Piranha ~ 2

26 1 0
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku duduk di ayunan samping rumah sambil menikmati hangatnya udara dengan sinar matahari yang menyelinap dari celah dedaunan. Sudah seminggu aku berada di daerah ini. Tapi aku masih belum menemukan teman baru yang bisa menemaniku di rumah. Ngomong-ngomong, rumah baruku ini sudah direnovasi sejak hari pertama kami tiba di sini. Meskipun tidak semuanya direnovasi, tapi sudah lebih nyaman dari pada pertama kali aku melihatnya.

Liburan akhir semester tahun ini aku isi dengan pindah ke desa dikarenakan ayahku sebagai kepala kepolisian kota yang dipindah tugaskan untuk bertugas di desa swasembada ini. Dengan otimatis, aku akan pindah sekolah lagi. Ibu hanya tinggal tiga hari lalu kembali ke kota untuk mengurusi pabrik sepatunya hingga saat ini. Beliau tinggal di apartemen lamanya bersama ayah. Dan aku, ditinggalkan di sini seperti tengah diasingkan. Hanya menonton tv, beres-beres, memainkan ponsel, dan membaca novel yang dapat aku lakukan saat ini.

Otakku memutar kejadian saat pertama kali aku tiba di rumah ini, saat bertemu dengan pria kurang kerjaan itu, yang sayangnya aku tidak tahu namanya. Saat terakhir kami bertemu ia sempat bilang 'Pak Tua'. Aku baru ingat kata itu ketika Pria Kurang Kerjaan itu sudah pamit pulang pada Ibu.

Ngomong-ngomong, siapa yang dia maksud 'Pak Tua' itu? Opiniku, yang dia maksudnya pasti Ayah, karena beliau sudah sampai terlebih dahulu. Tapi, bisa saja pemilik rumah ini, atau mungkin Pak RT. Hahh.. jika saja aku bertemu lagi dengannya, aku ingin sekali menanyakan tentang ini.

Merasa bosan, aku memutuskan untuk pergi ke mini market yang berada tak jauh dari rumah. Aku mengambil sebotol minuman teh susu dari lemari es asal dan membayarnya. Sambil menyusuri jalan pulang, aku melihat-lihat sekitar. Desa ini sangat sepi, hanya sedikit warga yang melakukan aktivitas di rumah, kebanyakan warga bekerja di luar kota dan pulang setiap hari Sabtu dan berangkat lagi pada hari Minggu malam. Aku tidak tahu kenapa ibu dan ayah memilih desa ini sebagai rumah baru kami, padahal kantornya lumayan jauh dari sini. Mungkin saja karena harganya murah dan lingkungannya yang lebih tenang dari pada rumah kami sebelumnya. Ya, itu sederhana.

Kulihat seorang gadis dengan rambut sebahu mengetuk-ngetuk pintu rumahku. Setelah meneguk minuman dan memasukannya ke dalam kantung plastik, aku menghampirinya.

"Kau siapa?" tanyaku pada intinya.
Gadis itu menoleh dan terdiam sebentar sebelum akhirnya tersenyum manis padaku.

"Apa kau penghuni baru rumah ini?" tanyanya balik.

Aku mengangguk pasti. "Ya, benar. Ada apa ya?"

Gadis itu mengangkat kedua alisnya dengan mulut yang sedikit membulat, "Kenalkan, aku Zenith, putri bungsu Pak RT. Senang berkenalan denganmu!" ucapnya dengan ceria.

Aku menatap tangannya yang terulur sejenak, sedikit ragu tuk membalasnya. Ini pertama kalinya setelah sekian lama seseorang mengajakku berkenalan.

"Ressa." Balasku singkat, menyambut tangannya.

Sepertinya dia tidak menghiraukan sikapku yang dingin ini, ia justru mengangguk dan langsung menyodorkanku sebuah surat. Dengan kecurigaan yang bertambah, aku menerima surat itu dengan dahi berkerut.

"Apa ini?" Surat itu langsung kubuka dan membacanya

"Surat." Dia menatapku, "Surat undangan ke pesta ulang tahun Daniel, pemilik rumah dekat pohon rambutan itu." Tunjuknya ke arah barat.

"Tapi, aku tidak tahu siapa Daniel, kenapa dia tiba-tiba mengundangku? Padahal aku baru seminggu di sini." Kataku masih belum mengerti.

"Memang, tapi dia mengundangmu ke pestanya. Sudahlah, ayo kita ke sana sekarang! Kita sudah terlambat." Ajaknya yang langsung menarik tanganku dan menuntunku menjauh dari rumah tanpa menunggu persetujuanku lebih dulu.

PiranhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang