Ma(l)ren

9 0 0
                                    


"Pengumuman, berasalkan dari panitia pembangunan gereja, bahwa selama minggu ini diadakan kerjabakti mengejar kebutuhan tela untuk penutup dinding atas gereja, mohon kesediaan dari semua masyarakat evu". Sebuah pengumuman rutin berisikan pekerjaan mingguan masyarakat desa dalam proses pembangunan gereja dikumandangkan di setiap hari selasa dan jumat di tiap minggunya. Sudah menjadi kesadaran setiap individu warga desa untuk mengosongkan agendanya di hari terisinya air di bak kamar mandi tersebut.

Pembangunan gereja ini mungkin di mata kita orang jawa yang serba praktis sangatlah lama. Sudah hampir 10 tahun sejak awal pembangunan, dinding penutup gereja pun belum semua tertutup, lantai yang masih tanah rumput, dan skafolding-skafolding yang ada sudah rapuh oleh umur. Proses pembangunan bangunan yang terlalu lama mungkin secara teori tidaklah bagus, karena umur bangunan ideal sudah berkurang saat fungsi bangunan secara resmi digunakan. Namun sabarlah, justru proses yang lama ini memberikan nilai yang sangat tinggi yang melekat pada gereja ini.

Di jawa kita bisa menetapkan sebuah manajemen waktu konstruksi karena variabel pekerjaan yang ada sudah banyak sekali terdefinisikan oleh angka. Tenaga manusia sudah tidak lagi bernilai tinggi, berikan angka upah yang akan diberikan kepada para tukang, dan tambah jumlah pekerja yang ada maka pembangunan pun bisa ditentukan jangka waktunya. Semua terkesan mahal, tapi bangunan yang terbangun sangatlah murah. Waktu yang dipermasalahkan di mata masyarakat terasa begitu semu, tidak ada yang pernah mempermasalahkan lamanya proses konstruksi karena pembangunan gereja ini tidak melibatkan rekayasa angka yang biasa kita lakukan. Semua membangun dengan apa adanya, bekerja sama di waktu yang ditentukan untuk bekerja sama, Bangun dengan tangan sendiri, hingga esoknya dapat menikmati jerih payah sendiri. Nilai yang melekat pada gereja ini pun lebih dari sekedar gedung besar tempat beribadah.

Cerita tentang gereja tadi merupakan gambaran tentang ma(l)ren, sebuah kosa kata yang mungkin jika dibahasa indonesiakan berarti kerja sama. Secara umum, adat di kei ini bisa dibilang masih cukup tinggi, bukan bermaksud untuk klise, tapi sungguh budaya yang telah di ajarkan nenek moyang masih mereka jalani murni dari diri sendiri tanpa adanya campur tangan pemikiran-pemikiran konservasi dan lain sebagainya. Dan ma(l)ren adalah contoh nyata adat budaya bahwa mereka selalu bekerja sama dalam segala hal. Tidak hanya dalam pembangunan gereja (karena aku pada awalnya cukup apatis berpikiran mereka kerjasama bangun gereja hanya untuk pencitraan di depan kami mahasiswa), untuk hal-hal kecil seperti pembuatan jaring ikan, hingga pembangunan gubuk peristirahatan yang secara garis besar bisa diklaim milik individu pun masyarakat tetap datang untuk membantu mengerjakan banyak hal, sesuatu yang tidak ada di masyarakat yang telah mengenal "imbalan".

Dalam ma(l)ren sekalipun, keahlian individu di akui oleh keseluruhan masyarakat. Tidak ada yang sok pintar bisa mengerjakan segalanya, setiap orang mengakui orang lain. Mereka yang ahli dalam pekerjaan kayu sadar diri untuk mengerjakan beberapa pekerjaan kayu yang hanya mereka yang berkompeten untuk mengerjakannya, mereka yang masih muda dan lincah menjadi sadar diri untuk mengerjakan beberapa pembuatan skafolding di langit-langit bangunan, mereka yang belum memiliki pekerjaan tetap duduk bersedia membuat tela (batu-bata dari tanah putih) dari pagi hingga sore, bahkan hingga para perempuan yang tidak dapat membantu banyak dalam pekerjaan kasar selalu setia dengan masakannya untuk banyak orang. Tidak perlu lagi adanya penyusunan pekerjaan secara formal, semua datang sesuai keahlian dan melakukan yang terbaik sesuai keahlian masing-masing. Bagi kita yang selalu membanding-bandingkan pekerjaan, konsep ma(l)ren terasa tidak masuk akal dan begitu melelahkan.

Bekerja sama adalah sesuatu yang selalu melekat dengan persamaan. Persamaan tujuan dan kepentingan akhirnya membentuk sebuah rasa untuk bekerja sama. Namun perkembangan manusia yang menyempitkan pikiran telah banyak memecah persamaan tersebut, manusia tidak lagi berpikir bahwa mereka sama-sama homo sapiens semenjak adanya pemikiran tentang agama, ras, dan lain sebagainya yang telah memecah persatuan. Itu alami, di zaman ini sudah sewajarnya kita mengakui bahwa kita memang berbeda, namun cerita berikut bisa dijadikan bahan makanan untuk otak kita memikirkan kembali sebuah persatuan, "ayah piaraku, ayah yim adalah penganut protestan, namun dia adalah salah seorang di garis depan dalam pembangunan gereja katolik di evu. Keahliannya mengerjakan pekerjaan bangunan memberi dia pengetahuan cukup luas seputar politik bupati yang telah lima tahun berjanji membantu pembangunan gereja namun tidak lekas ditepati, hingga akhirnya dia pun berbalik mendukung calon bupati lain yang sedikit membantu pembuatan gereja, seusatu yang tidak dipikirkan oleh warga katolik evu lainnya yang tetap mendukung bupati yang sebelumnya". Jangan lihat sisi politiknya, cukup lihat kemurnian tujuan dari dasar keimanan yang berbeda, sungguh perbedaan bukan alasan yang tepat untuk memecah persatuan di evu sini.

Ma(l)ren sendiri sebenarnya Cuma maren, namun dari pengucapan aku merasa ada huruf L di tengah-tengahnya, dan ternyata makna yang didapat juga sama indahnya dari kerjasama, "Ma" berarti "Lalu", L untuk "Laf.Lafi.k" berarti "pengorbanan diri untuk orang lain", dan "Ren" berarti "Induk utama", sehingga bagiku maren itu sendiri bermakna ma-lafi-renan, yaitu "kemudian mengorbankan diri untuk kepentingan bersama". Cerita ini ditujukan kepada mereka yang telah banyak sekali membantu kami mahasiswa kkn selama menjalankan studi. Mereka yang mengabaikan kepentingan diri untuk datang membantu kami tanpa berpikir sedikitpun tentang imbalan, sungguh pelajaran tentang ma(l)ren ini adalah salah satu yang paling berharga dalam hidup.

Journey to Kei IslandsWhere stories live. Discover now