"Kamu di mana?" tanya Viona kepada suaminya yang berada di ujung sambungan.
"Masih di jalan."
"Aku mau ke restoran dekat butik, kamu langsung ke sana aja, ya. Kita makan dulu, aku lapar."
Setelah mendapatkan kata 'iya' dari suaminya, Viona mulai memasukkan barang bawaannya ke dalam tas. Hari ini ia hanya sibuk mendesain—untuk proses pembuatan, ia masih harus menyiapkan bahan. Usahanya baru saja dirintis kembali, Viona tak ingin terlalu terburu-buru.
Kaki melangkah meninggalkan butik, menuju restoran yang berada di depan mata. Ia hanya perlu menyeberang, tetapi padatnya jalanan membuat Viona harus menyeberang secara berkelompok dengan bantuan satpam dari kantor pegadaian.
Dulu saat masih aktif bekerja di butiknya, restoran itu belum ada. Ya, Viona sangat ingat. Sedikit lega karena nanti saat ia bekerja dan merasa lapar, ada tempat yang sangat dekat untuk mengisi perut.
Langit sudah mulai menguning, itu berarti jam pulang kerja tengah berlaku. Pantas saja jalan sangat ramai, Viona pikir hanya sedang ada festival. Harap maklum, pekerjaannya ini kadang menghilangkan sedikit kewarasan. Apalagi hari ini ia mengeluarkan konsentrasi ekstra.
Kaki spontan berhenti, menatap satu titik yang berdiri di teras restoran. Dada memompa cepat, bukan karena suatu perasaan tak layak, tetapi karena keterkejutan akibat hati belum siap. Viona hendak mundur, tetapi ada dorongan tak kasat mata memberikan kekuatan padanya.
Dorongan berupa pikiran bijak yang muncul di kepala. Sudah cukup ia menghindar, waktu delapan tahun yang ia lewati adalah masa terlama dalam penyembuhan. Kini hatinya telah ada yang lain, hanya saja canggung, rasa bersalah, ketakutan lainnya, merasuki pikiran ini.
Namun, Viona tak ingin berlari lagi. Tujuannya kembali ke Jakarta untuk ibunya, sedikit demi sedikit ia akan mewujudkan keinginan sang ibu untuk bisa berdamai dengan masa lalu.
"Ken," panggilnya pelan, tetapi mampu membuat pria itu menoleh.
Kenan menatap terkejut ke arahnya, detik kemudian ada tembok tak kasat mata menghalangi mereka. Viona seperti didorong mundur, meskipun tujuannya berada di sini untuk hal baik. Tidak, pria itu hanya membentengi diri, menipiskan kemungkinan yang akan terjadi.
Viona memberanikan diri untuk melangkah, mendekati Kenan. Senyum ia sunggingkan agar ragu dan takut menghilang pergi dari dirinya. Pertemuan ini mendadak, ada hati yang belum ia siapkan, ada pria yang belum ia beritahu.
Mungkin, setelah pertemuan ini, akan ada masalah dalam keluarganya. Marcell tak ingin suasana ini terjadi dan mungkin Nada pun begitu. Biar bagaimanapun Viona sedang membawa bom atom peruntuh pertahanan keluarganya. Namun, ia tak ingin mundur karena merasa sudah saatnya.
"Boleh bicara sebentar?" Viona mengucapkan itu ketika sudah berada di hadapan Kenan.
----
Suasana, tatapan Kenan dan bahasa tubuh, semua terasa asing di mata Viona. Ia tahu pria itu sedang mengeluarkan pertahanan ketat. Seorang asisten menemani pertemuan mereka, Kenan yang minta.
Jujur, ia terganggu. Biar bagaimanapun ada orang yang tak harus mendengarkan masalah mereka—berada di tengah percakapan. Aneh rasanya, tetapi mau bagaimana lagi, Kenan ingin ditemani untuk memperkecil kemungkinan pikiran buruk Nada pada mereka berdua.
Baik, Viona setuju dengan hal itu. Jadi, ia berusaha santai setelah mengatakan keinginan untuk berdamai. Respons Kenan sewajarnya, meskipun masih waspada. Tak ingin dianggap sebagai perusak hubungan orang lain, ia keluarkan satu lembar foto yang menampakkan senyum ceria Queensha.
"Mereka bisa menjadi teman," ucapnya diakhiri dengan senyuman.
"Kamu ...," ucap Kenan menggantung, pria itu masih memasang wajah tak percaya.
Hanya ekspresi seperti itu, tak ada garis tak terima di wajah tersebut. Kenan berubah, sepenuhnya sudah melupakan perasaan itu. Viona harap mereka bisa saling berdamai, tak ada sedikit pun keinginan untuk membuat hubungan keluarga ini menjadi seperti dulu.
"Vi, suami kamu di mana?" tanya Kenan, sedikit bersikap lebih santai.
Viona tersenyum tipis. Belum saatnya pria di hadapannya ini tahu tentang Marcell. Memang hubungan kedua pria itu hanyalah atasan dan asisten, tetapi Kenan sangat percaya kepada Marcell waktu itu.
Jika sekarang ia memberitahukan kenyataan tersebut, Viona tak yakin akan ada suasana cair seperti sekarang.
"Nanti aku kenalin," ucapnya, "dia lagi nggak di Indonesia."
Pertemuan singkat itu berakhir dengan kebohongan Viona. Jika ditanya, ia pun tak ingin seperti ini. Suaminya bukan aib yang harus disembunyikan, hubungan mereka tercipta dengan semestinya. Meskipun harus ia akui, sebelum Kenan kembali ke Jakarta setelah menyelesaikan studi, Marcell adalah pengobat rindunya terhadap sang kekasih.
Bahkan, sampai Kenan meninggalkannya dan lebih memilih Nada, Marcell selalu ada di sampingnya. Bukan untuk sebuah pertemanan, Viona tahu bahwa suaminya sejak dulu ingin hidup bersamanya.
"Ayo pulang," ajak suara berat yang baru datang menghampirinya.
Lima menit yang lalu Kenan sudah pergi bersama Khanza. Viona sendirian menikmati makanan dalam diam. Marcell datang untuk menjemputnya, tetapi kali ini wajah itu kurang bersahabat.
Ia sadar, tugasnya sekarang adalah meluruskan kesalahpahaman. "Aku jelasin di mobil," katanya sembari meraih tas, lalu berdiri.
"Aku harap bukan kabar buruk," ujar Marcell.
Sesampai di mobil, Viona biarkan terlebih dahulu kendaraan itu keluar dari gerbang restoran. Marcell masih bersikap seperti tadi, mata terfokus pada jalanan, tetapi ia tahu bahwa isi kepala suaminya itu terdapat segala hal negatif tentang pertemuan tadi.
"Aku kasih lihat foto Queensha ke Kenan," Viona memulai percakapan, "dia kaget."
Marcell masih bungkam.
"Aku bukan cuma berdua dengan dia tadi, ada asistennya. Percaya, itu hanya pertemuan biasa. Lagian, dia juga sebenarnya kurang bersahabat sama aku tadi," jelasnya.
Tadi Viona sempat bertanya tentang Dhan, ia menjadi penasaran, sudah sebesar apa anak itu. Di keluarga Adinan, Dhan adalah cucu pertama, meskipun keberadaannya disembunyikan saat masih kecil. Ia berharap keponakannya itu mendapatkan perilaku baik oleh anggota keluarganya.
Ah, lagi pula tak ada alasan untuk membenci Dhan maupun Nada. Mereka bukan seperti Viona yang telah menimbulkan masalah di masa lalu. Ia masih belum meminta maaf kepada keponakannya, maka sampai sekarang dirinya masih merasa dihantui penyesalan.
"Aku mau damai, Cell," ucapnya sembari melihat ke luar jendela, "aku mau hidup bebas."
Hanya itu keinginannya saat ini. Pertemuan dengan Kenan tadi, membuka jalannya untuk lebih berani menghadapi dunia. Mungkin akan sangat sulit, harus mendapatkan cacian dulu, sebelum berakhir bahagia. Namun, Viona ingin tetap melakukannya.
"Temani aku sampai akhir, Cell. Aku nggak mau masa depan anak kita menjadi imbasnya," Viona tengah memohon kepada pria itu, "kita kubur semua masa lalu, kamu harus bersikap lebih percaya ke aku. Nggak ada niatku untuk ninggalin kamu."
Marcell menghela napas berat. "Lain kali, aku akan ada di samping kamu saat menghadapi mereka," ucap Marcell, "tapi, bukan berarti sekarang aku maafin kamu yang sok berani hadapi masalah sendirian."
Lengkapnya tersedia di aplikasi/web karyakarsa

KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Hati Viona (END) ✓
RomantikKembali ke Indonesia untuk menebus kesalahannya. Viona menemui satu per satu masa lalunya. Kesalahan terbesarnya ada pada Dhan. Ia memberanikan diri untuk menemui keponakannya, penolakan sempat ia terima. Bagaimana cara Viona berhasil mendapatkan ma...