16. The Light That Tries to Shine Again

62 11 0
                                    

Yuna: Cahaya yang Mencoba Bersinar Lagi

Setelah berlari dari taman kampus malam itu—melempar gelang untuk Yugyeom ke tanah dan meninggalkan Tzuyu, Yugyeom, serta I.N dalam keheningan yang tegang—Yuna merasa seperti kehilangan bagian dari dirinya. Dia yang biasanya ceria, penuh tawa, dan selalu membawa warna ke mana pun dia pergi, kini terdiam. "Aku nggak punya tempat di hati Kak Yugyeom… dan aku nyakitin Kak I.N," bisiknya pada dirinya sendiri saat dia sampai di asrama, tubuhnya gemetar, air mata membasahi wajahnya. Yuna, matahari kecil Universitas Hanbit, kini merasa seperti langit yang mendung—redup dan tak lagi bercahaya.

Hari-Hari yang Kosong

Hari-hari setelah pertemuan di taman, Yuna menarik diri dari kehidupan kampus yang dulu dia nikmati. Dia berhenti pergi ke lapangan basket, tak lagi duduk di tribun dengan sketsa di tangan, dan bahkan menghindari kantin tempat dia biasa membawa es teh atau kopi untuk orang lain. Kamarnya jadi tempat pelarian—tumpukan buku sketsa terbengkalai di meja, gelang-gelang handmade yang dulu dia buat dengan cinta kini tersimpan di laci, dan sketsa Yugyeom yang dia robek separuh tergeletak di lantai.

Setiap malam, dia duduk di ranjang, memeluk lutut, dan menatap langit dari jendela kecil asramanya. "Aku bodoh… aku pikir Kak Yugyeom bakal lihat aku," gumamnya, air mata jatuh pelan. Dia teringat senyum Yugyeom—senyum santai yang dia anggap untuknya, tapi kini dia tahu hanya untuk Tzuyu. Tapi yang lebih menyakitkan adalah wajah I.N di panggung—matanya yang penuh harap saat confess, lalu kosong setelah dia bilang, "Aku cuma lihat kamu kayak kakak." Rasa bersalah itu seperti beban yang tak bisa dia lepaskan.

...

Suatu sore, Yuna memaksa diri keluar—dia tahu dia tak bisa terus bersembunyi. Dia pergi ke kantin, memesan es teh seperti biasa, tapi kali ini hanya untuk dirinya sendiri. Saat dia duduk di sudut, dia tak sengaja melihat I.N masuk—gitar di pundaknya, langkahnya lelet, wajahnya tak lagi cerah seperti dulu. Jantung Yuna berdegup kencang—dia ingin lari, tapi kakinya tak bergerak.

Akhirnya, dia memberanikan diri mendekat. "Kak I.N… aku minta maaf," katanya tiba-tiba, suaranya kecil, matanya menunduk. I.N menoleh, terkejut, lalu tersenyum tipis—senyum yang penuh luka tapi tulus. "Nggak apa-apa, Yuna. Aku yang terlalu berharap," jawabnya, nadanya lembut. Yuna menggeleng cepat, "Bukan gitu… aku nggak mau kehilangan Kakak sebagai temen. Aku salah, aku nggak notice perasaan Kakak." Dia menarik napas dalam, air mata kecil menggenang. "Aku nggak bisa balas… tapi aku harap Kakak nggak benci aku."

I.N menatapnya lama, lalu mengangguk. "Aku nggak benci kamu, Yuna. Aku selalu ada buat kamu… tapi aku harus cari jalan aku sendiri sekarang," katanya, lalu melangkah pergi, meninggalkan Yuna dengan perasaan lega sekaligus berat. Pertemuan itu sederhana, tapi bagi Yuna, itu adalah langkah kecil untuk memperbaiki apa yang dia rusak—dan mungkin, untuk memaafkan dirinya sendiri.

...

Yuna tak bisa sepenuhnya lepas dari Yugyeom. Suatu hari, dia tak sengaja melihatnya di lapangan basket saat lelet jalannya ke kelas. Yugyeom sedang latihan, menggiring bola dengan penuh tenaga, tapi ada sesuatu yang berbeda—gerakannya tak lagi penuh percaya diri, matanya sesekali melirik ke tribun kosong tempat Yuna biasa duduk. Yuna berdiri di kejauhan, tangannya mengepal, dan untuk pertama kalinya, dia melihat Yugyeom bukan sebagai idola, tapi sebagai manusia biasa—seseorang yang juga terluka.

Dia hampir mendekat, tapi lalu dia melihat Tzuyu berjalan di dekat lapangan, dan Yugyeom berhenti bermain, matanya langsung tertuju padanya. "Dia cuma lihat Kak Tzu…" bisik Yuna, senyum getir muncul di wajahnya. Dia berbalik, memilih pergi—tapi kali ini, dia tak menangis. "Aku harus lupain dia," katanya pada dirinya sendiri, langkahnya lebih tegas dari sebelumnya.

...

Malam itu, Yuna membuka laci dan mengambil buku sketsanya lagi. Dia duduk di meja, tangannya gemetar saat menggenggam pensil, dan mulai menggambar—bukan Yugyeom, bukan gelang, tapi pemandangan taman kampus di sore hari. Garis-garisnya sederhana, tapi setiap goresan adalah pelepasan—cara dia mencoba menemukan dirinya lagi. "Aku nggak mau jadi bayang-bayang Kak Yugyeom lagi," gumamnya, dan untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, dia tersenyum kecil—senyum yang kecil, tapi nyata.

Dia juga menulis pesan untuk dirinya sendiri di halaman terakhir buku sketsa: "Yuna, kamu cukup. Nggak apa-apa kalau dia nggak lihat kamu. Kamu masih punya tawa, punya warna, punya cerita." Tulisan itu jadi mantra—cara dia membangun kembali cahaya yang dulu redup.

...

Beberapa hari kemudian, Yuna bertemu Tzuyu secara tak sengaja di perpustakaan—tempat yang jarang dia datangi, tapi dia ke sana untuk mencari inspirasi desain. Tzuyu duduk sendirian, buku di depannya, tapi matanya kosong. Yuna ragu, tapi dia melangkah mendekat. "Kak Tzu…" panggilnya pelan, dan Tzuyu menoleh, terkejut.

"Aku… aku cuma mau bilang, aku nggak benci Kakak," kata Yuna cepat, tangannya memegang buku sketsa erat-erat. "Aku tahu Kak Yugyeom suka Kakak, dan aku… aku udah nyerah. Tapi aku harap Kakak bahagia." Tzuyu menatapnya lama, lalu tersenyum kecil—senyum yang langka, tapi tulus. "Yuna… kamu nggak salah. Aku yang bikin semuanya jadi susah. Makasih… dan maaf," jawab Tzuyu, suaranya lembut tapi penuh penyesalan.

Yuna mengangguk, "Kakak pilih yang bikin Kakak bahagia ya—Kak Yugyeom atau Kak I.N. Mereka berdua baik… dan mereka suka Kakak." Dia tersenyum, lalu berbalik pergi, meninggalkan Tzuyu dengan kata-kata yang sederhana tapi berat. Pertemuan itu jadi cara Yuna melepaskan sisa cintanya untuk Yugyeom—dan mungkin, membuka hati untuk sesuatu yang baru.

...

Yuna mulai kembali ke kehidupan kampus—perlahan, tapi pasti. Dia bergabung lagi dengan klub desain, membuat gelang untuk temen-temennya, dan sesekali pergi ke studio musik—bukan untuk I.N, tapi untuk mendengar nada yang dulu dia sukai. Dia tak lagi mencari Yugyeom di lapangan, tak lagi menunggu tatapan yang tak pernah datang. "Aku nggak apa-apa sendirian sekarang," katanya pada dirinya sendiri suatu malam, memandang langit penuh bintang dari jendela.

Tapi di sudut hatinya, ada bayang-bayang I.N—bukan sebagai cinta yang dia kejar, tapi sebagai seseorang yang pernah memberinya kehangatan. Yuna tahu dia tak bisa membalas perasaan I.N, tapi dia berharap suatu hari mereka bisa jadi temen lagi—tanpa luka, tanpa penyesalan.



To Be Continued...

Tangled Hearts (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang