Musik. Padahal, bernyanyi juga ia tidak bisa, apalagi bermain musik. Aku heran kenapa ia memilih jurusan Seni Musik. Tetapi ya sudahlah, itu pilihan dia. Kami bertiga sama-sama kuliah di univesitas yang jauh dari kota kami tinggal, yang membuat kami harus tinggal di asrama atau di rumah kos. Meski telah berjanji lulus nanti akan selalu berteman, tetapi nyatanya setelah lulus SMA kami bertiga putus komunikasi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 19, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Lantunan Kala ItuWhere stories live. Discover now