2. Nyanyian Batin Sang Pangeran

49 1 1
                                    

Terkadang alunan nada menjadi pengiring terbaik jatuhnya tiap tetes air mata.
~Rafael~

"Punya berapa nyawa kamu?"

Cowok itu tersentak kaget mendengar suara yang sangat dikenalnya itu. Baru saja matanya terbuka, dan pemandangan ruangan serba putihlah yang menyapa netranya. Dan sialnya, suara dari pria di hadapannya ini membuatnya ingin kehilangan kesadaran lagi.

"Dalam satu bulan, sudah tiga kali kamu balapan liar, berulang kali pulang larut malam dalam keadaan mabuk, lima kali masuk ruang BK, dan sekarang kecelakaan. Mau jadi apa kamu?!"

Reza tidak habis fikir dengan kelakuan anak lelakinya yang satu ini. Rasanya mustahil kalau Rafael adalah darah dagingnya. Bagaimana tidak? Kelakuan Rafael benar-benar berbanding terbalik dengannya sewaktu remaja. Bahkan anak pertamanya, Kania sudah menjadi dokter spesialis jantung di rumah sakit mereka. Lalu apa kabar dengan putra bungsunya ini?

Terkadang Reza berpikir, apakah istrinya dulu sempat salah makan saat mengandung Rafael? Mungkinkah istrinya pernah minum racun, sampai-sampai Rafael selalu meracuni pikirannya dengan tingkah nakalnya seperti sekarang ini?

Sementara itu, Rafael malah menghela napas bosan seolah terbiasa dengan omelan papahnya itu.

"Emang El udah berapa lama nggak sadar?" tanya Rafael.

"Dua hari," ketus Reza masih dengan tatapan tajam dan tangan yang bersidekap.

Rafael terkekeh pelan mendengar jawaban Reza, "Kurang! Harusnya sampe setahun sekalian. Kalau nggak, pak dokter yang terhormat mana mau perhatiin anaknya?"

Mendengar sindiran Rafael membuat hati Reza sedikit tersentil. Segitu kurang perhatiankah dia pada anaknya?. Sedangkan Rafael yang melihat papahnya yang tak mampu berkata-kata lagi itu pun tersenyum miring.

"Ini nih resiko anak dokter. Kalau mau dilihat, ya harus celaka dulu. Dan kalau mau disayang, ya harus MATI DULU!"

Reza baru saja ingin menjawab, namun ketukan pintu membuat mulutnya terkatup kembali. Pintu kamar rawat itu terbuka dan menampilkan seorang suster dengan beberapa map di tangannya.

"Permisi, dokter. Ruang operasi sudah disiapkan," tutur suster tersebut dengan sopan.

"Saya segera kesana dalam lima menit."

Ucapan Reza barusan membuat Rafael memutar bola mata malas. Hanya butuh lima menit bagi pria itu untuk menemui pasiennya. Lalu Rafael harus kecelakaan dulu, baru bisa ditemui? Shit!

Reza berbalik menatap Rafael sebentar dengan tatapan sulit diartikan, lalu keluar dari ruangan itu tanpa berkata apa-apa.

Inilah hal yang paling menjengkelkan bagi Rafael. Reza akan pergi tanpa sepatah kata pun kalau sudah menyangkut pasiennya. Terkadang Rafael berpikir, sesulit itukah mengatakan bahwa dia harus bekerja dulu? Apa salahnya membuang waktu sebentar saja untuk berpamitan? Menyebalkan!

Rafael memejamkan matanya. Seluruh tubuhnya masih terlalu sakit untuk merutuki takdir bodohnya ini. Namun belum juga terlelap, suara menyebalkan dari seseorang yang sangat dia kenal malah membuatnya kaget.
"Apa lagi ulah lo kali ini?" tanya Kania, kakak Rafael.

Gadis cantik berkacamata dengan  rambut sebahu itu berdiri di samping brankar dengan jas putih yang masih melekat pada tubuhnya dan tas ransel kecil dipunggungnya. Rafael yakin bahwa kakaknya pasti langsung ke rumah sakit setelah pesawatnya tiba di bandara.

"Astagfirullah! Lo itu dokter jantung, tapi malah bikin adek lo sendiri jantungan!" sebal Rafael sambil mengelus dada sok dramatis.

Pletak

Truth Or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang