Kim Seungmin
"Aku kerja paruh waktu sekarang, di minimarket depan sekolah. Aku akan bekerja mulai besok, pulang sekolah sampai jam sembilan."
Kupikir Hyunjin akan menunjukkan reaksi berlebihan seperti yang biasa ia lakukan. Nyatanya ia hanya mengangguk-angguk sambil menyeruput susu kotak, sepasang netra masih sepenuhnya terfokus pada halaman komik yang terpampang di genggaman tangan.
"Nggak kaget?" tanyaku heran.
"Kenapa harus kaget? Lumayan kamu dapat penghasilan sendiri dan risiko menjadi kasir di minimarket tidak terlalu berbahaya. Paling-paling kalau kena rampok saja, itu pun kamu bisa menghindar dengan pasrah saja sama si perampok. Pokoknya selamatkan dirimu dulu. Tapi kuharap nggak ada perampok, sih," komentarnya cuek dan nyeleneh.
Aku mengangguk-angguk, membenarkan pendapatnya. Memang itu tujuanku mulai bekerja paruh waktu –memperoleh penghasilan sendiri. Kendati begitu, aku adalah orang yang gemar berpikir, jadi tolong jangan salahkan aku kalau aku agak skeptis terhadap hal-hal baru. Terutama menyangkut perbedaan rutinitas sebelum dan sesudah suatu keputusan dibuat.
"Kamu nggak apa-apa kalau kutinggal bekerja?" tanyaku sedikit konyol, mengingat satu-satunya kesibukanku selepas pulang sekolah atau menemani Ibu di rumah sakit hanyalah bermain dan belajar dengan pemuda Hwang.
Hyunjin meletakkan komiknya, menatapku dengan tatapan mengejek. "Aku bakal menangis," ia mencemooh. "Memangnya kamu pikir aku anak kecil yang perlu ditemani setiap saat?"
"Kamu memang terkadang mirip anak kecil," timpalku. "Maksudku urusan akademikmu, bego. Waktu untuk konsultasi PR denganku jadi berkurang."
"Oh, benar. Kalau begitu aku harus konsultasi dengan mentorku yang membosankan."
Aku mendengus. Hyunjin kelihatannya tidak berminat mengobrol atau belajar hari ini. Kuambil volume pertama dari tumpukan komik yang dibawa Hyunjin, mencoba membaca apa yang ia baca. Attack on Titan seperti biasa.
Setengah jam berlalu dan aku sudah menyelesaikan beberapa volume. Kemudian kulihat Hyunjin, ketiduran di sofa dengan halaman komik masih terbuka lebar. Aku tersenyum kecil dan beranjak mendekatinya.
Masih jelas dalam benakku sosok Hwang Hyunjin kecil bertahun-tahun silam. Si anak tunggal yang usil bukan main sampai-sampai para tetangga sering kali mengeluh karena kebiasaannya memainkan bel rumah seluruh komplek. Hyunjin pemuda yang agak aneh, gemar main sentuh dan peluk teman-teman. Kebiasaan itu sudah sejak kecil ia bawa, mungkin karena ia anak satu-satunya –meskipun aku juga tidak tahu pasti bagaimana korelasinya. Namun karena mendapat banyak ejekan dari orang-orang, atau murni karena beranjak dewasa, perlahan kebiasaan itu menghilang.
Kadang aku merindukan sosok kecil Hyunjin. Meskipun menyebalkan, pipinya tembam dan ia tidak punya kantung mata hitam seperti sekarang. Hyunjin adalah teman pertama yang kukenal sejak menginjakkan kaki di Seoul, beberapa bulan sebelum masuk sekolah dasar. Ia kawan satu komplek, satu sekolah, dan satu gerejaku. Hobinya mengikutiku terus karena ia anak tunggal yang cukup malang.
Sudah lebih dari satu dekade sejak kami pertama kali bertemu dan aku tidak bisa lebih bersyukur lagi daripada sekarang. "Selamat ulang tahun, Hwang Hyunjin," bisikku seraya meletakkan sebungkus kado di sebelahnya.
***
Malamnya, aku diundang makan malam di rumah keluarga Hwang. Hari seperti ini tidak datang setiap saat, paling-paling hanya saat hari ulang tahun Hyunjin dan hari natal saja aku dapat berkunjung. Meskipun kami bersahabat akrab nyaris seumur hidup, aku tidak pernah benar-benar mengenal orangtua Hyunjin. Ayahnya sibuk dengan urusan pekerjaan dan ibunya sepertinya hanya memikirkan Hyunjin dan nilai-nilai pelajarannya, sehingga aku jarang benar-benar bicara dengan mereka.
"Makan yang banyak, Seungmin," ucap Nyonya Hwang seraya memberikan semangkuk penuh sup rumput laut kepadaku.
"Terima kasih," balasku sopan.
"Hyunjin, kamu sudah delapan belas tahun sekarang. Masa depanmu ada tepat di depan mata. Kamu harus belajar lebih giat di tahun terakhir ini," ucap Nyonya Hwang, membuka percakapan dalam agenda makan malam kami.
Hanya ada kami bertiga dan kalau boleh jujur aku merasa cukup gelisah. Besarnya rumah Hyunjin dan topik pembicaraan berat yang diangkat Nyonya Hwang membuatku ingin pulang saja. Aku melirik Hyunjin yang duduk di sebelahku, terlalu sibuk menjawab pertanyaan beruntun seputar akademik dari ibunya sampai-sampai lupa untuk menyantap rumput lautnya yang beranjak dingin.
Tiba-tiba aku membayangkan berada di posisi Hyunjin. Pasti rasanya tidak enak ketika kau sudah berusaha keras menembus batas kemampuanmu tapi minim apresiasi, lebih banyak tuntutan untuk meraih lebih banyak lagi. Kendati begitu, aku tidak bisa membenci Nyonya Hwang begitu saja. Aku tahu beliau hanya khawatir akan masa depan Hyunjin, berharap putra satu-satunya memiliki masa depan yang menjanjikan.
Tidak seperti sahabatnya, Kim Seungmin.
Hyunjin hidup mati-matian untuk masa depan, sementara aku hidup sepenuhnya untuk detik ini juga.
Konsep waktu yang terus berjalan terlalu menakutkan untuk kubayangkan. Aku yakin hal ini juga berlaku bagi Hyunjin dan ibunya, tapi mereka melawannya dengan berani karena mereka punya kesempatan. Sedangkan aku tidak yakin jika Tuhan akan memberiku kesempatan, sehingga aku bahkan tidak berusaha melawannya barang sedikit pun.
"Hyunjin pintar sekali bicara bahasa Inggris. Kemarin Guru Kim memujinya habis-habisan setelah ia maju untuk presentasi," ucapku, berusaha bergabung dalam konversasi. Sedikit usaha untuk menurunkan tensi juga, tentu saja.
"Benarkah?" Nyonya Hwang membulatkan matanya, terlihat antusias. "Tuh, Hyunjin, sudah Mama bilang kan kalau bakatmu itu ada di bahasa Inggris? Gimana kalau kamu daftar program internasional saja di Universitas Seoul nanti? Siapa tahu kamu dapat beasiswa S2 di luar negeri?"
Meringis, Hyunjin menanggapi dengan, "Mama! Nanti saja bicara soal rencana edukasi dan karirku. Seungmin pasti bosan dengar percakapan kita."
Nyonya Hwang menghela nafas panjang, lantas menatap ke arahku sembari tersenyum kecil. "Kalau Seungmin? Kamu ingin masuk jurusan apa?"
Aku yakin Nyonya Hwang hanya tengah berbasa-basi, karena beliau pasti sudah tahu jawabannya. Hyunjin berkata ia sering menceritakanku pada ibunya dan aku selalu membayangkan mulutnya seperti keran bocor. Sejujurnya, itu adalah daya tarik tersendiri dari ibu-anak itu –sama-sama cerewet luar biasa meskipun
"Saya belum sepenuhnya yakin, tapi saya suka matematika dan fisika. Mungkin jurusan teknik atau sains," jawabku.
Nyonya Hwang mengangguk-agguk antusias, lengkungan pelangi terbalik masih bertengger di parasnya yang anggun. "Oh, Seungmin. Kata Hyunjin kamu sering mengajarinya pelajaran yang sulit dan membantunya mengerjakan PR. Terima kasih banyak, ya. Semoga kamu juga sukses meraih cita-citamu!"
Aku tersenyum, menyantap kembali hidangan yang disajikan Nyonya Hwang selagi konversasi kembali mengalir antara ibu dan anaknya yang berulang tahun.
Ketika makan malam sudah selesai, Hyunjin mengantarku ke depan rumah dan berkata, "Maaf ya Mamaku cerewet banget."
Aku terkekeh. "Kayak kamu nggak aja."
Hyunjin cemberut, membuat wajahnya terlihat mirip bebek. "Terima kasih sudah datang makan malam dengan kami. Terima kasih juga untuk kadonya. Sampai jumpa di sekolah besok!"
Ia melambaikan tangan. Aku membalasnya, lantas berbalik dan melangkah pulang dengan bayang-bayang kabur masa depan memenuhi benak yang sudah sesak.
R U M A H T A K B E R T U A N
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TAK BERTUAN
FanfictionAndai ia bukan benda mati, rumah tak bertuan pastilah sudah membeberkan sejuta rahasia kami kepada semesta. [ HYUNJIN, SEUNGMIN ] a fanfiction © shoeebill, 2019