Kulkas Raksasa

23 0 0
                                    


Lemari makanan, terus di ulik oleh para ahli teknologi, dilengkapi mesin-mesin ajaib yang semakin hari semakin keren untuk mengawetkan makanan di dalamnya entah dengan pendingin maupun dengan pemanas. Menyimpan kebutuhan pangan setiap keluarga, sudah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat kota untuk memiliki lemari makanan dengan mesin pendingin itu, atau biasa disebut kulkas. tapi coba kalau begini, kamu punya kulkas yang tidak hanya bisa menyimpan makanan, namun juga mampu mereproduksi makanan itu sendiri, mampu mengawetkan makanan sampai kapanpun dibutuhkan, dan makanan akan selalu segar sampai di ambil, betapa kerennya kan kulkas itu? Dan semua masyarakat ohoi evu disini punya kulkas raksasa besar tersebut.

Sebagai orang jogja, semua aliran kebutuhan pangan diambil menggunakan transportasi jarak jauh, menyimpan buah-buahan dari malang, menyimpan ikan-ikanan dari semarang, menyimpan sayur-sayuran dari bantul, menyimpan daging-daging kaleng dari tangerang (yang mereka ambil daging-dagingnya juga dari penjuru jauh lainnya), semua transportasi tersebut kalau energi yang terbuang di konversi menjadi energi manusia, mungkin kita sudah mati kelaparan sebelum semua bahan makanan itu sampai di kulkas nyaman kita. Sebenarnya hal-hal seperti ini sudah terlalu banyak dibicarakan oleh para penggiat klise-klise go green, dan menjadi melelahkan untuk memperdebatkan dan menaruh pembicaraan ini di forum kita masyarakat kota, namun di evu sini semua perdebatan itu menjadi semu saat kita dihadapkan oleh mereka yang menjalani kehidupan seperti nenek moyang kita, berburu berladang di kulkas raksasa di sebelah rumah.

Kulkas raksasa ini bukanlah bunker uang individu yang semata-mata menjadi kotak pandora pemecah masyarakat. Tidak ada yang namanya konsep kepemilikan lahan, semua orang berhak menaruh tali rumput laut di teluk lepas dan semua orang berhak menanam tumbuhan di tanah yang ada. Kesadaran diri akan jerih payah orang lain lah yang membentuk jiwa yang sadar akan kepemilikan sendiri dan kepentingan kebersamaan, tidak menaruh rumput laut di tengah jalur pelayaran datang dari moral individu yang tidak perlu ditentukan secara tertulis oleh konsep individualistis. semua kebersamaan hadir mengikuti moral yang dibentuk oleh kulkas pemersatu masyarakat ini.

Kulkas ini romantis, lepas surut air beberapa orang turun dengan senter besar (ada juga dengan lampu minyak), pergi mencari kerang yang tertimbun di permukaan-permukaan dasar teluk. Hanya berbekal ember kecil, hasil tangkapan di sekitar dermaga yang terlihat dasarnya pada saat air surut merupakan jumlah yang setara dengan jumlah lauk yang bisa dimakan sekeluarga dalam sehari. Mereka turun berdua ke dalam teluk, sepasang suami istri yang mungkin sudah menikah lama, berbincang melakukan aktivitas bersama di gelap malam sambil berburu lauk pauk untuk makan keluarga. Kebahagiaan sederhana dari waktu bersama yang tercipta tanpa perlu hingar bingar lampu gedung pertokoan, adalah simpul suami istri yang sedang berbahagia berdua di dalam teluk surbay desa evu sini.

"Paman, jual ka seng?", kalimat sederhana, ditujukan kepada setiap orang yang membawa hasil dari kulkas dan menanyakan apakah mereka mendapat hasil lebih untuk di beli oleh masyarakat yang membutuhkannya. Tumpukan buah kelapa yang dipikul menggunakan kayu, rombongan kepiting dalam satu bubu (jebakan kepiting), seember ikan hasil pancing, sekarung umbi-umbian hasil kebun, bahkan hingga satu tusukan sate udang hasil menombak, semua hasil tersebut hanya akan digunakan sesuai kebutuhan masing-masing. Kelebihan dari hasil merupakan anugrah, dan tidak menjadi persyaratan setiap individu untuk selalu mendapatkan hasil berlebih. Selain menjual kepada mereka yang tertarik, kelebihan hasil tangkap juga banyak yang diberikan kepada tetangga, diberikan kami dua potong udang besar oleh salah seorang warga yang bahkan kami belum mengenalnya, adalah hal nyata dalam kehidup berkecukupan setiap orang. Dan hal ini adalah romantisme indah yang membuatku merindu tanah evu.

Evu sendiri bukan tanah yang kaya, tidak ada tanah vulkanik yang memanjakan tanaman apapun yang ditanam, tidak ada juga teluk terumbu karang yang menjadi surga ikan. Tanah kapur begitu keras tidak membiarkan setiap petani manja akan kebunnya sendiri, setiap masyarakat yang berkehidupan dari kebun harus bersyukur atas setiap hasil kebunnya, tidak berlebih dan menikmati kecukupannya. Begitu pula para nelayan, memancing dari siang hingga matahari tenggelam hanya memberikan satu ekor ikan kerapu kecil, tanah lumpur di teluk bukanlah tempat ikan yang mudah di buai oleh umpan pancing, dan jaring sekalipun hanya memberi warna sedikit dalam lauk pauk masyarakat. Semua orang harus berjuang disini, dengan keringat sendiri melewati cobaan keterbatasan tanah. Tapi yang akan kamu lihat di evu adalah senyum setiap orang, senyum syukur atas ketercukupan hidup mereka, senyum indah dari jiwa-jiwa yang menikmati ketercukupan ini tanpa ada tekanan untuk mendapatkan hasil berlebihan. Kulkas-kulkas hebat yang ada di pulau jawa kini banyak yang rusak karena jiwa yang rakus, dan di evu tidak ada kerakusan tersebut.

Aku sendiri selalu bertanya, apakah orang evu butuh uang jika tanpanya mereka juga bisa hidup bahagia? Yah atas tekanan waktu dan budaya internasional, uang pun menjadi standar kehidupan yang tentu pada akhirnya masuk ke tanah ini. Namun sejauh ini, masyarakat evu yang ada adalah masyarakat mandiri yang tidak begitu banyak terikat oleh perekonomian luar, jauh dari kapitalisme negara besar, dan mandiri dengan pencaharian rumput lautnya, semoga keindahan yang kurasa ini akan terus berlanjut hingga kapanpun.

Journey to Kei IslandsWhere stories live. Discover now