Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih lima belas menit. Suasana sekolah pagi itu sudah ramai, banyak siswa-siswi yang lalu lalang. Tampak areal parkir juga sudah hampir penuh dengan kendaraan siswa dan guru. Yenni berjalan pelan melangkahkan kakinya memasuki halaman sekolah SMA swasta itu.
" Sebuah semangat ditambah senyum manis akan menghasilkan kehidupan indah yang tak pernah kamu duga," batin Yenni berulang-ulang. Kata bijak itu kepunyaan Bryan yang dia kutip dari celotehan lelaki itu saat Bryan menjadi bintang tamu di sebuah reality show. Perkataan itu Bryan lontarkan dalam bahasa Inggris dan kini menjadi vitamin penyemangat bagi Yenni dalam menjalani hari.
Yenni belum begitu jauh dari pagar, saat tiba-tiba terdengar suara Karin yang berteriak memanggilnya. Lagi-lagi sahabatnya yang satu itu tidak mau memanggilnya dengan nama penulis favorit Bryan, Barbara.
Spontan Yenni pun menghentikan langkahnya menunggu Karin yang berlari ke arahnya.
" Nggak perlu pake acara lari-lari gitukan. Liat tuh, loe jadi keringatan deh ! " celetuk Yenni pada Karin yang sudah berada disampingnya.
Karin nyengir. "Gue telat piket kelas," sahutnya sambil sibuk melap keringatnya dengan tissue. "Buruan yuk, yang sepiket dengan gue galak soalnya," ujar Karin sambil menarik tangan Yenni. " Eh, tangan loe." Karin langsung menghentikan langkahnya saat melihat tangan Yenni dipenuhi dengan memar-memar kecil.
" Nggak apa-apa kok," ujar Yenni cepat sambil menarik tangannya dari pegangan Karin. "Semalam lagi-lagi gue nabrak lemari hias yang di ruang tamu. Gue udah pernah cerita kan kalo lemari hias yang di ruang tamu gue itu gede banget, suka ngalangin gue jalan," ujarnya lagi sambil tersenyum meyakinkan.
" Kenapa nggak dipindahin aja sih," celetuk Karin. Tatapannya masih tertuju pada memar di tangan Yenni.
" Iya, ntar deh dipindahin," sahut Yenni. "Yuk buruan ke kelas, loe piket kan hari ini," ujarnya berusaha mengalihkan perhatian Karin dari memar-memar di tangannya.
Karin yang tersadar kembali menarik tangan sahabatnya itu menuju kelas.
" Loe duluan aja deh," ujar Yenni saat mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Napasnya terengah-engah, tidak tahu sejak kapan dia menjadi sepayah itu. "Penderita kanker memang gampang capek, tapi ayolah, ini baru lima anak tangga," batin Yenni kesal.
" Kenapa Yen ?" tanya Karin.
" Nggak apa-apa," sahut Yenni berusaha terlihat sebaik mungkin. Selama ini dia memang tidak menceritakan tentang penyakit kanker yang dideritanya kepada siapapun termasuk Karin. Yenni merasa minder jika teman-temannya mengetahui penyakitnya, dia tidak mau dikasihani.
" Loe duluan aja ya ke kelas, gue mau sarapan dulu di kantin," ujar Yenni berbohong, sebenarnya dia hanya ingin beristirahat sebentar, napasnya masih tersengal-sengal, rasanya dia tidak sanggup lagi melewati anak tangga itu.
" Loe belum sarapan ?" tanya Karin. Yenni menganggukkan kepalanya. "Tapi sebentar lagi bel masuk," ujar Karin mengingatkan. "Tahan aja deh itung-itung loe diet, daripada ntar loe dimarahi Pak Junet karena telat masuk kelas. Pelajaran pertama kan kimia," ujar Karin lagi.
Dan Yenni hanya bisa pasrah saat Karin kembali menarik tangannya berjalan menaiki anak tangga itu.
" Rin, kita udah selesai piket," ujar Dilla menyambut mereka di pintu kelas. Karin langsung kelihatan gusar. "Tenang aja kita nggak akan bilang loe nggak piket kok, tapi...contekin kita PR kimia loe dong," ujar Dilla lagi, yang merupakan teman sepiket Karin.
Karin menatap sekeliling ruangan kelas XI-IPA1 itu. Lantai sudah tersapu bersih, papan tulis juga sudah bersih dari coretan, spidol dan penghapus papan sudah terletak rapi di tempatnya. Jendela sudah dibuka, kursi dan meja guru sudah ditata rapi.
" Makasih ya," ujar Karin sambil menyodorkan buku PRnya.
" Rin, gue juga belum siap PR kimia, nih !" protes Ira yang langsung datang menghampiri mereka. Dilla tidak memperdulikan protesan itu, dia langsung membawa buku PR Karin si juara umum sekolah ke bangkunya.
" Contek bareng-bareng ajalah," sahut Karin sambil berjalan menuju bangkunya.
" Yaahh..." desah Ira. Dia menatap ke bangku Dilla, tampak disana Dilla sudah dikerumuni teman sekelas yang belum mengerjakan PR kimia. Ira enggan ikut bergabung, posisi bangku Dilla persis berada dibelakang bangku Nadine, si ketua genk Fragile Heart.
" Contek punya gue aja," bisik Yenni saat berjalan melewati Ira.
" Wah, hebat juga loe bisa siap PR kimia," puji Ira yang terdengar tidak seperti pujian di telinga Yenni.
" Maksud loe ? Loe mau bilang gue bodoh," ujar Yenni.
" Gue nggak bilang gitu, non," sahut Ira mengikuti Yenni yang berjalan menuju bangkunya.
Yenni meletakkan tasnya di atas meja sambil duduk dia melirik Monica yang semeja dengannya. "Lah, ini Monica lagi mencatat PR kimia, kenapa loe nggak ikutan ?" tanya Yenni pada Ira, dia memperhatikan buku yang sedang disalin Monica.
" Gue nggak bisa baca tulisan Maria, jeleknya ngalahin tulisan anak TK yang belajar nulis," sahut Ira membuat Maria yang duduk persis di belakang Yenni langsung berdiri dari kursinya dan menjitak keras kepala sahabatnya itu. Ira meringis kesakitan.
" Buruan kerjain PR loe Ra, bentar lagi bel masuk," ujar Karin mengingatkan bersamaan dengan terdengarnya suara nyaring bel dengan irama musik klasik, pertanda pelajaran pertama akan dimulai.
" Gawat," teriak Ira kebingungan sendiri. Yenni menyerahkan buku PRnya, "cepat catat, masih ada waktu sebelum Pak Junet datang," ujarnya.
Ira mengerahkan seluruh kemampuannya menyalin cepat semua jawaban dari buku Yenni. Dalam hati dia berdoa semoga Pak Junet si guru killer terlambat masuk kelas.
Di bangkunya tampak Monica sudah selesai menyalin PR kimia Maria membuat Ira yang melihatnya ketakutan sendiri. Ira melirik keadaan kelas, sudah tak ada satupun teman sekelasnya yang masih tampak menyalin jawaban PR kimia, Ira semakin ketakutan dia tidak mau menjadi satu-satunya murid yang yang tidak mengerjakan PR. Tangannya semakin cepat menyalin jawaban dari buku Yenni.
Beberapa menit berlalu tapi belum ada tanda-tanda kedatangan Pak Junet, keadaan kelas sudah ribut beberapa siswa bahkan ada yang keluar kelas.
" Guys, gue ada pengumuman nih !" ujar Irwin si ketua kelas, dia baru kembali dari kantor guru. Perhatian siswa-siswi kelas XI-IPA1 itu pun langsung tertuju padanya. " Pak Junet ada urusan jadi nggak bisa mengajar kelas kita, beliau ngasih kita tugas yang wajib kita kumpulkan seusai jam pelajaran beliau," ujar Irwin yang langsung disambut protesan dari teman-temannya. " Tugasnya dikumpul barengan dengan PR yang Pak Junet berikan," lanjut Irwin sambil berjalan keliling kelas membagikan kertas soal dari Pak Junet.
"Emang dasar si killer ya, walau lagi berhalangan ngajar tetap aja bikin kita susah," celetuk Nadine yang diiyakan hampir setengah murid di kelas itu.
" Ha-ah, syukurlah Pak Junet nggak bisa ngajar hari ini," ujar Ira sambil memijit-mijit tangannya yang terasa pegal karena menulis dengan penuh kecepatan. "Mudah-mudahan Bu Irma juga berhalangan, jadi hari ini kita bebas dari semua mata pelajaran yang menguras otak," lanjutnya.
" Jangan deh, gue suka pelajaran fisika," sahut Monica.
" Gue benci fisika, kimia, matematika. Gue benci semua pelajaran hitung-hitungan yang buat otak gue pecah," erang Ira sambil menelungkupkan kepalanya di atas meja.
" Lah, terus kenapa loe milih jurusan IPA kalo semua mata pelajaran jurusannya loe benci," celetuk Karin.
" Itu kan biar aku bisa tetap sekelas dengan kalian," sahut Ira membuat Karin tak habis pikir. "Habisnya kalian semua memilih jurusan IPA, kalo gue milih jurusan IPS berarti gue pisah kelas dengan kalian semua," sambung Ira.
" Lebai loe ah, walau nggak sekelaskan kita tetap bisa main bareng," ujar Monica.
" Tapi gue nggak mau seperti itu, gue maunya kita sekelas terus," sahut Ira.
" Yah nggak bisalah, walau sama- sama jurusan IPA, bisa aja di kenaikan kelas nanti kita beda kelas," ujar Monica lagi.
" Iya," celetuk Karin cepat sependapat dengan Monica. "Loe dan gue bisa aja di kelas IPA1, Yenni, Monica dan Maria bisa dikelas di IPA2 atau di IPA3," sambungnya. Ira meringis mendengarnya, raut wajahnya terlihat sedih.
" Hei, kalian percaya reinkarnasi nggak ?" tanya Maria yang duduk semeja dengan Ira, sama sekali dia terlihat tidak perduli dengan pembicaraan ketiga temannya itu. Perhatian seluruh anggota Angel's Wings pun langsung tertuju pada Maria, termasuk Yenni yang daritadi juga terlihat sibuk sendiri.
" Ada apa dengan reinkarnasi ?" tanya Yenni.
" Si Bryan, suami online loe nggak percaya dengan reinkarnasi," sahut Maria sambil memperlihatkan smartphonenya tapi belum sempat Yenni mengambilnya, Ira sudah mengambil smartphone itu duluan dari tangan Maria.
" Ngapaian loe baca-baca biodata member X-Life ?" tanya Ira.
" Iseng aja," sahut Maria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reinkarnasi ?
Teen FictionApa benar reinkarnasi itu ada ? Mungkinkah cinta seorang fangirl pada idolanya terbalaskan ? Ini cerita tentang Yenni, seorang fangirl yang berharap menikah dengan idolanya. Ketika di kehidupan sekarang, keinginannya itu mustahil, Yenni berharap bi...