PERTEMUAN

502 35 3
                                    

Adalah hal wajar jika kita berkunjung ke rumah tetangga, apalagi jika mereka sudah terlebih dahulu melakukannya, tetapi apa yang akan kami lakukan kali ini sudah di luar kewajaran, mengunjungi tetangga hantu?

Di siang yang terik, kala matahari sedang membaranya, kami berdiri di luar pagar halaman rumah tersebut, berkali-kali melihat keadaannya dari jauh seperti dua orang perampok yang mengincar target, untung saja jalannya sedang tidak ramai.

“Ren, batalin aja, ya?” Jufri menatapku penuh harap. Aku tahu ini hal tak masuk akal baginya, nonton film hantu saja dia takut, apalagi harus memasuki sarangnya seperti ini.

“Bukannya kau sendiri yang bilang mau di kantor?”

“I-itu sebelum aku melihat ... rumahnya, Ren,” ucapnya tergagap. “Bagaimana kalau cerita itu benar?”

Aku bingung harus berkata apa tentang cerita yang dia singgung, sebelumnya aku sama sekali tak percaya, tetapi setelah mengalami sendiri, keyakinanku goyah, mereka benar-benar ada.

“Aku percaya dengan keberadaan mereka, tetapi soal cerita itu aku masih belum yakin, kenapa? Kau lihat sekarang siapa yang berada di hadapanmu? Jika cerita itu benar, seharusnya aku lenyap dari muka bumi setelah memasukinya,” jelasku mencoba menenangkannya.

Dia menatapku. “Benar juga! Tapi tetap saja ... rumah ini menakutkan.”

Jika dilihat dari luar sebenarnya tak terlalu mengerikan, hanya sebuah rumah tipe 45 berlantai dua dengan cat dinding yang memudar dan terkelupas, sedikit rambatan tanaman di jendela dan dindingnya, daun berserakan di teras maupun halaman. Namun auranya sangat mencekam.

“Ayo!” ajakku penuh keyakinan.

“Serius, Ren?”

“Kau mau aku dipecat?” Dia menggeleng pelan. “Lagi pula ini masih siang!”

“Kau diteror tadi pagi, Ren! Masih berpikir waktu berpengaruh?” timpalnya.

“Baiklah, aku tak memaksa. Pulanglah. Terima kasih sudah menemaniku berdiri di luar rumah ini.”

Dia terdiam.

Kuhela napas panjang dan mengembuskan perlahan. Kumelangkah dengan sedikit ragu, tetapi tetap harus maju, karena aku yakin dia akan segera melangkah menemaniku.

“Kampret!” serunya lantas menyusul langkahku. Aku senyum sendiri melihat tingkahnya. Meski dia takut, dia akan tetap maju demi sahabatnya.

“Ssssttt!” Instruksiku memintanya untuk jangan ribut.

“Ren, kau yakin?”
Aku menunjukkan ekspresi lelah menghadapi pertanyaan yang berkali-kali keluar dari mulutnya.

“Masih ada waktu, jika ragu biar aku saja,” jawabku lantas menepuk bahu kirinya.

Wajahnya bermandikan keringat. Sungguh, jika bukan karena hal yang kualami pagi tadi, aku tak akan melibatkannya seperti sekarang.

Braaaak ....

Jendela di dekat kami tertutup kasar dengan sendirinya.
Kami terdiam, saling tatap. Tubuh Jufri bergetar hebat.

“Kau lihat? Dia tak mengizinkan kita untuk masuk,” ucapnya pelan.

Braaaak ....

“Sepertinya kau salah?” ucapku ketika jendelanya terbuka lagi.

Mulutnya menganga, tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Belum kami menjejakkan kaki ke dalam rumah, tetapi kami sudah dipermainkan.

“Mending kita buka usaha berdua aja, Ren! Gimana? Gak apa-apa dipecat, bukan akhir hidup kita,” celetuknya.

“Jufri!”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tetanggaku Hantu (Tamat di aplikasi Cabaca)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang