Semilir angin masuk melewati celah jendela yang tidak tertutup rapat, remang-remang cahaya bulan cukup menerangi kamarku yang sudah ku matikan lampunya. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi mataku masih enggan untuk terpejam. Laptop sudah kunyalakan sejak tadi, file proposal skripsiku telah nampak di layar, tapi mataku masih enggan untuk membacanya kembali. Malas, muak, walaupun aku sudah menjalani keterpaksaanku ini selama hampir 4 tahun, namun aku tak kunjung menemukan kenyamanan di sana. "Perempuan bagusnya ambil jurusan pendidikan, biar nanti jadi guru. Guru kan waktunya fleksibel. Jadi walaupun udah nikah, masih bisa tetep ngajar dan tidak menduakan pekerjaan rumah". Begitulah kiranya kata-kata yang keluar dari orangtuaku sewaktu aku lulus SMA. Sia-sia aku mencari informasi beasiswa kuliah jurusan hukum dan antropologi di luar negeri. Jangankan kuliah di luar negeri, di dalam negeri pun tak diberi restu ambil jurusan tersebut, dengan alasan yang tidak masuk akal menurutku. Tapi apalah daya, segala cara sudah aku lakukan untuk membujuk orangtua, dan mereka tetap teguh pendirian agar aku kuliah jurusan pendidikan matematika.
Dengan penuh perjuangan aku menjalani perkuliahan selama hampir 4 tahun, aku memang tidak cukup bodoh dalam bidang matematika tapi aku merasa tersiksa menjalaninya. Setiap semester ayah akan memeriksa IPKku, di semester 2 aku mendapat IPK 3,10. Nilai yang menurutnya sangat memalukan, maklumlah Ayah termasuk orang penting di perusahaan dan selalu membangga-banggakan anaknya. Aku dimarahi habis-habisan, diancam tak akan diberi uang jajan selama satu semester. Gara-gara nilaiku, ia merasa harga dirinya jatuh dihadapan bawahan di kantornya. Tapi, beruntunglah ibuku masih mengasihaniku. Ia membujuk ayah agar tak melaksanakan ancamannya. Namun biarpun begitu, setiap hariku diawasi, aku tak lebih dari boneka rekaan orangtua agar bisa dibangga-banggakan di hadapan kolega-koleganya.
Kembali ke malam ini, besok seminar proposal skripsiku berlangsung, perjuangan menyakitkan selama ini hampir selesai. Walaupun masih ada sidang skripsi menanti, tapi aku sudah merasa cukup terkagum atas diriku karena mampu melewati siksaan ini. Sesaat semua hal yang aku tulis dalam proposal itu menghilang, pikiranku diselimuti kekacauan. Ketakutan hari esok akan berantakan, bangun kesiangan, baju kusut, kopi tumpah mengenai baju putih yang aku kenakan, ibu memarahi kekacauan pagiku, ayah marah karena lama menunggu aku, jalanan macet, ayah marah-marah sepanjang jalan, aku dirutuk, disalahkan, sampe kampus susah parkir, tali sepatu lepas, terinjak dan aku jatuh tersandung, semua berkas yang aku bawa berantakan, semua mata tertuju padaku dan menertawakan. Semua kekacauan terus berdatangan memenuhi pikiranku, air mata tak terasa menetes. "andai saja aku kuliah di jurusan yang aku inginkan, pasti saat ini aku sedang tersenyum karena esok adalah hari yang aku tunggu" "kalo saja aku laki-laki, pasti ayah ibu tidak akan memaksaku untuk kuliah di jurusan pendidikan dengan alasan agar aku jadi guru, sehingga setelah menikah tidak akan menduakan urusan rumah tanggaku".
Aku tak kunjung mampu menghilangkan kekacauan yang menimpa pikiranku saat ini. Ku ambil earphone, ku putar lagu-lagu Kunto Aji di album "Mantra". Lagu-lagu ini bak mantra yang cukup bisa menyulap pikiranku dari kekacauan-kekacauan yang belum tentu akan terjadi esok hari. Sampai aku tertidur, lelap masih dengan alunan-alunan lagu yang sengaja tak ku hentikan berputar.
Matahari masih setengah menampakkan dirinya, aku terbangun dengan perasaan yang datar, tanpa rasa apapun, tanpa rasa malas maupun semangat, datar saja. Ku ambil handuk dan pergi ke kamar mandi, 5 menit cukup untukku membersihkan diri. Ku kenakan kemeja putih serta rok hitam selutut, ku sisir rapi rambut dan ku biarkan terurai tanpa diikat, ku pakai make up senatural mungkin. Setelah sepiring sarapan aku habiskan, ayah telah menunggu di mobil untuk mengantarkanku ke kampus, memastikan bahwa aku akan mengikuti seminar proposal skripsiku ini. Aku pamit pada ibu yang masih mengenakan daster karena pekerjaan rumah lain telah menunggu.
YOU ARE READING
Perempuan Tanpa Nama
General FictionKisah seorang perempuan yang hidup dalam belenggu patriarki. dibungkam, tak mampu melawan. "Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi" "Perempuan ga boleh keluar malam" "Perempuan ga boleh menyatakan cinta lebih dulu" "Perempuan harus bisa masak" ,