Kim Seungmin
Bunga tidur berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Sepatuku masih bau toko dan seragam sekolah dasar yang menempel di tubuhku mengkilap tanpa sedikitpun noda coretan pena. Dari jarak sekian puluh meter, kulihat Hwang Hyunjin kecil memasuki mobilnya, disusul sang ibunda yang berpakaian necis bak bangsawan dengan setumpuk buku di pelukan serta tas mahal tergantung di lengan.
“Seungmin kenal dia?”
Suara ibu membuatku tersentak sedikit. “Hyunjin sahabatku,” tuturku. Sebagian diriku merasa heran mengapa ibu harus mempertanyakan hal itu, seolah-olah ia tidak mengenal Hyunjin sama sekali. Kulihat kening ibu berkerut beberapa waktu, hingga kemudian ia bersikap biasa kembali dan tersenyum ke arahku.
“Kalau begitu, kamu harus selalu baik dengannya, ya.”
Sebuah anggukan kecil dariku dan kami bergandengan tangan, berjalan jauh sekali menuju sebuah gedung besar bertitel sekolah.
Brak!
Aku bersumpah tadi malam kami masih bermain kartu, menghabiskan persediaan pocky dari toko paman, dan menyalakan petasan sambil berteriak-teriak kesetanan begitu jarum jam menunjuk pukul dua belas tepat lantas mengobrol lama sekali hingga jatuh terlelap. Seharusnya aku bisa tidur sedikit lebih lama jika bukan karena kekacauan tidak penting yang disebabkan oleh oknum Hwang Hyunjin.
Mataku mengerjap beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya mentari yang nyatanya begitu menyilaukan kendati saat ini musim dingin. Kepalaku pusing. Penyebabnya bisa jadi karena tidur terlalu sebentar atau gerakan serta suara-suara aneh yang dibuat Hyunjin.
“Sedang apa, sih?” tanyaku kesal.
Hyunjin mendongak, melepaskan atensinya dari tas ransel di tangannya guna melihatku selama beberapa sekon. “Lihat buku matematikaku, nggak?”
“Aku baru aja bangun. Kalau di mimpi sih nggak a—”
Oh. Ada. Aku melihat ibunya Hyunjin membawa setumpuk buku ketika masuk ke dalam mobil. Itu pasti buku-buku milik Hyunjin, dan kemungkinan besar ada buku matematika di antaranya. “Dibawa ibumu,” ucapku.
“Hah?” Pemilik marga Hwang itu kembali menatapku, kali ini dengan raut wajah mencemooh. “Apa, sih? Nggak mungkin lah. Bangun dulu, gih,” ucapnya seraya kembali mengobrak-abrik isi tas.
“Terserah kalau nggak percaya.”
Aku bangkit berdiri, membantu Hyunjin mencari bukunya di antara tumpukan sampah kardus pocky, minuman kaleng, buku-buku komik yang berserakan… Setiap kali Hyunjin khilaf, alamat aku yang harus repot membereskan kekacauannya.
Buku dengan sampul bergambar kumpulan angka tak beraturan itu akhirnya berhasil kami temukan di antara sampah-sampah bekas petasan. Tidak ada yang tahu bagaimana benda sepenting itu bisa berakhir naas. Belum puas mengasihani buku lecek tersebut, atensiku kembali beralih ke arah Hyunjin yang buru-buru memasukkan barang-barang ke dalam tas ranselnya lagi.
“Mau ke mana?” tanyaku seraya berjalan mendekatinya.
Bukan Hyunjin namanya jika tidak ceroboh dan kekanakan. Kubantu ia membereskan barang-barang miliknya. Dari buku matematika hingga sejarah. Pulpen, pensil, sticky notes, catatan kosakata bahasa Inggris.
“Ada janji sama mentor. Aduh, telat nih pasti!” Pemuda itu mengacak-acak surainya frustrasi.
“Kamu les di tahun baru begini?!” pekikku, tapi Hyunjin abai sehingga aku menambahkan, “relax, nggak perlu buru-buru.”
Usahaku sia-sia, tentu saja, karena sekarang kulihat Hyunjin menggigit bibirnya, pertanda ia sedang dilanda gugup luar biasa. Kuperhatikan pemuda jangkung itu membenarkan tali sepatu, lantas berdiri dan berlari dengan mencangklong ransel. Menuruni tangga rumah tak bertuan, melintasi jalanan sempit yang berbelok-belok, hingga sosoknya benar-benar enyah dari indra penglihatanku.
***
Rumah tak bertuan dulunya adalah rumahku.
Koreksi, keluargaku.
Lantai satunya memenuhi seluruh lahan yang kami miliki, tidak begitu luas tapi lebih dari cukup untuk berlari-lari dan main petak umpet di dalamnya. Lantai dua hanya mengisi separuh lahan, sedangkan sisanya menjadi area tanpa atap yang kini menjadi tempatku biasa membunuh waktu. Terdapat satu tangga yang menuju langsung ke bawah, jadi siapapun tidak perlu masuk ke dalam rumah dahulu untuk naik-turun.
Netraku melirik Hwang Hyunjin, duduk bersandar di bangku panjang di hadapanku, mata fokus menekuni buku bahasa Inggris. Sekali waktu ia akan terpejam dan tanpa sadar menjatuhkan kepalanya, tidak kuat menahan kantuk. Namun beberapa sekon setelahnya ia akan tersadar lagi, menepuk-nepuk kedua pipi dan kembali membaca.
Angin berhembus cukup kencang, memainkan surai-suraiku yang sedari tadi memang sudah berantakan, pun Hyunjin yang sepertinya tidak cukup peduli dengan kondisi jagat raya malam ini. Atensiku kembali pada kertas-kertas di tanganku, membaca angka-angka tercetak rapi di sebelah kumpulan istilah asing yang kebanyakan belum kupahami. Syukurlah, tidak seburuk kemarin.
“Lagi sibuk, nggak?”
Aku melipat kembali kertas-kertas di tanganku. “Enggak. Kenapa?” sahutku.
“Boleh bantu cek grammar-ku?” tanya Hyunjin.
Aku tersenyum kecil, menangkap buku tulis yang dilempar Hyunjin. Tulisan cakar ayamnya yang besar-besar mendominasi halaman yang kubuka, beruntung masih bisa terbaca. “Neither he nor she, Jin. Bukan or,” komentarku.
“Ups, sorry,” timpal Hyunjin seenak jidat.
“I really hope you can make it to the second round. Bukan wish. Wish digunakan pada kalimat harapan yang nggak mungkin menjadi kenyataan.”
“Contohnya?” tanya Hyunjin.
“Hmm,” aku berpikir sejenak, “mungkin I wish I could be a better son, dalam konteks ketika kamu selamanya nggak bisa lagi bertemu dengan ayahmu.”
Satu menit tanpa kata di antara kami. Ini hal biasa, asal tahu saja. Pada satu hari aku dan Hyunjin bisa mengobrol tanpa jeda tentang berbagai hal remeh seperti kucing tetangga yang gemar kawin atau sepatu baru Hyunjin yang hanya ada satu seantero Korea tapi naasnya terkena tumpahan kuah ramen.
Satu hari berikutnya mungkin kami akan lebih banyak bergerak dan menghabiskan tenaga daripada saling lempar kata, seperti yang kami lakukan malam tahun baru kemarin.
Satu hari lain, mungkin kami akan lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Di saat yang bersamaan paham bahwa satu-satunya hal yang bisa kami lakukan dalam kondisi seperti ini adalah tetap diam serta tidak melakukan apapun.
“Nggak valid,” ucap Hyunjin tiba-tiba.
“Apa?”
“Contohmu itu... nggak valid.”
Hyunjin meminta kembali buku tulisnya dan aku berhenti bertanya. Kurebahkan tubuhku di bangku panjang yang kududuki, lantas menatap bulan yang menyembul tepat di atas kami.
Angin jahil berhembus tapi aku terlalu malas merapatkan jaket. Maka kubiarkan saja udara dingin menguasai tubuhku. Mungkin dengan begitu, perasaan tidak enak yang akhir-akhir ini hinggap dalam diriku akan lenyap terbawa angin Januari. Pergi entah ke mana aku enggan peduli. Asal jangan pernah kembali ke rumah tak bertuan ini lagi.
R U M A H T A K B E R T U A N

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TAK BERTUAN
FanfictionAndai ia bukan benda mati, rumah tak bertuan pastilah sudah membeberkan sejuta rahasia kami kepada semesta. [ HYUNJIN, SEUNGMIN ] a fanfiction © shoeebill, 2019