Sang Ecstacy

9 0 0
                                    


Ini adalah hari ke 8 setelah aku meninggalkan tanah evu. Aku terduduk diam di sebuah dermaga memperhatikan kapal terakhir perjalananku menuju tanah kampung halaman sedang berlayar menuju tempat berlabuh, dia begitu lamban seakan tidak peduli dengan jarum jam yang sedang beradu kecepatan. Genap pula perjalanan singkatku menyusuri garis pelayaran yang menghubungkan tanah jawa dan tanah kei, permukaan air laut yang begitu luas hingga hanya intuisi yang bisa membaca keberadaan pulau di tengah laut yang serba horizontal. Kenapa aku memilih untuk menyusuri laut yang perjalanannya sangat lama dibanding melintas udara yang jauh berkali-kali lipat lebih cepat adalah alasan yang abstrak, yang mungkin baru sekarang ku bisa membahasakannya dengan tepat, beradaptasi dengan waktu setelah hampir dua bulan bermandikan kebahafiaan di tanah evu, butuh waktu yang tidak sebentar untuk mengakhiri masa kebahagiaan itu dan beradaptasi ulang dengan hidup di tanah kampung halaman. Dan kapal terakhir ini adalah penutup masa transisi yang berat dan melelahkan ini, hangover.

Tanah ini tanah ecstasy, bermain dengan zat-zat yang mengalir merasuk melewati kulit, terhirup ke paru-paru bergabung dengan oksigen dalam darah, bahkan mempermainkan gelombang yang masuk ke sistem saraf panca indera, memberi otak sensasi luar biasa atas kebahagiaan. Landscape beragam dari permukaan laut teluk surbay hingga ke pucuk daun tertinggi pohon mahoni dihiasi kehidupan makhluk hidup yang berharmoni dengan aktivitas manusia evu di dalamnya. Tatanan variabel yang membentuk satu kesatuan zat addictive yang kulalui selama hampir dua bulan. Otakku telah rusak, menjadi sangat nyaman untuk terus menikmati hari di tanah evu.

Disini waktu tidak berjalan. Sensasi ketenangan yang diberikan tanah ini melepaskan semua beban pikiran yang telah banyak buntu oleh kenyataan-kenyataan kehidupan. Tekanan akan kehidupan modern dengan bahan bakar uang dan narsisme diri yang biasa kita lalui di kota-kota besar tidak masuk ke tanah ini, memberikan lebih dalam makna arti kenikmatan kehidupan. Kita menentukan tempo ketukan kehidupan kita sendiri, beberapa warga menentukan temponya dari naik surut air laut, besar kecil angin, waktu dari bulan berpurnama, hingga ada juga yang menentukan dari jumlah isi lemari makanan, dan aku menentukan tempo dari jumlah malam. Begitu nikmat malam berlalu hingga sensasi ketenangan yang ada tidak dapat dipuitiskan menjadi deskriptif atmosfer yang bisa disalurkan lewat tulisan. Para penghias langit lah membedakan aktivitas yang dilalui selama hidup di tanah evu. Kita tidak perlu terburu-buru, dan juga tidak akan mengalami kesia-siaan waktu, ketukan yang menjadi acuan bukanlah ritme yang dipaksakan dari aliran musik kehidupan yang ada, melainkan tatanan musik yang merasuk dan memberikan hati keputusan akan seperti apa tempo kehidupan, nikmati saja suasana hati di tanah yang tak berwaktu ini.

Hingga akhirnya sampailah pada malam terakhir kenikmatan. Kita membuat api, mengitari dan berbagi cerita, mereka adalah teman berecstasy, baik remaja evu maupun remaja ber-kkn yang di perciki api kenangan perjalanan kebahagiaan bersama selama 2 bulan. Malam berakhir dengan kalut, hingga semua partikel awan menyembunyikan keceriaan bintang berusaha sopan atas hati kuta yang dipaksa untuk mengakhiri kebahagiaan. Tanah ini bahkan sangat kejam, hingga akhir perjalanan kami harus tetap di cekoki kebahagiaan. Lambai ratusan tangan dari balik jendela pesawat membuat bibir ini tidak bisa mengakhiri senyum, seperti efek tawa dari magic mushroom, lekas tak terlihatnya lagi tanah itu, senyum pun hilang mendadakan, menyisakan masa hangover yang begitu menyiksa, bahkan berair mata saking peliknya.

Journey to Kei IslandsWhere stories live. Discover now