KUNJUNGAN

846 51 0
                                    

Ah, aku tak mau ambil pusing soal kabar itu, kabar yang terdengar menggelikan di telinga, lagi pula bukan tipeku mempercayai hal-hal demikian.

"Kamu benaran tinggal di samping rumah itu, Ren?" Pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya terdengar dari rekan kerjaku. Aku bisa saja mendiamkannya, tetapi karena ini "dia", aku tak bisa.

"Iya," ucapku lantas tersenyum menatapnya yang berdiri di hadapan.

Namanya Mala. Umur 25 tahun. Muda tiga tahun dibanding denganku, tetapi posisinya sangat penting di kantor, dia yang menilai kelayakan naskah sebelum masuk ke meja editor.

Dia menatapku lebih dalam. "Kamu udah tahu cerita ... tentang rumah itu?"

"Udah," ucapku dengan tetap memasang senyum terbaik.

Aku tak ingin gebetanku mendapati wajah membosankan yang biasa kupasang menanggapi pertanyaan sejenis.

Alisnya yang indah menaut sempurna di wajah rupawannya. "Gak takut?"

Aku tertawa penuh wibawa. "Enggaklah. Aku yakin itu cuma urban legend biasa."

Matanya membulat. Kepala mengangguk-angguk. "Ternyata kamu pemberani juga, ya?" Senyum terukir indah di bibirnya yang mungil. Dia menatap ke arah laptopku. "Ah, lagi sibuk, ya? Maaf sudah mengganggu."

"Gak apa, kok! Bentar lagi juga udah selesai," bualku, masih banyak yang harus kukerjakan agar cover novel yang sedang kugarap selesai.

"Ya, udah, aku kembali ke bilik dulu, ya? Mau lanjut seleksi naskah," ucapnya lembut.

"S-silakan ... selamat bekerja."

Aroma parfumnya yang memikat tertinggal di bilikku, meski yang punya telah jauh berlalu.

"Ternyata cerita itu ada gunanya juga," gumamku lantas tersenyum.

Berita tentang kepindahanku ke rumah baru di komplek BLK, menyebar begitu cepat di kantor ini. Bukan tanpa sebab, karena mereka bilang di sebelah rumahku merupakan rumah hantu.

Rumah hantu? Mereka bercanda! Di zaman modern seperti ini masih percaya hal mistis?

Jam di ponsel sudah menunjukkan waktunya pulang, dengan sigap segera aku membereskan segala barang-barang di meja kerja.

"Duluan, ya, Ren," ucap Mala lantas melambaikan tangan saat melewatiku.

"Ya, hati-hati di jalan!" seruku antusias. Dia mengembangkan senyumnya sebelum lanjut melangkah.

Hanya percakapan singkat, yang entah bisa dibilang bercakap-cakap atau sekedar basa-basi, tetapi itu sudah cukup membuat hatiku gembira.

Kupacu sepeda motor membelah keramaian jalan saat sore hari di kotaku, Pontianak, Kalimantan Barat. Kota yang dijuluki Kota Khatulistiwa, tetapi juga cukup dikenal dengan hantu kuntilanaknya. Bahkan sempat ada yang mengusulkan agar dibangun patung kuntilanak yang besar sebagai trademark kota. Aku bersyukur rencana itu tak diamini oleh walikotanya yang masih waras.

Hari sudah mulai senja saat tiba di halaman rumah. Suara azan mahgrib terdengar syahdu. Kuparkir motor antikku di garasi rumah tipe 46 yang kubeli dengan harga yang cukup murah, mungkin karena cerita yang menyebar tentang rumah di sebelah.

"Jika memang ada penghuninya, aku tak keberatan menyampaikan rasa terima kasihku kepada kalian," gumamku lantas tersenyum menatap ke rumah sebelah.

Aku masuk ke rumah, mengunci pintu, dan segera menuju ke kamar. Rasa lelah menuntun tubuhku untuk segera beristirahat di kasur yang empuk. Shalat? Mungkin setelah lelahku hilang.

Tok ... tok ... tok ....

Entah baru berapa menit mencoba lelap, terdengar suara di depan sana.

"Apa itu?" gumamku.

Tok ... tok ... tok ....

Ketukan pintu? Siapa yang bertamu?
Belum hilang lelahku, sudah ada yang menggangu.

"Sebentar!" seruku lantas keluar dari kamar menunju pintu depan.

Kubuka kunci dan menarik daun pintu hingga terbuka lebar.

Seorang wanita berdiri di depanku. Rambutnya panjang terurai. Kulitnya putih seperti kapas, dan sebuah senyuman yang sedikit janggal di wajahnya.

"Siapa, ya?"

Lama dia tak menjawab hingga akhirnya berkata, "Saya, tetangga ...," ucapnya sambil menunjuk rumah sebelah dengan tangan kiri.

"Ah, ada perlu apa? Silakan masuk," tawarku.

Dia memiringkan kepalanya ke arah kanan sedikit, melihat ke dalam rumah. "Tidak usah," ucapnya pelan. "Saya ... hanya mau ... menyapa saja."

"Hmmm, baiklah. Kalau begitu jangan sungkan jika perlu pertolongan saya."

Dia mengangguk pelan.

Ada yang aneh dari dirinya, tetapi aku tak tahu apa itu. Penampilannya terlihat biasa saja, seorang wanita yang sedikit lebih tua dariku, dan masuk kategori cantik.

"Saya permisi," ucapnya kemudian berlalu begitu saja.

Aku hanya tersenyum saat menatapnya keluar halaman rumah, berbelok ke arah kanan dan masuk ke halaman rumah sebelah.

Dia berhenti sejenak di depan pintu dan menatapku lagi sambil tersenyum. Aku tak mengerti kenapa, tetapi wajar saja dalam adab bertetangga, kan?

Aku kembali ke dalam rumah. Mengunci pintu dan masuk ke kamar.
Kupejamkan mata kembali saat di atas kasur. Menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan.

"Ternyata tetangga sebelah. Dia cantik, tetapi sayang hatiku sudah memilih Mala," gumamku.

Kupejamkan mata kembali, tetapi masih ada yang mengganggu pikiranku. "Tunggu dulu! Tetangga ... sebelah?" gumamku menyadarinya.

Di komplek ini, tepatnya di dekat rumahku, hanya ada satu rumah saja yang berada di sebelah kanan, sebelah kirinya semak-semak yang cukup luas hingga terdapat rumah lainnya, dan dia menuju ke kanan? Ke rumah yang katanya tak berpenghuni itu? Rumah yang katanya ... berhantu?

Bulu kudukku berdiri dengan sendirinya. Keringat perlahan keluar di sekujur tubuh. Napasku memburu.

"S-siapa wanita ... tadi?"

Tok ... tok ... tok ... tok ... tok ... tok ... tok ... tok ... tok ....

Ketukan beruntun di pintu depan kali ini terdengar menakutkan bagiku, tak seperti sebelumnya.

Apa "mereka" benar-benar ada?

Kutarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh. Meringkuk di kasur yang kini terasa dingin.

Cklek ....

Suara itu? Pintu kamarku terbuka? Bagaimana bisa? Siapa yang membukanya?

"Sial! Pintu depan sudah kukunci, seharusnya tak ada yang bisa masuk!" Jantungku berdetak sangat kencang, seakan-akan ingin meledak sekarang juga.

-Bersambung-

Tetanggaku Hantu (Tamat di aplikasi Cabaca)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang