Suatu siang, di rumah duka.
“Jangan yang itu, Angel bilang terlalu mahal. Kan nantinya juga akan dibakar. Sayang duitnya,” kata Ambar pada Lukito, suaminya.
“Oh, jadi yang mana? Tanya yang jelas,” kata Lukito menatap sisi kanan dan kiri istrinya bergantian, seakan mencari sesuatu di situ.
Ambar menoleh ke kiri, seperti sedang mendengarkan ada yang bicara padanya. Lalu pandangannya beralih pada deretan peti mati yang disusun berderet di sisi belakang ruangan itu. Lalu, tangannya menunjuk ke arah peti, lalu bicara dengan nada berbisik. Persis seperti orang sedang bernegosiasi, hanya saja kali ini lawan bicaranya tak kasat mata.
Ibam, petugas rumah duka yang menjaga pos penjualan peti mati menatap horor pemandangan di depannya. Bertahun-tahun bekerja di situ dan hampir setiap hari menghadapi mayat tidak membuatnya kebal dari rasa takut. Mungkin sedikit berkurang iya, tapi ada kalanya dia merinding juga jika terjadi sesuatu yang di luar nalar. Tengkuknya meremang, ikut merasakan kehadiran Angel yang ingin memilih sendiri peti matinya.
“Yang putih dengan bukaan di atasnya itu aja. Angel bilang, dia ingin bisa menatap orang-orang yang melayat sebelum peti dipaku,” ujar Ambar sambil menunjuk peti mati yang dimaksud.
“Ya udah, Kang kita ambil yang itu aja. Bisa langsung dipakai kan?” tanya Lukito pada Ibam.
“Eh...iya bisa Mas. Tinggal dibersihkan dari debu, udah bisa langsung dipakai. Segera saya urus,” jawab Ibam cepat.
Dengan cepat Ibam memanggil rekannya yang lain untuk segera membereskan peti mati pilihan Angel. Dia tak mau ambil resiko diamuk roh yang masih ada di sekitarnya itu. Dia yakin, meski tak bisa melihat kalau Angel sekarang sedang mengawasi apa yang sedang dilakukannya.
“Awas hati-hati, jangan sampai terjatuh. Ilyas, kamu yang serius...jangan becandaan mulu,” tegurnya pada Ilyas, keponakannya yang baru dua bulan ikut kerja di situ.
“Mamang takut yaaaa? Mamang tenang saja, Ilyas udah kebal sama mahluk begituan. Ilyas sudah punya bekal untuk menangkal,” kata Ilyas seraya mengangkat dagunya, sombong.
“Ilyas! Jangan bicara begitu. Takabur bener kamu. Kerja saja, jangan banyak ngomong!” tegur Ibam lebih keras, dia takut kalau sampai Angel mengamuk.
“Iya nih si Ilyas kalau kena batunya, baru kapok. Kerja di tempat begini, harus jaga mulut dan sikap,” kata Mang Tisna, ikut menasihati Ilyas.
Yang dinasihati malah tertawa cengengesan, dalam hati dia menertawakan dua lelaki tua itu. Dia menganggap mereka berdua penakut. Ilyas merasa yakin aman dari gangguan makhluk gaib karena dukun yang memberinya jimat, menjamin benda itu ampuh seratus persen. Lebih yakin lagi karena Ilyas mengambil paket termahal yang ditawarkan sang dukun.
Hari menjelang Magrib ketika ruangan yang disewa keluarga Angel selesai dihias dengan kain pelapis ruangan dan aneka bunga. Begitu pun dengan peti mati yang telah memuat jasad Angel di dalamnya. Wajah Angel terlihat begitu damai, seperti sedang tertidur pulas. Keluarga dekat, kerabat juga kenalan keluarga mulai berdatangan. Angel anak remaja yang supel semasa hidupnya. Sakit kanker otak pun tak membuat wajah cerianya memudar. Bahkan di detik-detik terakhirnya, dia masih membuat orang-orang di sekitarnya tertawa. Itu sebabnya Ambar dan Lukito, ibu dan ayah Angel bisa begitu tegar menghadapi kepergian putri sulungnya itu.
“Aduh...” teriakan seseorang mengagetkan semua yang ada di tempat itu.
Tampak Ilyas terjatuh di depan ruangan tempat Angel disemayamkan. Benar-benar dalam posisi tersungkur padahal tidak ada siapa pun di sekitarnya dan tidak ada benda atau apa pun yang bisa membuatnya tersandung, kecuali oleh kakinya sendiri. Atau oleh...sesuatu yang tak kasat mata, karena Ilyas mulai bersikap aneh.
“Kamu! Ngapain dorong-dorong. Kurang kerjaan,” serunya, mendongak pada sisi kanan tubuhnya.
“Pake ketawa-ketawa segala. Kamu pikir lucu. Lagian ngapain sih buntutin aku terus. Naksir kamu?! Maaf, aku nggak tertarik sama cewek usil kayak kamu. Sana pergi, pergi!” makinya pada yang tak terlihat oleh siapa pun, kecuali Ambar yang berjalan mendekat.
“Angel! Nak...jangan usil sayang. Ayo hentikan, nanti semua orang pulang,” ucap Ambar sedih.
Sementara Ibam, buru-buru menghampiri Ilyas yang langsung pucat pasi ketika menyadari siapa gadis remaja yang sedari siang terus membuntutinya. Ibam membantu Ilyas berdiri. Ilyas terlihat lemas seakan kehilangan tenaga. Tubuhnya gemetar. Dilihatnya Angel menyeringai jahil tapi di mata Ilyas jelas tampak mengerikan. Cepat-cepat dia memejamkan matanya, seakan dengan begitu sosok Angel akan menghilang.
“Suruh pergi...suruh pergi. Pergiiii...” teriak Ilyas kencang dengan urat-urat leher yang menegang.
“Ilyas...Ilyas...nyebut kamu, nyebut!” teriak Ibam mencoba menenangkan sang keponakan.
“Ambil minum, tolong. Dia terlalu kaget,” kata Ambar terenyuh melihat Ilyas begitu ketakutan.
Bagaimana pun Ambar tak enak hati karena Angel itu kan putrinya, meski dia tahu Ilyas yang memulai masalah dengan menantang keberadaan Angel. Angel itu memang jahil. Dari kecil begitu. Ternyata, setelah jadi arwah pun masih begitu. Dia mungkin gemas melihat sikap takabur Ilyas tadi siang. Begitu membanggakan jimat yang sebenarnya bukan apa-apa. Buktinya Angel bisa mendekati Ilyas dengan leluasa bahkan menampakkan diri.
Setelah minum dan dibacakan doa oleh sang mamang, Ilyas terlihat sedikit lebih tenang. Dia memberanikan membuka mata. Melihat ke sekitar untuk memastikan Angel sudah tidak berada di dekatnya lagi. Ambar yang melihat hal itu segera menjelaskan sesuatu.
“Nak Ilyas tenang. Angel sudah nggak di sini. Maafkan Angel. Dia nggak bermaksud jahat. Dia cuma nggak suka kamu begitu percaya pada dukun kenalanmu itu. Angel bilang, kamu itu ditipu. Yang dikasih ke kamu itu jimat abal-abal. Lain kali jangan tertipu hal seperti itu lagi. Percaya itu sama Gusti Allah, bukan pada benda gaib,” ujar Ambar pelan.
Ilyas terdiam bergeming. Pikirannya kacau. Namun kemudian dia mengangguk juga. Laki-laki dua puluh tahun itu benar-benar syok. Deru nafasnya masih terlihat cepat. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
“Dibawa pulang aja Kang, biar istirahat,” kata Lukito yang datang mendekat kemudian.
“Iya Mas, saya pikir juga begitu. Maaf, ini semua salah Ilyas. Dia masih baru kerja di sini. Belum paham kalau akan ada hal-hal seperti ini yang mungkin terjadi. Semoga ini jadi pelajaran buat dia. Paham kamu Yas?” tanya Ibam.
“Iya Mang. Ilyas kapok. Nggak lagi-lagi begini,” sahut Ilyas, masih terdengar lemas.
Lalu keduanya permisi pulang. Sementara di kejauhan, di sisi peti mati putih pilihannya Angel tersenyum penuh arti. Setidaknya satu pesan terakhirnya sudah tersampaikan. Dia menatap ke arah Ambar yang juga sedang menatap sang putri. Keduanya berbalas senyum. Mungkin untuk terakhir kalinya.👻👻👻👻👻👻👻👻👻👻👻👻👻
Holaaaaaa....nice to meet u in Wednesday 😍
Ini nggak serem-serem amat sih, cuma sedikit aja merindingnya. Tapi kalau ngalami sendiri ya horor juga.
😂 👻Ah apa pun itu, happy reading deh buat semua.
Ttd
Mamaknya Celyne 💋💋💋

KAMU SEDANG MEMBACA
The Unexplained Stories
HororPernahkah kalian mengalami kejadian yang tak masuk akal, di luar nalar dan nggak bisa dijelaskan? Di sini, kalian akan menemukan kisah-kisah yang mungkin tak pernah dibayangkan akan terjadi dalam hidup kalian. Dan beberapa orang mengalaminya. Jangan...