Hwang Hyunjin
Seperti Februari yang sudah-sudah, tidak ada yang istimewa kecuali puluhan batang cokelat dari para gadis di sekolahku tepat pada tanggal empat belas. Kubawa sebagian ke atap rumah tak bertuan ketika pulang sekolah, berbagi dengan Kim Seungmin yang seumur hidup belum pernah mendapat cokelat pada valentine's day kecuali dari wanita yang melahirkannya sembilan belas tahun silam.
"Simpan cokelatmu tahun ini, Jin. Aku udah dapat sendiri kok."
"He?" Alisku bertaut lantaran heran. Siapa gadis aneh yang sudi memberi cokelat pada pemuda aneh seperti Seungmin?
Senyum Seungmin lolos dari kandangnya. Raut wajah puas terpancar jelas dari caranya menatapku, seolah-olah dengan sebatang cokelat dari satu gadis maka ia sudah mengalahkan ratusan cokelat yang kudapat sejak bertahun-tahun silam dari –entahlah, aku tidak pernah menghitung.
"Shin Yuna," ucap Seungmin.
"Oh." Aku mengangguk-angguk, lantas mengiyakan seluruh cerita Seungmin berikutnya. Ia memang menyukai adik kelas itu. Perlu waktu lama sekali sampai Seungmin bersedia memberitahu rahasianya kepadaku, tapi aku agak menyesal selalu memaksanya bercerita karena setelahnya, setiap kali bocah itu memiliki momen kecil dengan Yuna, ia akan mengulang ceritanya tanpa henti. Aku yakin sekali kali kisah cokelat valentine ini tidak akan berhenti sampai Mei mendatang, jadi aku mengeluarkan earphone-ku, berniat tidur-tiduran di sofa sambil membaca komik.
Alisku bertaut, komikku lenyap dari dalam tas. Alih-alih, aku justru menemukan buku latihan matematika baru edisi terbaru dari bimbingan belajar. "Shit."
"Kenapa?" tanya Seungmin di sela-sela cerita telenovela-nya.
"Nggak. Lanjutin aja ceritamu."
Seperti anjing kecil penurut, Seungmin melanjutkan ceritanya yang sempat terputus. Raut wajahnya bahagia sekali, seolah-olah tidak ada kata 'sedih' di kamusnya hari ini. Aku ikut tersenyum. Bukan karena kejadian lucu yang ia ceritakan, tapi lebih karena aku lega. Bahwa setidaknya, satu di antara kami bisa menemukan kebahagiaannya hari ini.
***
"Rumusnya pakai yang ini," Seungmin menunjuk salah satu rumus trigonometri dari buku catatannya."Hah? Rumus dari mana itu? Kok nggak ada di catatanku?" tanyaku bingung.
"Sama aja, Jin. Lihat deh..."
Aku menggaruk-garuk kepalaku frustrasi. Besok ada ujian kompetensi untuk naik level di bimbingan belajar, sedangkan aku paham materinya saja belum.
"Hyunjin, kamu capek."
Iya.
"Nggak, kok. Eh, terus gimana yang soal i—"
"Udah, Jin. Aku mau tidur. Besok pagi aja kamu tanya teman sekelasmu," potong Seungmin. Ia menguap, yang kuduga hanya pura-pura, lantas membereskan buku-bukunya. "Yuk, pulang!"
Aku mendengus, kesal karena Seungmin terlalu peka. "Baru juga jam sebelas," ucapku.
Tapi Seungmin tidak peduli. Bocah itu menarik-narik jaketku, memaksa untuk menyudahi kegiatan belajar hari ini. Bukan Kim Seungmin namanya jika tidak pandai merajuk, maka aku segera menyerah ketika ia tak kunjung berhenti menarik ujung jaketku.
Kami berjalan beriringan, melintasi gang-gang kecil yang sudah kami hafal seumur hidup. Belakangan ini, memori tentang masa kecil kerap hinggap di benakku. Saat itu, rumah tak bertuan masihlah rumah milik keluarga Seungmin. Saat itu, aku masihlah seorang Hwang Hyunjin si bocah nakal yang dibenci para tetangga karena sering usil. Saat itu, mungkin semuanya masih baik-baik saja.
"Sukses untuk ujian besok."
Kalimat Seungmin membuatku tersadar kami nyaris tiba di depan rumahku. Setelah ini, Seungmin masih harus berjalan kaki beberapa blok lagi untuk sampai di rumahnya. Bocah itu melempar senyum kecil dan aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk lebih bersyukur.
Tanganku merogoh kantung jaket, mengambil beberapa butir permen cokelat dan memberikannya untuk Seungmin.
"Woah, makasih, Jin! Kamu orang kedua yang ngasih cokelat hari ini. Maaf tadi siang aku terlalu excited karena cokelat dari Yuna, jadi nolak cokelat dari kamu," ucap Seungmin disertai senyum yang semakin lebar.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Sebentar, jangan pulang dulu," ucapku ketika Seungmin hendak beranjak pergi.
Kurogoh tasku, mengambil sekotak cokelat paling besar. "Untuk ibumu," jelasku ketika melihat tatapan heran dari Seungmin. "Makasih untuk cokelat-cokelat tahun lalu, sup rumput laut, ramen, dan makanan-makanan enak lainnya. Semoga beliau cepat sembuh."
Kim Seungmin adalah pembohong paling ulung. Ia adalah aktor paling pandai yang pernah kutemui, selalu handal memainkan peran karakter tokoh paling ceria dan tanpa beban. Tipikal karakter tokoh sampingan yang seolah tak punya masalah. Padahal, Seungmin dalam hidupku akan selalu menjadi si tokoh utamanya.
"Makasih. Ibuku pasti akan senang sekali," ucapnya pelan. "Dah, Hyunjin!"
Ia melambaikan tangannya dan melangkah pergi.
R U M A H T A K B E R T U A N

KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TAK BERTUAN
FanfictionAndai ia bukan benda mati, rumah tak bertuan pastilah sudah membeberkan sejuta rahasia kami kepada semesta. [ HYUNJIN, SEUNGMIN ] a fanfiction © shoeebill, 2019