Bunga Kaktus

153 3 6
                                    

Ia berteriak.
Pagi-pagi pula.
Tapi biarlah.

Bagaimana tidak berteriak. Ada bunga mawar Eden di taman yang dipetik semaunya. Dan naasnya saat sedikit yang tersisa.

Ia mewek. Menghentak-hentakkan kaki dan tangannya. Lalu lemas sampai berlutut ke rumput. Ia kesal sekaligus sedih kenapa tega seseorang berbuat begini?

Siapa pelakunya?

Bobby!

Patut dicurigai.

Pahit rasanya ia kehilangan bunga hari ini sementara ia harus bekerja. Ia harus menunda pencarian siapa pelakunya.

Ia menghela napas. Baiklah. Kerja.

Keluar dan melangkah ke toko yang berjarak dua meter ia lunglai. Rasanya ingin teriak dengan lantang lagi atas kekacauan tadi.

Di ujung tepi jalan ada...Bobby. Ia memicingkan mata. Benar. Bobby. Ia harus jalan terus sampai toko melewati Bobby yang tidak sendirian. Tiga perempuan muda, seperti anak kampus dihadapannya. Mengobrol. Masih pagi mungkin saja mereka semua tidak buru-buru berangkat kuliah.

Ketika ia melenggang dengan sikap biasa saja, belum sampai melewati mereka suara Bobby memanggilnya.

Ia tidak menyahut apapun.

Ia sedang gundah hari ini.

"Mila."

Keras kepala! Ejek Mila dalam hati tatkala Bobby memanggilnya. Ia pun pura-pura tidak dengar.

"Eits, tunggu."

Ia merengut. Berani-berani si bad mencegatnya dengan cara menyetir motornya dan berhenti di depannya.

"Kau tidak kuliah ya?"

Ia membuang pandangan pada Bobby. Menggeleng. "Aku memang tidak ingin berkuliah."

"Apa alasannya?"

"Aku terlambat bekerja." Tukas Mila lalu menerobos halangan di depannya. Bobby dan motor hitamnya.

Untuk apa dia bertanya? Ia tidak mengerti.

***

"Mila."

Ia menoleh lalu celinggukan. Suara Bobby? Dimana?

Ia melonjak saat pundaknya ditepuk, "Apa?" geramnya. Ditatapnya Bobby dengan tajam.

"Aku mengaku. Aku pelaku yang memetik bungamu. Sore hari, aku mengendap-endap. Kusarankan tingkatkan keamanan. Tidak asyik mudah masuk ke tamanmu."

"Ganti!"

Bobby tersenyum. Menyerahkan sesuatu. Ia melotot. Kaktus, "Ini."

"Apa maksudmu?"

"Sebagai gantinya. Kau lihat, ada bunganya." Dia menunjuk-nunjuk bunga merah terang yang mekar di puncak kaktus.

"Jangan-jangan kau beli di tokoku tanpa sepengetahuanku atau kau mencuri tanaman ibumu, bibimu atau nenekmu," tuduh Mila.

"Aku tidak sejahat itu. Aku beli di salah satu toko tanaman. Diberitahu oleh penggemarku."

Mila merasa tidak mau terima kaktus itu. Ia pun menggeleng.

Ia mendorong-dorong kaktus pada Mila yang langsung ia kibas-kibasnya. Takut duri-duri kecil itu kena kulitnya. Ia mengkeret.

Bobby tergelak melihat reaksinya.
Menatap kaktus. Mila ambil langkah untuk mengambil sapu tapi belum sempat karena Bobby menatapnya lagi. Kurang ajar ia ditakuti-takuti dengan kaktus. Awas saja.

"Kenapa kau tidak kuliah malah menjadi pengusaha muda?"

Pertanyaan pagi itu terulang di sore hari. Ia menghela napas. "Apa urusanmu kalau aku tidak kuliah?"

"Kita bisa bertemu dengan mudah kalau kau kuliah."

"Hanya itu tujuanmu menanyakan itu? Kuliah ya belajar. Bukan mengarah pada hal lain. Mangkanya aku memutuskan tidak kuliah karena ingin kerja."

"Sayang sekali," dia melipat lengan. Berpikir, "Cukup susah bertemu denganmu di sini. Harus ada alasan. Harus ada kepentingan. Tidak bisa kebetulan bertemu tanpa ini dan itu."

"Bagus. Aku tidak kenal denganmu." Mila tersenyum mengambil sisi yang paling ia suka. Tidak bertemu setiap saat dengan Bobby. Bukannya apa-apa. Dia bad. Kalau ia ketularan bad berbahaya nanti.

"Kita satu SMA dulu."Bawel Bobby.

"Tapi aku tidak kenal dirimu."

"Aku tahu itu. Tapi sekarang kenal, bukan?" Bobby nyengir.

Dengan cemberut Mila mengangguk.

"Terimalah kaktus ini."

"Untuk apa kau memetik bunga mawarku?"

"Untuk apa ya. Aku lupa," kata Bobby cengengesan. Bersilang tangan. Menelengkan kepala kiri dan kanan.

"Katakan. Jangan main-main denganku," ancam Mila.

"Nanti saja boleh aku menjawab. Pegang dulu pemberianku," Bobby menyodorkan paksa dan ia harus menerimanya. Kaktus masih tanaman. Dan ia cinta dengan tanaman, "Dah."

Ia melongo Bobby kabur secepat kilat.

"Bobby!" Mila mengejar laki-laki itu dan apesnya tidak terkejar. Payah.

"Aku tidak mendengarmu. La la la," Bobby bersuara lantang entah dari mana. Kemana dia pergi.

"Jangan memetik bunga lagi." Ancamnya dengan suara keras. Percuma dikejar. Membuat penat saja.

"Menyenangkan disini daripada di kampus."

Astaga, Bobby malah membalas ancaman dengan kata-kata lain. Padahal ia teriak kencang sampai urat lehernya sakit.

Kaktus Lobivia...

Memang koleksi kaktus Mila sedikit.
Kaktus pemberian Bobby ia akui cukup cantik. Bunga-bunganya mekar besar dan segar. Tapi ia masih tidak terima gantinya harus kaktus. Kalau Bobby mengatakan alasannya mungkin tidak akan kesal seperti ini.

Jangan-jangan Bobby si bad termasuk penyuka tanaman...?

Ia tidak percaya. Pikiran Mila sendiri yang melantur.

CINTA YANG LAYU (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang