2. Anyelir Kuning

22 3 0
                                    

Aku melangkahkan kakiku melewati tangga menuju lantai dua kelasku. Entah kenapa rasanya begitu malas mengikuti pelajaran hari ini. Tapi tak mungkin juga aku akan membolos. Akupun memaksakan kakiku untuk berjalan ke ruang kelasku.

Tinggal 2 anak tangga lagi dan tinggal melewati koridor lantai dua baru aku akan sampai di kelasku.

Tapp.. Tapp.. Tapp..

Entah kenapa suara sepatuku terdengar nyaring ketika aku berjalan, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 06.45, harusnya koridor lantai dua ini ramai oleh para murid seangkatanku, tapi keadaannya kini malah sebaliknya, hanya ada satu dua orang saja yang sedang berjalan melewati koridor. Bahkan ketika kulihat, muka mereka tampak tegang dan ketakutan akan sesuatu, banyak juga yang sedang berbisik - bisik suatu hal, tapi aku tak peduli, menurutku memang sudah biasa seperti itu. Tapi tetap saja rasanya ada yang mengganjal perasaanku. Namun aku mencoba tak mempedulikannya.

Kemudian sampailah aku di ambang pintu kelasku, kulihat di depan meja guru teman sekelasku sedang berkumpul, entah itu laki - laki atau perempuan mereka sama - sama berkumpul menjadi satu. Muka mereka juga sama seperti murid lainnya yang kutemui di koridor, tampak tegang dan ketakutan akan sesuatu. Mereka tampak membicarakan sesuatu pula. Mereka melihatku sekilas lalu mengabaikan lagi kemudian kembali membahas tentang gosip mereka. Lagi - lagi aku tetap tak peduli, aku memang tak mempedulikan apapun dan sering bersikap acuh terhadap segala hal.

Itulah aku, namaku El Rio Breyniandt. Murid laki - laki kelas 10 yang tak terlalu mencolok soal pertemanan. Ya, bahkan aku juga tak berminat memiliki teman. Aku sudah terbiasa menjalani kehidupan masa remajaku seorang diri, jadi aku tak terlalu mempermasalahkan soal memiliki teman ataupun tidak di sekolah. Aku lebih suka sendirian.

Punya tampang jutek dan cool, aku selalu mempertahankan imageku dikalangan murid lain ataupun para guru. Bukannya aku bermaksud sombong, tapi dibalik sifat jutekku aku memiliki IQ tertinggi di sekolahku ini, namun begitu aku selalu bersikap biasa saja seolah - olah otakku sama seperti murid lainnya. Akupun juga tak mengharap diistimewakan oleh para guru, akupun juga sering menolak jika direkomendasikan ikut olimpiade. Bukannya aku takut kalah atau bagaimana, aku hanya tak berminat dan juga aku ingin memberikan murid lain kesempatan untuk mengikuti olimpiade itu. Karena aku tipe orang yang tak suka ribet. Jadi aku tak mau pusing - pusing menggunakan otakku untuk mempersiapkan ikut olimpiade itu. Walau begitu, aku kadang terpaksa mengikuti olimpiade jika keadaannya sudah kepepet. Ah sudahlah aku tak terlalu tertarik dengan hal seperti itu.

Ohiya, aku juga adalah seorang anak laki - laki yang berbeda dengan kebanyakan murid - murid lainnya. Ayahku adalah seorang dokter forensik dan asisten detektif. Aku akui kalau pekerjaan Ayahku itu keren sekali, tapi aku sama sekali tak berminat untuk berprofesi seperti Ayah. Walaupun Ayah sering bilang padaku kalau suatu saat nanti aku pasti akan menjadi seperti Ayah, tapi aku masih agak ragu apakah benar aku akan berprofesi seperti Ayah atau tidak. Pekerjaan Ayah benar - benar berbahaya dan diluar nalar, pekerjaannya mengautopsi mayat ataupun menemani sang detektif dalam memecahkan suatu hal yang berhubungan dengan kejahatan. Namun demikian, hal ini selalu dirahasiakan dari publik. Bahkan tidak ada satupun yang tau kalau aku ini anak asisten detektif, hanya rekan - rekan kerja Ayah saja yang tau. Aku sering khawatir kalau Ayah akan kenapa - napa dalam menjalankan misinya, tapi Ayah selalu menenangkanku dan menjawab

“Inilah ketegangan yang harus kau rasakan ketika hidup, jika jalanmu mudah persulitlah dengan liku - liku maka itu akan mengukur seberapa kuat dan mampu dirimu melewati cobaan itu”

Ya ya.. Ayahku adalah ayah yang paling istimewa untukku, selain karena Ayah adalah orang tua satu - satunya yang ku punya aku juga bangga karena memiliki Ayah seperti dia. Dia benar - benar hebat, tak sepertiku yang mengisolasi hidupku sendiri dari dunia luar. Entah kapan aku akan mencoba membuka diri dan berbaur di masyarakat, tapi bahkan aku sama sekali tak punya niatan seperti itu. Kukatakan lagi, aku lebih suka sendiri. Dan tentang ibuku, kata Ayah dia sudah meninggal ketika aku masih bayi. Bahkan aku sama sekali belum melihat wajahnya. Kadang aku selalu membayang - bayangkan wajah ibuku, kurasa dia cantik, tapi.. tetap saja ibu yang nyata pasti akan lebih cantik daripada yang sering aku bayangkan. Hh.. Sudahlah, mungkin itu saja yang ingin kalian tau dari diriku.

The Loudest SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang