Kembali ke Indonesia untuk menebus kesalahannya. Viona menemui satu per satu masa lalunya.
Kesalahan terbesarnya ada pada Dhan. Ia memberanikan diri untuk menemui keponakannya, penolakan sempat ia terima.
Bagaimana cara Viona berhasil mendapatkan ma...
Hal pertama yang dilakukan Viona ketika sampai di Jakarta adalah, menuju gedung yang masih menyisakan kenangan masa lalu. Butik tempatnya bekerja mencurahkan semua imajinasi di dalam kepala, kini nampak kosong dan berdebu.
Seharian ia membersihkan tempat itu, Queensha menemaninya, tetapi gadis kecil itu tak bisa banyak membantu, selain bisa disuruh untuk mengambil beberapa benda ringan. Sendirian, menikmati pekerjaan lama dan menghadapi banyangan itu.
Sakit. Viona tak menyangka, kembali ke negaranya, malah membuat ia semakin tak tenang. Suaminya tak berada di tempat, Marcell pergi melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan. Ia sudah menduga, kantor keluarga Mahadri tak masuk dalam target.
Mereka tinggal bersama sang ibu yang menitihkan air mata ketika Viona pulang. Bahagia, terlihat jelas beliau tak bisa menyembunyikan haru. Ia sadar, kepergiannya telah melukai wanita itu. Viona berdosa, terlalu larut dalam luka dan menyampingkan kebahagiaan orang tua.
"Kita ke acara keluarga minggu depan, ya," ucap sang ibu ketika mereka duduk di ruang keluarga, setelah menghabiskan makan malam.
"Aku belum siap, Bu." Banyak hal yang harus ia persiapkan.
Hatinya masih tak kuat untuk menanggapi respons mereka ketika pertemuan. Belum lagi pandangan mata keluarga kepadanya, Viona belum sepenuhnya sanggup. Masa lalunya patut untuk ditertawakan, dihujat pun memang pantas, tetapi selama itu pula ia tak akan bisa menampakkan wajah kepada keluarganya.
Viona juga tak ingin seperti ini. Tersisihkan dari keluarga, belum lagi ayahnya sudah meninggal, semakin sempit rasa ingin berkumpul bersama keluarga Adinan. Ia tak punya alasan besar untuk menampakkan wajah dan Viona punya ribuan alasan untuk menjauh.
"Mau sampai kapan kamu kayak gini?" Ibunya menyentuh tangan Viona, meremas pelan seakan memberikan kekuatan. "Ayah udah nggak ada, bukan berarti kita memutuskan tali silaturahmi."
"Aku takut, Bu." Viona menatap manik teduh wanita yang melahirkannya, meskipun menenangkan, tetapi rasanya itu tak cukup jika ia sudah dihadapkan dengan kenyataan.
"Sudah delapan tahun berlalu, kamu masih tetap kayak gini. Nggak capek, hidup seperti di dalam sangkar?"
Viona mengerti keinginan ibunya. Namun, sungguh, ia belum menyiapkan hati untuk pertemuan itu.
"Aku mau fokus ke pekerjaan dulu, Bu. Usahaku baru aku bangun lagi, takutnya keganggu," alasannya.
Logis bagi seorang Viona. Suasana hati dibutuhkan dalam pekerjaan, jika setelah pertemuan dengan keluarga besarnya terjadi hal yang ia takutkan, maka Viona tahu semua akan berimbas pada pekerjaannya. Ia bukan orang yang berhati besar, angkuhnya telah runtuh beberapa tahun lalu, setelah sadar bahwa dirinya kalah.
Harapan, keinginan, semua yang ia perjuangkan telah pergi meninggalkan dirinya. Sangat tak terduga, Viona yang selalu menjadi prioritas, keras kepala, angkuh, dan tak takut pada siapa pun. Kini bersembunyi dari dunia, nyali menciut ketika melangkah keluar sangkar.
Ia sadar tak seharusnya begini terus, tetapi selama bersembunyi, hanya seperti ini dirinya mampu bersikap tenang.
"Bu, Viona janji akan kembali, tapi bukan sekarang," ucapnya sembari memberikan seulas senyum, "biarkan Viona menyiapkan hati dulu."
Seulas senyum dari wanita itu terlihat lega. "Ibu tunggu."
Viona mengangguk.
"Sebelum itu, ibu mau kasih lihat ini ke kamu," Tari mengeluarkan album foto dari laci di bawah meja, "ini foto waktu pernikahan adikmu."
Viona ingat, adiknya menikah saat ia sedang dalam keadaan terpuruk. Waktu itu ayahnya masih hidup, membuat pernikahan masih terasa haru nan bahagia. Namun, Viona tak sempat hadir. Dirinya masih jatuh dalam lubang kegelapan, bersenang untuk menutup luka. Pahit, ia harus menjalaninya sendirian waktu itu.
Keluarganya berkumpul dalam lembaran kebahagiaan, ada yang menyita perhatiannya di satu lembar itu. Nada berdiri di pelaminan, berdampingan dengan sang suami. Tak kuasa melihat senyum bahagia mereka, Viona menutup paksa album foto tersebut.
Bukan, ia bukan sedang memberontak karena tak diizinkan bersatu, hanya saja, sangat pahit jika melihat dengan nyata bahwa Kenan masih bisa tersenyum bahagia bersama keluarga, sedangkan dirinya terpuruk sendirian tak bisa keluar dari ketakutan.
"Kamu nggak boleh gini terus, Vi," Tari membelai lembut rambut Viona, memberikan rasa tenang yang tak cukup untuk menghilangkan ketakutan, "kamu harus bangkit, ibu temani kamu untuk minta maaf ke semua orang yang pernah kamu sakiti. Mereka nggak jahat, kok."
Viona menggeleng, menenggelamkan wajah pada telapak tangan. Beruntung kali ini suaminya sedang menidurkan putri mereka. Jadi, ia bisa dengan bebas mengeluarkan air mata jika diperlukan dalam perbincangan ini. Marcell akan marah jika Viona terlihat tertekan hanya karena melihat foto bahagia pria yang pernah ia cintai.
"Bu, putranya Nada, apa kabar?" tanyanya sembari mengangkat wajah untuk menatap ibunya.
"Dia baru pulang dari Australia, sudah selesai strata dua," jawab Tari.
Wanita itu menyimpan kembali album foto ke dalam laci, berganti selembar foto yang tak diberi bingkai. Viona memperhatikan foto tersebut, keluarga besar ayahnya berkumpul, jari sang ibu menunjukkan satu wajah yang duduk bersila sembari memangku seorang gadis kecil.
"Itu dia, udah gede. Sekarang mungkin udah lebih gede," kata ibunya, "ini diambil dua tahun lalu, Risya masih umur tiga tahun waktu itu."
Viona tahu Risya siapa, anak kedua Nada dan Kenan. Ibunya pernah memberitahukan kepadanya, saat berkunjung ke Malaysia untuk menengok Queensha yang waktu itu baru berumur satu bulan. Kata ibunya, Nada melahirkan dua bulan sebelum putri Viona lahir.
Memandang wajah bahagia Dhan, ia menjadi lebih merasa bersalah. Viona menitihkan air mata, baru sekarang ia mengerti perasaan keponakannya itu yang tumbuh dewasa tanpa seorang ayah.
Keegoisannya di masa muda, keangkuhannya, semua hal buruk yang ia lakukan di masa lalu, menjadikan Dhan tak bisa bersama sang ayah saat masih kecil. Viona bersalah, ia menyesal baru sekarang mengerti perasaan keponakannya itu.
Sapuan di bahu tak membuat tangisnya berhenti. Ia merasa bodoh, biar bagaimanapun Dhan adalah keponakannya, tetapi sebagai orang dewasa dirinya tak memberikan contoh yang baik dan malah merebut kebahagiaan anak itu.
"Aku menyesal, Bu," isaknya.
"Iya, Sayang. Semua orang pasti pernah bersalah." Tari memeluk Viona yang terus terisak.
"Dhan bahagia, keponakanku bahagia." Bayangan seorang remaja lelaki yang berwajah tak bersahabat di masa silam, menguasai kepalanya.
Dulu, saat bertemu dengannya, Dhan tak pernah berekspresi sebahagia itu. Kebencian, kesedihan, marah, dan segala hal negatif terpancarkan dari anak lelaki tersebut. Namun, sekarang Viona melihat pribadi Dhan yang berbeda.
Kekalahannya menciptakan senyum di wajah lelaki itu. Viona tak habis pikir jika hal tersebut malah berbalik kepada putrinya, mungkin ia tak akan sekuat Nada yang sabar menjalani hidup, mungkin Queensha akan bersikap buruk padanya karena tak bisa menerima takdir.
Biar bagaimanapun, karma itu berlaku pada siapa pun.
"Aku takut, Bu," isaknya semakin menjadi.
***
Ternyata cerita ini ada di dunia 🤣 Buat yg benci sama Viona
Cerita ini hanya ada di aplikasi/web Karyakarsa
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Download aplikasinya di PlayStore dan cari menggunakan judul dan nama pena "KanaldaOk"