Sekilas Dari Buru

6 0 0
                                    


Satu pulau di sebelah pulau seram dan pulau ambon, perbukitan rumput indah menjulang di belakang pelabuhan Namlea yang sedang disinggahi kapal nggapulu sekitar 5 jam. Bukit-bukit yang curam itu indah layak wallpaper windows xp, dan sebuah cerita dari luka galian di tanah bukit itu diceritakan seorang penumpang yang baru saja naik berkenalan denganku, luka itu adalah tambang emas.

Dahulu buru terkenal akan minyak kayu putihnya yang konon bisa menyembuhkan banyak penyakit. Minyak yang jauh lebih mahal daripada minyak kayu putih pabrikan, yang bahkan walau sudah diragukan kemurnian campurannya, di ambon semua teman seperjalananku tetap membelinya seharga 100 ribu per botol. Komoditi masyarakat lokal yang sekarang katanya sudah sangat langka, karena petani-petani kayu putih tersebut telah berpindah profesi menjadi sesuatu yang lebih menggiurkan, penambang emas. Dimulai di tahun 2010, dimana salah seorang petani berhasil menyuling emas di tempat yang katanya dia ketahui lewat mimpi. Tersebarlah informasi tersebut, dan tidak hanya warga lokal buru yang menjadi penggiat penambang emas, seluruh masyarakat di indonesia yang mengetahui kabar itu berbondong-bondong datang untuk menjadi penggiat pertambangan tersebut. membayar yang hampir bisa dibilang tiket menambang sebesar 700 ribu untuk tenggat waktu 3 bulan penambangan kepada marga-marga lokal adalah kegiatan yang kini menjadi untung-untungan karena ada kemungkinan untuk tidak dapat emas sama sekali. Ratusan meter dalam tergali untuk terus memenuhi rasa lapar akan emas dari tanah yang tidak bisa di ambil oleh pemerintah tersebut, tanah adat.

Kerusuhan terjadi di awal-awal tahun 2013. Pembunuhan tiba-tiba seperti memenggal kepal, menombak, hingga memanah dilakukan oleh warga lokal yang telah menjatuhkan banyak korban. Darah dan nyawa yang tertumpah dalam rangka sebuah pengorbanan tumbal untuk sang tanah agar terus memberikan emasnya. Suasana mencekam terjadi kepada para penambang yang tidak bisa melawan perilaku mereka tuan tanah. Uang yang ditarik secara bergilir dari tiap-tiap marga yang ada pun tidak memberikan rasa aman bagi penambang yang dihantui oleh bayangan akan menjadi tumbal bagi tanah ini. Kerusuhan masih berlanjut entah sampai kapan, terakhir adalah sebelum masuk bulan puasa, satu setengah bulan yang lalu.

Pemerintah yang tidak bisa masuk ke tanah adat, dan wewenang raja adat yang mulai di acuhkan kebijakannya, tidak memberikan sebuah kesimpulan moral yang harus diterapkan pada kondisi yang ada ini. Berlanjut layaknya bukan sebuah kriminalitas, untuk makan di daerah tambang kita harus bercengkerama dengan lalat-lalat dari mayat tumbal tanah tambang emas buru.

Journey to Kei IslandsWhere stories live. Discover now