002. Rindu

44 7 1
                                    

Kami sama-sama bahagia jika bersama, tak ada rasa sedih sedikit pun bila aku lagi dengannya. Dia adalah sosok laki-laki yang begitu dapat ku andalkan. Bukan dia namanya kalau tiba-tiba saat malam tidak mengajakku untuk mencari makanan karena dia lapar, bukan dia namanya kalau tidak konyol, bukan dia namanya kalau tidak tertawa sampai mengeluarkan air mata. Dia laki-laki sederhana yang membuatku sempurna.

Seperti malam ini, sudah jam 11 malam, tetapi aku sedang berada di warung sate padang pinggir jalan. Satu jam yang lalu dia mengetuk pintu rumahku dan ribut sekali katanya perutnya begitu ingin sate padang.

"Akhirnya," katanya begitu senang ketika bapak penjual sate padang itu menyajikan sate yang sudah siap di meja tempat kami duduk.

Aku hanya geleng-geleng, lalu tersenyum senang ketika melihat dia melahap tusuk demi tusuk sate padang itu. Dia menyodorkan satu tusuk sate kepadaku, aku hanya menggeleng. Sumpah! Aku sedang diet, dan di saat-saat seperti ini aku akan bilang dia adalah pacar yang begitu jahat.

"Maaf ya, sebenarnya aku bisa sendiri makan. Tapi kalau kamu enggak ikut, rasanya enggak akan seenak ini. Lagi juga, kamu pasti belum tidur, makanya aku ganggu." Aku hanya tersenyum.

Setelah dia selesai melahap sate padang beserta lontongnya, kami pun bergegas untuk pulang. Aku yang hanya bermodal piyama serba panjang dengan dibalut lagi jaket denim menaiki motor ninja hitamnya.

Aku lingkarkan tanganku di perutnya, dapat ku hirup bau khas tubuhnya yang begitu menenangkan. Jalanan begitu sunyi, bahkan dapat terdengar suara jangkrik saling bersahutan. Di saat-saat seperti ini, aku berharap motor ini tak cepat melaju sampai rumahku, aku berharap ada macet yang begitu berkepanjangan, kalian tahu pasti alasannya, agar aku bisa berlama-lama dengannya.

Saat sedang bersamanya, rasanya waktu begitu cepat berlalu, yang membuat kami juga jadi cepat berpisah. Ketika malam aku hanya bisa merindukannya, memikirkan apa dia sudah tertidur atau masih sibuk kelaparan. Ketika paginya, aku ingin segera mendengar suaranya, ketika ku telepon, dapat terdengar suara parau khas sehabis bangun tidur.

"Turun!" titahnya, aku langsung melepas pelukanku dan turun dari motornya. Ini bukan rumahku, melainkan warung makan kaki lima lainnya, kami berdiri di depan tenda soto mie bogor yang tak terlalu ramai, hanya ada beberapa yang sedang makan.

"Kayaknya pas di motor, sate padang yang aku telan dibawa sama angin," katanya seraya terkekeh, aku tertawa mendengarnya.

Dia menggandeng tanganku, dan kami memasuki tenda dengan terpal berwarna oren itu. Dia langsung memesan menu, ketika ditawarkan lagi-lagi aku menggeleng.

Tak lama pesanan datang, dia memakannya begitu lahap. Aku menatapnya bingung, aku saja yang hanya melihatnya sudah kenyang, bagaimana dia?

"Kamu enggak kekenyangan?" tanyaku.

"Enggak tuh, hehe," cengiran khasnya yang sampai saat ini masih membuat jantungku berdebar tak karuan.

"Ish dasar perut karet," ledekku dan sukses mendapatkan jitakan dari tangannya. "Ih kamu mah, sakit tahu enggak?"

"Enggak tahu," jawabnya menyebalkan dengan wajah tanpa berdosa.

Setelah dia selesai memakan semangkuk soto mie, akhirnya kini kami benar-benar pulang. Aku segera turun dari motornya ketika sadar sudah sampai di depan rumahku. "Udah sana pulang, hati-hati di jalan," pesanku dan melambaikan tangan, tetapi bukannya dia melajukan motornya, malah dia segera ikut turun dari motor.

"Sebenarnya aku kenyang, tapi kalau enggak alasan mau cari makan, kita enggak bakal ketemu. Dan aku harus menunggu besok untuk ketemu," dia menatapku intens.

"Itulah kenapa orang yang saling mencintai begitu merindukan, ketika lagi bersama kayak gini aja rasanya rindu, apalagi yang lagi berjauhan." Aku tiba-tiba tertawa kencang, dia kok jadi sok puitis seperti itu sih?

"Ih jangan diketawain, aku serius," katanya kesal. Aku berhenti tertawa, lalu memeluk tubuhnya erat. "Sebentar aja aku menghirup bau kamu yang begitu menenangkan ini." Dia mengusap puncak kepalaku lembut, rasanya jadi tak mau untuk berpisah.

Dan pelukan kami pun terlepas, ketika kepala ibuku muncul dari balik pagar rumah. "Indahnya masa-masa remaja," seru ibuku.

Aku langsung mendekat ke arah ibu, dia menyalami tangan ibuku. "Aku balik ya," pamitnya mencubit pipiku gemas, aku mendecakan lidah kesal, "Kebiasaan ih kamu." Lagi-lagi dia hanya menyengir tak berdosa.

Aku dan ibu melambaikan tangan ketika motornya melaju, lalu kami berdua segera masuk ke dalam rumah. Dan ibu memaksaku untuk cerita apa saja yang aku dan dia lakukan. "Ibu jadi rindu sama ayah kamu," katanya sehabis mendengarkan ceritaku, ayah memang lagi dinas di luar kota.

Ya, memang rindu adalah hal paling menyebalkan tetapi indah dalam waktu bersamaan. Walau harus menunggu sampai saatnya bertemu, tetapi karena rindu rasa itu menjadi lebih berharga. Karena rindu, setiap hari dia adalah orang yang selalu aku pikirkan. Dan karena rindu, rasanya berpisah adalah hal paling menyebalkan di bumi.

*

2019.07.28

rindu yang begitu membosankan, tapi selalu menjadi alasan untuk sebuah pertemuan.

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang