Jalanan tampak lengang pagi ini, aku tersenyum menatap ke luar jendela sambil berbisik dalam hati "hariku akan baik-baik saja, langit terlalu biru untuk ku jalani dengan keabu-abuan, udara terlalu hangat untuk ku jalani dengan perasaan dingin". Aku lirik ke samping kanan ayah tengah fokus dengan setirnya, aku meminta maaf dalam hati karena semalam telah merutuknya dalam lamunanku.
Aku sampai di kampus dengan tepat waktu, ku cium tangan ayah dan berpamitan. Kubuka pintu mobil, ku langkahkan kaki. Ayah memanggilku "Awas!! Jangan sampai malu-maluin ayah!!". Seketika mukaku memerah, genangan air mata tiba-tiba datang. Aku menoleh ke belakang, ku lemparkan senyum datar seperti biasa. Mobil ayah berlalu, aku masih mematung di tempatku berdiri tadi. Air mata hampir saja jatuh, ku tengadahkan wajah ke langit berharap air mata tak jadi jatuh. Ku tarik nafas sedalam mungkin sambil berbisik pelan "kamu baik-baik saja, kamu bisa menjalani hari ini dengan sempurna".
Aku melangkah gontai menuju ruangan tempat seminar proposal akan berlangsung, aku melirik sekeliling, nampak wajah-wajah penuh semangat bercampur gugup, sebagian bercengkrama untuk menghilangkan gugup dan sekadar berbagi semangat. Seseorang memanggilku "Hey, sini! Kamu baik-baik saja kan?". Hatiku masih saja berdebar setiap kali melihatnya, berbincang dengannya membuatku merasa bahwa dunia masih memihakku. Dia laki-laki yang telah aku suka sejak semester 2, tapi aku tak berani mengungkapkannya. Karena katanya "tak elok perempuan menyatakan perasaan terlebih dahulu kepada laki-laki, seperti tidak ada harga diri saja". Aku bertahan dengan perasaan yang aku sembunyikan, aku bertahan dengan rasa cemburu saat ia mempunya kekasih, dan aku dengan senang hati kembali saat ia telah putus dengan kekasihnya, seperti saat ini. Aku tampakkan senyum terbaik walau hatiku tengah dibuat kacau dengan ayah tadi. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit gugup takut tak bisa mempresentasikan yang terbaik". Obrolan kita berlangsung hingga dipanggil untuk menjalani seminar proposal skripsi.
Senyum penuh kebahagiaan terpancar dari wajah-wajah mahasiswa yang telah selesai menjalani seminar proposalnya hari ini, namun ada juga wajah tertekan karena harus mengganti topik penelitian untuk skripsinya nanti. Aku, seminarku berjalan lancar tapi hatiku hanya datar saja. Tak ada kebahagiaan berlebih, hanya terpikir setidaknya ayah tak akan memarahiku karena telah mengecewakannya. Dia, laki-laki itu tersenyum menghampiriku "Hari minggu kamu ga kemana-mana? Gimana kalau kita jalan ke salahsatu cafe di utara, kopinya enak dan pemandangannya juga bagus". Dengan penuh semangat, aku langsung mengiyakan tawarannya. Aku berpamitan, kita pulang ke rumah masing-masing.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamar, lelah seharian membuatku ingin segera terlelap dalam tidur. Namun, dari lantai bawah terdengar suara ibu memanggilku untuk makan malam, ya perutku juga sudah keroncongan. Beberapa menu sudah tersaji di meja, tak ada obrolan mengasyikkan, hanya ayah dan ibu yang asik bergosip bahwa anak kolega ayah di kantor akan melangsungkan pertunangan esok hari. Ayah berkata bahwa anak tersebut sangat beruntung karena mendapatkan laki-laki yang kaya raya di usianya yang ke-23. Usia laki-laki terpaut 5 tahun lebih tua dari perempuan, perbedaan usia yang cukup ideal, sehingga tak lama dari waktu pertunangannya, mereka akan melangsungkan pernikahan. Ada perasaan tak enak saat aku medengar obrolan ayah dan ibu di meja makan saat ini, seperti akan ada sesuatu terjadi padaku setelahnya. Segera aku habiskan makanan di piring, lalu aku berpamitan dengan alasan lelah dan sangat mengantuk.
YOU ARE READING
Perempuan Tanpa Nama
General FictionKisah seorang perempuan yang hidup dalam belenggu patriarki. dibungkam, tak mampu melawan. "Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi" "Perempuan ga boleh keluar malam" "Perempuan ga boleh menyatakan cinta lebih dulu" "Perempuan harus bisa masak" ,