Satu Pertanyaan

30 3 0
                                    

Suara letupan balon-balon air panas dan aroma khas dari sop wortel kesukaan Nenek mengawali keseharian Veera Giovanny. Disertai dengan aroma sedap yang menguar memenuhi ruangan, mengundang hasrat untuk mengisi perut yang kosong.

"Sudah matang, Veer?" suara serak nan lembut tiba-tiba menghampiri pendengarannya.

"Tinggal dikit lagi, Nek." Jawab Veera tersenyum lembut.

Nenek terdiam. Dan menyendok sedikit kuah sop yang baru saja Veera masak. Lalu memasukkannya ke dalam mulutnya yang terlihat rapuh.

"Kuahnya masih terlalu asin." Komentarnya. Veera mengangguk dan menambahkan sedikit air ke dalamnya. Sebenarnya rasa asin dari sop itu sudah ia takar dengan baik. Tetapi, karena penyakit darah tinggi yang dialami Nenek membuatnya tidak bisa mengonsumsi banyak garam.

Nenek mencicipinya sekali lagi. "Nah, ini baru enak." Pujinya. Lalu mengambil kursi untuk duduk di meja makan. Sementara Veera menyajikan makanan.

"Nek, Veera mau bangunin adek-adek dulu, ya? Nenek makan duluan nggak papa, kok."

Nenek menggeleng pelan menolak kata-katanya. "Kita makan bareng aja. Nenek nggak enak kalau makan sendiri."

Veera tidak memiliki pilihan lain selain mengangguk paham. Lalu berjalan menjauhi ruang makan. Menuju kamar adik-adiknya yang ada di lantai atas.

Kemudian, tanpa permisi, ia membuka pintu berwarna pink pucat yang berada di sebelah kanan. Dan mendekati seorang gadis remaja yang masih tampak lengket dengan surga kasurnya.

Dengan sengaja, ia berjalan sangat pelan untuk menghindari keributan dan mengeluarkan handphone-nya. Lalu mendekatkannya ke telinga orang yang tertidur itu. Lalu, menyetel sebuah suara seram dengan volume tinggi.

"MAMAA! SETAAN!" hanya dalam sekejap mata, gadis itu langsung melompat dari mimpi indahnya. Dan berlari ke luar kamar. sementara Veera terbahak-bahak melihatnya.

"Hahaha! Rasain lo!" serunya.

Setelah puas tertawa, Veera kemudian mengeluarkan sepasang seragam putih-biru dari dalam lemari Gabby, adiknya. Dan tak lupa, mengunci pintu kamar itu agar dia tidak kembali menempelkan kepalanya ke bantal mewahnya. Kemudian, dia berpindah ke kamar di sebelahnya.

Berbeda dengan adik sulungnya, Radit, adik bungsu Veera jauh lebih rajin dan rapi. Jadi, dia tidak perlu bersusah payah dalam membangunkannya.

"Radit, kamu sudah bangun?" tanya Veera sambil menggedor pintu kamar tersebut. Dan sesuai dugaan, pintu itu langsung terbuka.

"Dari tadi." Jawabnya datar. Tapi Veera tidak begitu memedulikannya.

"Ya udah, ayo makan. Nenek udah nunggu."

Radit mengangguk. Lalu berjalan dengan memanggul ranselnya di satu bahu. Sementara Veera menggantungkan seragam milik Gabby di kenop pintu kamarnya.

Saat itu, Nenek masih setia menunggu mereka di ruang makan. Gabby juga ada di sana. Menatap Veera dengan tatapan jengkelnya. Namun dirinya tidak akan terpengaruh olehnya.

"Nah, ayo kita sarapan sekarang." Ujar Nenek mengawali acara sarapan bersama mereka. Seperti yang biasa mereka lakukan sejak mereka tinggal bersama.

Meski mereka tak banyak bicara saat menyantap makanan—Nenek menyukai sikap yang sopan—mereka selalu menghabiskan waktu makan bersama-sama. Walau itu hanya sebatas dua orang saja. Tidak ada hal khusus. Karena itu hanyalah sebuah kebiasaan kecil yang telah tertanam sejak kecil.

"Nek, Veera berangkat dulu." Pamit Veera setelah meletakkan piring-piring kotor ke tempat cucian piring.

"Ya. Hati-hati, ya?" ujar Nenek lembut.

"By, buruan mandi! Liat, tuh. Muka lo masih ada nodanya." Ucapnya usil pada Gabby yang masih bermuka masam.

"Berisik lo Veer Zahra!" ketusnya. Yang hanya Veera tanggapi dengan juluran lidah. Dan berjalan meninggalkan ruang makan. Lalu bergegas menuju sekolahnya.

Begitulah caranya mengawali hari-hari yang biasa ini. Sama seperti hari-hari sebelumnya. Di mana Veera selalu melaluinya dengan putaran waktu yang selalu berulang.

Di mana ia selalu melaluinya dengan satu pertanyaan yang sama di setiap detiknya.

***

Siapa AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang