Bunga-bunga

44 5 14
                                    

Farah mulai naik ke kelas enam. Sejak kejadian gladi bersih itu. Hari-harinya di sekolah berjalan lebih menyenangkan daripada yang biasanya. Menurut perasaan Farah.
Mungkin karena Hisyam mendadak terlihat berbeda di matanya. Ada beberapa bibit-bibit penasaran yang tumbuh di hati Farah.

"Kamu mau apa Fa?" tanya Fani, saat mereka memilih-milih makanan.

"Hmm, apa ya? Ini aja deh. Roti kukus."

"Lho, nggak makan siang nih? Aku aja mau beli nasi pecel lho."

"Nggak usah. Aku makan di rumah aja."Farah mengambil sebuah roti kukus lalu mengulas senyuman lebar ke Fani.

"Bentar Fan, aku bayar dulu." Farah pun berjalan memutar ke sisi lain. Mendekati Mak yang sibuk mengambilkan nasi untuk pesanan siswa lain.

"Ini Mak.." sambil menyodorkan uang.

"Gawe opo?" Mak memasang tampang bingung, membuat Farah lebih bingung lagi.

"Ya buat bayar roti kukus ini."

"Wes mari ngunu lho. Wes dibayar." Mak menjawab dengan nada sedikit naik. Farah menatap dengan penuh tanya pada wanita itu.

"Wes, wes, wes. Kamu iki ojo ngriwuki kerjaan e Mak. Mak lagi nggak kepingin guyon."

"Lho, aku nggak bercanda Mak. Kata siapa udah bayar?" Farah mencoba memaksa penjaga kantin itu menerima uangnya. Tapi ia malah dipelototi.

"Mau iku wes dibayarno arek Nduk."

"Fani?"

"Ogak... Wes Far. Mak Kate nang dapur." Belum sempat Farah bertanya lebih lanjut. Mak sudah menghilang begitu saja ke ruang belakang. Gadis itu masih ragu dengan yang dikatakan Mak tadi, dan berniat untuk bertanya kepada pembeli lain, yang kebetulan mejanya dekat situ.

Baru 30 derajat Farah memutar tubuhnya, tiba-tiba sebuah tangan kurus menepuk pundaknya dengan keras.

"Masih nggak percaya sama Mak. Terus mau percaya sama siapa?" Hisyam tersenyum sambil menahan tawa. Farah balas menatapnya dengan curiga.

"Kamu tah yang bayarin?" Farah bertanya memastikan, meskipun ia bisa membaca dengan jelas gelagat anak laki-laki di hadapannya itu. Pasti dia yang membayarkan barusan.

"Astaghfirullah, Hisyam... Kenapa sih, suka banget bikin orang nanggung hutang? Tahu kok kamu anak kaya." Omel Farah. "Apalagi ini bukan sekali dua kali, tapi sudah berkali-kali. Stop bikin saya banyak hutang."

Hisyam malah sok-sok an menggaruk kepalanya lalu melipat tangannya di depan dada. Menatap Farah dengan wajah tanpa dosa.

"Apa sih alasannya belikan aku terus? Maksudmu apa?"

Dalam pikiran Hisyam. Sebuah nostalgia singkat terjadi. Ia ingat kali pertama mengajak bicara Farah di kantin waktu kelas lima. Mereka bertengkar kecil saat itu. Sejak kejadian itu, rasa ingin tahu dalam diri Hisyam timbul. Dan perasaan itu tanpa sadar menanamkan benih-benih rasa di dalam hatinya.

Hisyam pun tahu, bahwa mungkin ini cuma cinta monyet biasa. Tapi ia tidak peduli, dan tetap ingin mendekati Farah. Salah satu cara yang ia ambil adalah mengikuti Farah ke kantin, dan membayarkan apapun yang gadis itu beli.

Ternyata, Farah juga menyadari gelagat barunya itu. Hisyam menjadi tertarik untuk memberi tahu Farah apa yang ada dalam pikirannya.

"Hei, kok melamun? Aku tanya apa maksudmu bayarin jajanku terus?" Omel Farah, lagi.

Hisyam memperbaiki sikap berdirinya dan menatap Farah lekat-lekat.

"Selama ini aku gitu, karena aku suka sama kamu!" teriaknya.

Seluruh pengunjung kantin yang sedang asyik sendiri, langsung memberi perhatian 100% kepada Hisyam dan Farah. Suasana mendadak sunyi. Suara Hisyam tadi keras sekali. Orang-orang menatap mereka berdua dalam diam seribu bahasa.

Hisyam tidak mempedulikan puluhan mata yang menatapnya heran. Ia memilih melangkah pergi dari kantin dengan langkah gagah berani. Ia merasa puas sudah mengungkapkan perasaannya. Meski sekarang mulai timbul perasaan cemas.

"Wuih, yang barusan itu beneran?" Rada yang sedari tadi memperhatikan mereka memecahkan keheningan. Disusul dengan gemuruh ramainya suara – suara lain. Menjadikan suasana kantin ramai kembali.

"Itu Hisyam, innalillahi."

"Wih, anak jaman sekarang ya..."

"Baru kali ini tau, ada kayak gituan."

"Keren Farah.. Keren.. Bisa buat Hisyam jatuh cinta."

Ditengah kebisingan itu, Farah hanya tertunduk tidak berdaya. Hatinya senang dan kalut di saat bersamaan. Seluruh tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.

Ini adalah kali pertama, ia mendapatkan pernyataan suka dari laki-laki. Dan itu di depan kerumunan massa seperti ini. Farah benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Ia memilih meninggalkan kantin menuju kelasnya.

Ia ingin memikirkan baik-baik maksud pengakuan Hisyam tadi.

-8-

Bel pulang berbunyi. Bertepatan dengan selesainya para murid di kelas enam berdoa. Setelah wali kelas mereka mengucap salam, Anak-anak langsung serabutan membubarkan diri.

Farah masih sibuk menata rapi bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas. Sementara itu, telinganya tak sengaja menangkap percakapan antara kedua anak laki-laki di belakangnya.

"Ham, tolongin gue dong. Buat dapetin nomornya Farah." Hisyam berbisik kepada Ilham yang berada di sebelahnya.

"Gimana caranya? Gue nggak deket sama dia. Lu tau sendiri kan, kita kalo ketemu tukaran terus?" jawab Ilham, meyakinkan.

"Duh, pasti bisa. Justru karena Lu sama dia musuhan. Kalian cenderung gampang berinteraksi," rayu Hisyam. Keberaniannya sudah habis terpakai untuk menyatakan perasaan tadi. Maka dari itu, ia berusaha mencari jalan lain untuk melancarkan aksinya.

"Hhh, gue coba dah. Demi Lu Syam."

Mendengar jawaban temannya yang gempal bagai raksasa itu, Hisyam mengulas senyum lebar-lebar sambil menaik turunkan kedua alisnya. Terlihat jelas bahwa ia sangat bahagia.

Farah mati-matian menahan tawa mendengar dialog mereka. Yang tidak bisa disebut sebagai bisikan. Karena terdengar sangat jelas.

"Ehm, Ra. Mau tanya."

Dari sudut mata Farah, si pemilik badan besar dengan wajah khas berdarah India itu berdiri di samping mejanya.

"Hmm?" jawab Farah, pelan. Tanpa mengubah fokusnya merapikan buku.

"Ra, aku mau tanya ini lho." Ilham mengulangi pertanyaannya dengan gemas, karena tidak mendengar sahutan gadis itu.

"Iya, aku denger. Mau tanya apa?" Kali ini Farah meletakkan buku yang dipegangnya dan berbalik menghadap lawan bicaranya itu.

"Kamu punya HP kan?" Ilham bertanya agak gugup.

"Tumben sopan, ngapain sih?"

"Permusuhannya ditunda dulu lah. Ini perkara serius..."

"Bodo, emang saya peduli?"

Farah kembali memutar tubuhnya menghadap tasnya. Ia membuka buku dan mengeluarkan sebuah bolpen dari sakunya.

Merasa dicueki, Ilham menggoncang sedikit meja Farah.

"Ayo ta Rah... Medit iki... Aku Cuma mau minta." Perkataan Ilham terpotong saat secarik kertas sobekan tidak rapi tersodor di hadapannya. Lengkap dengan dua belas digit nomor yang ditulis buru-buru di atasnya.

"Maaf Bapak Ilham. Tapi saya sudah tau." Farah berkata tanpa menoleh.

"Yakin Ra? Tumben baik lu." Sosok menyebalkan itu berucap sambil ngeloyor pergi, setelah kertas itu ada di genggamannya.

Sejujurnya, Farah merasa keberatan dalam hati untuk menyerahkan nomor pribadinya. Tapi rasa penasaran terhadap anak yang dengan percaya diri menyatakan rasa sukanya di tengah kantin, mengalahkan semua keraguan Farah.

Setelah melihat tulisan tangan gadis pujaannya di secarik kertas itu, Hisyam menolehkan pandangannya ke depan. Yang ia lihat hanyalah punggung anak perempuan berkerudung yang tengah memasukkan buku-buku ke dalam tasnya. Tapi itu saja sudah berhasil membuat Hisyam senyum – senyum sendiri.

Ia merasa berhasil memancing rasa ingin tahu Farah.

Dan memang benar adanya. Sepulang dari sekolah hari itu. Farah dikuasai perasaan kepo yang menggebu-nggebu. Tentang Hisyam, tentang kelakuannya.

Dan tentang perasaan Farah sendiri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HISYAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang