Detik berganti menit, dan menit berganti jam. Waktu terus berjalan, dan menghilang. Tapi bagi Veera, itu terbuang nyaris percuma. Bagaimana tidak? Yang ia lakukan sejak beberapa jam yang lalu hanya meringkuk di kasurnya. Dan memikirkan tentang Gavin.
Panggil nama gue. Ucapan waktu itu masih terngiang di kepalanya. Dan terus berulang seperti DVD rusak. Jujur saja, itu membuat Veera frustasi.
Bukannya Veera lupa atau tidak mau memanggilnya. Tapi, ini masalah harga diri—baiklah, itu sama dengan tidak mau memanggilnya—karena jika Veera menyebut namanya, maka itu artinya dia kalah. Veera tidak mau dia menganggapnya 'jatuh' padanya hanya karena hal sepele seperti mengobati luka gores di jarinya. Tidak akan!
"Veera?" untung saja, suara lembut nenek segera menarik kesadarannya kembali ke dunia nyata yang indah.
"Iya, Nek?" sahutnya cepat.
"Kamu sakit?" tanya Nenek cemas.
Veera menggeleng. "Nggak, kok, Nek."
Nenek menghela napas panjang. "Terus, kenapa kamu dari tadi di kamar terus?"
Veera terdiam. Ada sedikit rasa enggan untuk menjawab pertanyaan Nenek itu. "Nggak ada apa-apa."
"Yakin?" Nenek menatapnya menyelidik.
Veera mengangguk yakin.
Veera tidak tahu apakah Nenek merasa puas dengan jawabanku, tapi, dia menghela napasnya lega. Maka, itu berarti jawabanku cukup memuaskan, bukan?
"Ngomong-ngomong, kenapa Nenek nyari Veera?" Veera cepat-cepat mengalihkan percakapan. Sebelum semuanya mengarah pada hal yang tidak ia sukai.
Nenek tidak langsung menjawab pertanyaannya. Dan menatapnya dengan tatapan yang mengandung banyak arti.
Dengan lembut, Nenek membelai rambut panjang Veera. "Tadi, papamu nelpon."
Rupanya, sekali lagi, apa yang Veera inginkan tidak terwujud.
"Dia bilang, dia sekarang sedang ada kerjaan di luar negeri. Dan baru bisa jenguk kalian dua minggu lagi."
Veera diam-diam menggigit lidahnya yang mulai terasa kelu. Seiring dengan rasa sakit yang perlahan menyebar di dalam hatinya. Karena jujur saja, Veera ragu pada kata 'kalian' yang dimaksud oleh Nenek barusan.
"Veera?" Nenek memanggilnya yang mulai sibuk dengan pemikirannya sendiri.
Veera menggeleng pelan. Lalu tersenyum tipis. "Nggak papa, Nek." Ujarnya pelan. Meski Veera sendiri tidak yakin, apanya yang 'tidak apa-apa' dari dirinya. "Veera tau, Papa pasti sibuk."
Nenek mengangguk setuju dengan pendapatku.
"Nenek udah bilang ke Gabby sama Radit?" tanya Veera mencoba tegar.
Nenek menggeleng. "Belum." Jawabnya lembut. "Nenek tau, kamu yang lebih berhak tahu tentang ini."
Perkataan Nenek sedikit membuatnya lega. Hanya sedikit.
"Ya sudah, kalau begitu, Nenek ke kamar dulu, ya? Sudah malam." Nenek mengecup kening Veera lembut. "Kamu juga istirahat, ya?"
Veera mengangguk mengiyakan. "Malem, Nek."
"Malem." Sahut Nenek. Lalu berjalan meninggalkan kamarnya. Setelah ia lebih dulu menutup pintu perlahan. Meninggalkan Veera sendirian di kamar, sekali lagi, dalam keheningan.
Setidaknya, berkat Nenek, Veera bisa melupakan masalahGavin untuk sesaat, namun, di sisi lain, Veera juga merasa sedih.
Mau bagaimana pun juga, kabar yang baru saja disampaikan oleh Nenek, sama sekali bukanlah berita bagus baginya.
***
Keesokan paginya, seperti biasa, Veera berjalan kaki menuju Sekolah. Selain untuk menghemat uang, Veera menyukai setiap langkah yang ia ambil dalam perjalanannya. Rasanya, seperti semua masalah yang dipikirkannya semalaman, bisa teralihkan oleh rasa lelah yang ia rasakan karena langkah-langkah itu.
Jarak antara Sekolah dan Rumahnya memang tidak terlalu dekat, tapi tidak begitu jauh. Mungkin hal itu dikarenakan dirinya yang sudah terbiasa berjalan kaki. Dan sama seperti saat-saat sebelumnya, Veera terus menghabiskan waktunya untuk merenungkan berbagai macam hal.
Hingga kemudian sejenis suara klakson kendaraan terdengar di sampingnya. Dan mengejutkan Veera. Yang kemudian diikuti tawa seseorang yang sudah sangat ia kenal.
"Kaget, ya? Sorry, sorry." Lagi-lagi, itu adalah Gavin.
Veera berpura-pura tidak pernah mendengarnya. Dan terus melanjutkan langkahnya.
"So, gimana?"
Veera mengernyit. "Apanya?"
"Upah gue." Gavin menaik-turunkan alisnya dengan gayanya yang mengesalkan.
Veera memutar bola matanya jengah. Rupanya dia masih mengingatnya. Sayang sekali, padahal dia sudah sangat berharap dia melupakannya. Tapi, untungnya Veera sudah menyiapkan diri kali ini.
"Lo gak lupa, kan?" tanya Gavin lagi.
"Gak." Jawabnya enggan.
"Kalo gitu, buruan! Di mana-mana, yang namanya hutang budi itu harus dibayar."
Veera mulai merasa muak dengan semua omong kosongnya. Jadi, selain termasuk ras langka, dia juga bekerja dan sukses sebagai tukang rentenir balas budi. Veera yakin, jika dia bekerja lebih giat lagi, Gavin pasti bisa membeli sebuah pulau dalam sehari.
Veera menghentikan langkahnya—dan dia pun menghentikan motornya—lalu menghadap ke arahnya. "Siapa juga yang mau hutang budi ke elo." Ujarnya sarkastik.
"Orang yang paling beruntung di dunia." Jawab Gavin asal.
Veera menghela napasnya. Sayang sekali Gavin tidak tahu, jika Veera sama sekali tidak masuk di dalam kartegori orang yang disebutnya barusan.
Gavin berpura-pura melirik ke arah arloji di tangan kirinya. "Buruan! Atau kita bakalan telat!"
Veera melotot. Mereka tidak mungkin terlambat jika bukan karena dia yang memperlambat langkahnya tadi! Baiklah, Veera akan memberinya pelajaran. "Oke, gue akan bayar hutang gue." Ucapnya datar.
"Beneran?" Gavin tampak antusias.
Veera mengangguk mantap.
"Wah, kayaknya harus gue rekam, nih." Gavin cepat-cepat mengeluarkan ponselnya dari sakunya.
"Rekam aja." Veera diam-diam menahan diri untuk tidak tersenyum sinis.
"Oke, beres." Gavin mengarahkan logam pipih itu pada Veera. "Lo ngomongnya setelah gue hitung sampe tiga, ya? Oke, 1... 2..."
"MAKHLUK NYEBELIN!" teriak Veera selantang mungkin tepat saat Gavin menyalakan perekam suaranya. Lalu segera berlari menuju Sekolah yang sudah tidak begitu jauh di depan mata. Tanpa sedikit pun menghiraukan tampang bodoh dari orang yang baru saja ia katai. Biar saja. Salahnya sendiri selalu mengganggunya.
Lagipula, bagi Veera, namanya memang 'Makhluk Ngeselin', kan? Jadi, anggap saja mereka impas. Namun bergitu, tanpa ia sadari sebelumnya, Veera telah menikmati ulahnya yang berhasil mengerjai Gavin. Rupanya, Pembalasan itu menyenangkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Aku
Teen FictionVeera Giovanny, adalah seorang gadis periang di depan neneknya. Juga seorang gadis berjulukan 'Putri Salju Bisu' di sekolahnya. Dia tidak pernah berbicara pada siapa pun, hingga tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Gavin Alexandra muncul dan memaks...