Jalan Setapak

136 1 0
                                    

Pertama kalinya ia ingin ke rumah Bobby.

Sore hari, pulang kerja.

Jam kuliah biasanya selesai jam berapa? Ia tidak tahu itu. Ia sempat bertanya pada tetangganya. Jawabannya tidak tahu tepat jam berapa saja Bobby ada di daerah ini tapi yang jelas sore dan tidak tahu mana rumahnya tapi daerah Bobby tinggal tetangganya tahu.

Ia maklum. Bobby kan orang tidak dikenal di daerah ini. Buat apa juga mengamati Bobby?

Tetangganya memberi Mila alamat daerah yang akan ditujunya.

Jauh rupanya. Jadinya harus naik mobil. Okelah. Bobby layak mendapat kepastian darinya.

Dalam perjalanan ia berdebar. Kalau ia sudah menjawab Bobby maka mereka akan...pacaran. Ia menarik napas panjang, kenapa kepalanya dipenuhi hal seperti itu ya?

Tenang. Belum menemuinya saja sudah melantur. Tapi kesepakatan menjalin hubungan atas dasar suka amat membuatnya grogi sekaligus berbunga-bunga.

Jatuh cinta itu memang aneh. Ia jadi nekad.

Ia pasti akan ditertawakan oleh Bobby karena lucu ia datang-datang berkata aneh. Karena yang Bobby sering dapati darinya adalah wajah kesal dan risih.

Silakan saja dia tertawa. Ia ingin menyatakan dirinya juga suka kok apa anehnya.

Tiba di depan daerah yang cocok dengan alamat, ia bingung bertanya pada siapa. Tapi ia diingatkan oleh pikirannya sendiri bahwa Bobby itu populer dimana saja. Di kampus dan luar kampus. Jadi bertanya pada siapa saja pasti tahu.

Ia mencegat perempuan cantik bergaya modis. "Permisi, kau kenal Bobby?"

"Bobby. Oh ya kenal. Kenapa?"

"Dia tinggal dimana?"

"Di sana. Rumah megah bercat putih dengan pagar hitam. Gampang kok mengenalinya. Hanya saja Bobby jarang di rumah. Dan itu sudah menjadi rahasia umum."

"Apa?"

"Ya. Dia ikut rombongan teman-temannya. Biasanya sampai tengah malam."

"Rombongan teman?"

"Benar. Aku pernah ikut dua kali walaupun sekarang tidak lagi karena dilarang orangtuaku. Jelas saja. Karena banyak juga yang bergabung adalah perempuan aku jadi tertarik, " ungkapnya ringan,"Kalau kau mau menemuinya kau bisa datang ke tempatnya langsung. Mungkin dia sedang berkencan."

Mila melotot.

"Bobby itu...memang begitu. Suka dengan banyak perempuan. Tapi tidak pernah pacaran. Kurang ajar. Untung saja aku tidak terjerat dulu." Nyinyirnya.

"Kau jujur dengan apa yang kau katakan?"

"Tentu saja. Aku malah tidak ingin semua perempuan jatuh dalam pesonanya. Karena, menurut perempuan yang pernah dikencani dan memberitahuku, dia tidak setia. Tapi yah, perempuan juga Bobby tau semuanya demi bersenang-senang, jadi memang tidak butuh peringatan. Mudah kepincut dengan perempuan cantik molek. Akhirnya berkencan deh. Tampangnya yang ganteng ternyata dimanfaatkan dengan sempurna."

Mila pusing.

"Semoga kau juga tidak."

"Boleh minta alamat kemana perginya? Aku...ada perlu dengannya."

"Tentu."

Perempuan itu pergi. Fakta yang dibeberkannya membuat ia limbung.

Tidak setia...
Suka bukan hanya satu perempuan...

Ia ingin melihat. Membuktikan kebenaran tadi.

Walaupun turun niatnya.

***

Kalau tidak si pangkalan motor maka di kelab.

Ia menemukan pangkalan yang dimaksud dan tidak menemukan Bobby. Hanya segelintir orang-orang sangar dan menakutkan sedang mengobrol sambil duduk di jok motor futuristik.

Ia buru-buru menyingkir.

Dan tiba malam hari ia baru menemukan tempat kedua.

Kelab. Ia harus masuk. Terpaksa.

Setelah ia melihat ia akan langsung pergi. Ia ingin lebih yakin.

Ia kagok dengan suasana kelab. Lampu kelap-kelip, musik berdentum keras, pengunjung laki-laki dan perempuan saling berbaur, bergoyang dan minum-minum.

Bobby? Dimana dia?

Dengan was-was dan hati-hati ia mencari di kelab yang besar ini. Ia diterpa rasa takut. Mereka berbeda sekali dengannya. Dunia lain yang tidak pernah Mila lihat sebelumnya meskipun tau.

Ada laki-laki dan perempuan yang duduk,ada yang berdiri. Berduaan, saling menempel. Ia coba perhatikan satu per satu.

Rupanya...diantara mereka ada sosok yang ia cari-cari.

Dan dia sedang bermesraan dengan seorang perempuan cantik.

Rasanya teriris ketika perempuan itu memegang dagu untuk mencium pipi Bobby. Dipeluk pun dia diam seolah menerima walaupun tidak membalas apa yang perempuan itu lakukan.

Pemandangan apa ini?

Lebih baik ia menanam, merawat taman atau duduk menikmati bunga-bunga di taman yang cantik.

Ia pun pergi.

Perjalanan kembali ke rumah ia menahan diri. Untuk apa sedih? Untuk apa kecewa? Untuk apa marah?

Ingatlah Bobby itu bad.

Wajar ini terjadi, bukan?

Usai memarkir mobil, ia lekas ke taman. Itu tempatnya. Bersama bunga-bunga.

Di tengah berjalan dijalan setapak kiri kanan bunga ia terkulai lemas. Berlutut. Kemudian terduduk.

Kenapa...?

Ia jatuh cinta. Ingin mewujudkan hubungan cinta kini berbenturan dengan kenyataan Bobby yang buruk?

Air matanya mengalir dari pelupuk mata. Ia menangis? Ia tidak bisa mengira seberapa sukanya ia dengan Bobby, tapi air mata Mila membuktikan bahwa hatinya diliputi rasa kecewa, harapan yang timbul kini hancur dan kepastian yang ia ingini telah pupus.

Karena ulah Bobby.

Ia tidak marah, hanya sedih sebab menyukai laki-laki yang tidak cocok dengannya sama sekali. Mereka memiliki kehidupan yang berbeda.

Ia sadar sekarang.

Harusnya ia menyukai laki-laki yang tidak berbeda jauh. Seperti peternak atau petani. Hidup mereka tidak jauh sepertinya. Bersahaja dan tidak banyak tingkah. Umumnya begitu.

Ia bukan salah satu perempuan yang ingin bercampur dalam keburukan meskipun menarik hatinya.

CINTA YANG LAYU (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang