Fatma memandang wajahnya. Mencoba menerobos isi hati. Barangkali masih ada yang disembunyikan dari segenap pengakuan dan penjelasannya. Beberapa menit yang membuat dirinya berdebar, tak mau mengakui apa yang difahamkan fikirannya. dibawah temaramnya lampu jalan, yang menyelinap diantara robekan tenda kacang hijau, Fatma menunggu. Dia masih menunggu apa yang membuatnya tak percaya. Dia yakin akan hal itu karna lelaki di depannya ini telah melakukan hal yang sama 3 tahun yang lalu.
Di tempat yang sama 3 tahun yang lalu...
Fatma berkeluh kesah padanya, pada dia yang akrab disapanya dengan Ical. Keluh kesah sederhana seputar kehidupan barunya sebagai mahasiswi. Ditemani dengan semangkuk kacang hijau alun-alun dan Ical, pendengar setianya sejak SMP, sudah cukup meringankan masalah di pundak mahasiswi jurusan kedokteran itu. Namun, malam itu, nafasnya tak sebebas angin malam. Sesak, bahkan nyaris menangis terisak. Dia yang biasanya didengarkan, kini harus mendengarkan Ical. Mendengarkan bahwa ical akan pergi meninggalkannya selama setahun, untuk menjalani program student exchange di China.
Sejuta penolakkan berkelebat di fikirannya. Namun, semua hanya berujung di tenggorokan. Lisannya tak mampu mengucap sepatah katapun kecuali "Semangat Cal. Do'aku pasti terbang mengikutimu kesana."
Hampa, tak ada lagi teman sekaligus kakak yang membimbingnya ketika OSPEK. Mendengar keluhnya bila dijahili teman seangkatannya. Tak ada lagi tetangga yang bisa ditebengi ke kampus, sebagaimana dia ditebengi ke SMP dan SMA dulu.
Ada yang hilang dari hidup Fatma. Meski tak ada hubungan istimewa diantara keduanya. Meski hanya tetangga. Fatma bahkan selalu menunggu bumi untuk menyelesaikan revolusinya. Karna itu berarti, matahari yang ditunggunya akan benar-benar terbit.
***
Sudah seminggu semenjak bumi selesai berevolusi. Mataharinya tak kunjung terbit. Bahkan minggu-minggu itu sudah bermetamorfosis menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun.
Hari ini, Fatma menerima pesan darinya. Dari matahari yang dinantikan kehangatannya. Ical. Tepat 3 tahun sejak Fatma meninggalkan kacang hijaunya yang mendingin di mangkuk ayam jago itu. "Kacang hijau alun-alun" begitu bunyinya. Walau dengan nomor yang berbeda, tak terlalu sulit bagi Fatma menebak pengirimnya.
Bunga itu ragu. Ia ragu menjemput kehangatan, dari matahari yang bukan tak mungkin meninggalkannya kembali bersama semburat senja.
Fatma masih enggan mengiyakan, tapi tak mau pula menolaknya. Seakan iya dan tidaknya berada pada satu garis yang sama. Gerhana. Hingga tiba masa itu hilang dengan pesan Ical yang kedua "aku sudah menunggumu sejak jam 7. Berapa lama lagi kau hukum aku dengan penantian yang tak berhulu?"
Fatma terbelalak membacanya. Harusnya dia yang mengirim kata-kata itu, dan bukan menerimanya. Mengingat jam baru menunjukkan pukul 8,dan lebaran sudah berlalu 3 kali.
Fatma terpaksa menjemput kehangatan itu. Kehangatan yang akan menghilang seiring datangnya senja. Ah, senja, kau terlalu indah untuk disalahkan.
"tunggu aku disana. Aku akan menyusulmu" balas Fatma, keputusan terakhirnya.
***
YOU ARE READING
Setelah Adzan Bergema
Romancekala hati seperti ombak yang mampu hancurkan kerasnya karang ego..