Bagian dua - Kedai Kopi Cerita Baru

3 0 0
                                    

Pagi ini tidak seperti biasa bagi Nadia, si gadis senja. Ia terlalu bersemangat untuk segera menemui sore. Terkadang, sesuatu hal yang sengaja ditunggu memang terasa lebih sulit dijalani. Bisa saja, menebak-nebak sendiri itu berujung pada harapan yang patah. Tapi, sepertinya berpikiran positif juga bukanlah sebuah kesalahan dan bahkan bisa saja mempengaruhi keadaan setelahnya.

Nadia terus menerus melihat jam di pergelangan tangannya. Ia kesal, kenapa kemarin tidak berpikiran untuk bertukar nomor ponsel. Bisa saja, lelaki itu bohong. Ia tidak berada di sana nanti sore.

Pada saat jam istirahat, Nadia hanya menitip pada Kintan untuk dibelikan beberapa gorengan. Ia sedang tidak begitu nafsu makan. Nadia hanya menginginkan sore segera tiba. Ntah apa mantra yang di ucapkan lelaki itu ketika kemarin bertemunya hingga benar-benar mengubah seorang perempuan yang selalu ceria kini cemas menunggu sesuatu yang hanya 'puisi'?

Beruntung, jam terakhir setelah istirahat kedua adalah mata pelajaran Bahasa Indonesia, tidak terlalu harus berpikir seperti mengerjakan soal matematika. Saat bel pulang sekolah berbunyi, Nadia bergegas hingga menghiraukan teriakan Kintan yang meminta untuk menunggunya selesai piket.

"Duh, lama banget sih jam 4, berangkat sekarang apa sebentar lagi ya". Nadia sudah rapi dengan cardigan berwarna pink dan rambut yang dibiarkan terurai, hanya ada satu jepitan dengan hiasan bunga kecil yang membuatnya menjadi terlihat lebih cantik.

"Yaa.. makan dulu, kamu dari pulang sekolah belum makan lho, nanti masuk angin nak". Bundanya memanggil dari ruang makan. Nadia bergegas menemui bundanya dengan sebelumnya mengambil tas kecil berwarna putih yang berada di atas kasur.

"Lho, kamu sudah cantik begini mau kemana sih?". Tanya bundanya penasaran.

"Mau ke kedai kopi yang kemarin bun. Bentar aja kok, sebelum malam udah pulang lagi". Jawabnya sambil menyomot tempe goreng yang masih hangat di meja makan.

"Enak kali Bun kau masak". Ucapnya sambil mengunyah tempe goreng yang penuh di mulutnya.

"Heh, anak perempuan kok begitu. Kamu mau ngapain ke Kedai Kopi? Emang ada acara puisi lagi?". Tanya bundanya penasaran.

"Enggak bun, pokoknya mulai hari ini aku bakal sering ke Kedai Kopi". Jawab Nadia sambil tersenyum.

"Eh, bunda tau nih. Pasti ketemu cowok ganteng ya di sana. Kamu nih, kebiasaan deh.."

"Daaah bunda mwah, nanti Nadia telat. Berangkat dulu ya. Assalamualaikum.". memotong ucapan bundanya lalu mencium pipi bundanya dan segera berangkat ke Kedai Kopi untuk bertemu pujaan hati.

Sore itu, ia menaiki angkutan umum karena ayahnya sedang tidak ada di rumah. Ia tak mampu menyembunyikan rasa senangnya, sekaligus degupan jantungnya yang seakan-akan ingin keluar. Ia memegang ponselnya lalu membuka instagram. Tidak ada yang istimewa pikirnya, ia hampir sampai.

Setelah turun dari angkutan umum, ia harus menyeberang untuk sampai di Kedai Kopi. Ia membuka pintu dengan perlahan, senyum masih menghiasi wajahnya. Sebelum masuk tadi, ia sempat membenarkan bentuk rambutnya yang terkena angin sewaktu menyeberang.

Tidak ada lelaki yang semalaman kemarin menghiasi pikirannya. Tidak ada lelaki itu yang seharian ini membuat Nadia cemas menunggu sore. Tidak ada siapapun yang ia kenal di Kedai itu.

Nadia berjalan untuk memesan sebuah coklat hangat. Ia masih berpikiran bahwa mungkin lelaki itu masih di jalan.

"Mas, hot chocolate satu ya". Pesannya kepada barista tersebut.

"Ke Kedai Kopi kok pesannya hot chocolate". Ada yang menyahuti pesanan Nadia dari belakang. Saat ia menengok, ia sempat sedikit kaget lalu tersenyum.

"Cari saya ya?". Tanya lelaki itu.

"Aku pikir kamu bohong". Jawabnya sambil mengambil pesanan hot chocolate yang sudah selesai.

"Makasih mas".

"Saya baru datang, lagipula sore nya masih lama". Ucapnya kemudian.

"Iya, aku yang terlalu kecepetan". Katanya sebal.

"Duduk dulu di tempat kemarin ya, saya pesan kopi dulu". Suruhnya.

Nadia hanya menggangguk lalu menuju dua kursi kosong di tempat yang sama kemarin.

Tak lama, lelaki itu datang membawa segelas kopi dengan tangan yang lagi-lagi memegang sebuah buku tebal. Tas ransel tetap berada di punggungnya.

"Kamu selalu baca buku dan minum kopi di sini setiap hari?". Tanya Nadia penasaran.

"Baru-baru ini aja. Saya butuh kesibukan". Jawabnya sambil membenarkan posisi duduk dan menaruh tas ransel di samping kursi.

"Sedang mencoba melupakan?". Tanyanya lagi penasaran.

"Kamu kesini untuk menanyai saya dengan segudang penasaran kamu soal saya, atau mau menagih puisi yang kemarin, swastamita?". Jawab lelaki itu sambil tersenyum hangat.

"Kenapa nggak panggil aku Nadia aja sih, kepanjangan tau". Jawabnya kesal.

"Swastamita itu indah, saya lebih senang saja memanggilmu begitu. Jadi, nggak boleh nih?". Tanyanya usil.

"Yaa, apapun deh terserah kamu".

"Minum dulu, nanti keburu habis hangatnya".

"Iya, orang aneh".

"Kok orang aneh?".

"Ya emang aneh".

"Aneh apanya?".

"Aneh aja".

"Yaudah".

"Kok yaudah?".

"Yaudah aja".

"DERAAAAAAAA".

"Hahahaha. Iya Ta".

"Namaku Nadia". Ucapnya cemberut.

"Iya Nadia Tara Swastamita".

"Nama lengkapmu apa?". Tanyanya penasaran.

"Samudera Fahreza".

"Bagus".

"Ibuku yang beri nama".

"Berdua ayahmu kan?".

"Enggak tahu".

Nadia merasa suasana di antara mereka jadi berubah, ia menyadari bahwa telah salah ucap. Ia berpikir keras untuk mengembalikan suasana seperti semula.

"Jadi, mana puisiku?". Tanya Nadia memotong lamunan Dera.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 03, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SwastamitaWhere stories live. Discover now