2 Januari 2004
Sinar matahari yang merambat dari ventilasi ruangan itu menembus kelopak mata Emma hingga terasa silau. Emma pun terbangun dan mendapati dirinya berada di tempat berdebu dan penuh dengan perkakas rusak.
"Ah punggungku," rintih Emma sambil memegangi punggungnya.
Badannya terasa sakit saat digerakkan. Pasti karena kejadian semalam. Dia masih merinding saat mengingatnya.
"Papa,mama, Emma pengen pulang."
Emma merasakan kerinduan yang teramat sangat kepada kedua orangtuanya. Memang sudah dua mingguan Emma ditahan oleh pria itu. Emma sangat berharap akan ada orang yang mengeluarkannya dari tempat ini.
• • •
Duk Duk Duk...
Suara langkah sepatu itu membuat Emma gemetaran. Ya, sudah pasti pria itu. Perlahan pintu ruangan itu dibuka.
"Selamat pagi sayang. Bagaimana keadaanmu hm? Aku rasa baik. Aku punya makanan untukmu. Makanlah."
Emma tidak merespon pria itu.
"Hei?! Kau dengar tidak?!" bentak pria itu.
Sontak saja, Emma terkejut dan menyembunyikan kepalanya karena takut. Tak seperti yang diharapkan, hal itu makin memancing kemarahan pria itu.
"Sini kau!. Ku beritahu ya. Tak ada seorangpun yang pernah mengabaikanku. Ku ulangi. Tak ada seorangpun yang pernah mengabaikan Toni!!. Mengerti kau!" hardik Torni sambil menjambak rambut Emma.
"I-iya maaf."
"Nah gitu dong. Kan aku jadi makin suka."
Setelah melepaskan jambakkannya, Toni pun keluar dari ruangan itu dan meninggalkan Emma disana. Bulir bening mendesak keluar dari kelopak mata Emma.
Dalam hati, ia sangat ingin kembali ke rumahnya yang nyaman. Akan tetapi itu mungkin hanya kenangan indah yang pernah ia miliki.
Mungkin.
Tak butuh waktu lama, Emma menyantap makanan pemberian Toni tadi. Meski tak seenak masakan mamanya.
Setelah makan, Emma merasa jenuh terkurung didalam ruangan itu. Dia berniat untuk melihat-lihat sekitar luar rumah. Dengan hati-hati, ia menaiki meja yang terletak dekat dengan ventilasi. Dia berdiri perlahan dan melihat-lihat apa yang ada diluar sana.
Emma melihat seorang laki-laki yang seumuran dengannya tengah bermain bola bersama anjing berbulu putih yang lucu. Emma memandangi laki-laki itu dengan seksama. "Manis," batin Emma.Tak disangka, bola yang dimainkannya mendadak terlempar dan mengarah ke ventilasi tempat Emma mengintip. Seketika Emma terkejut dan terjatuh dari meja pijakannya.
Emma segera bersembunyi di bawah meja itu. Dia tak ingin laki-laki itu melihatnya. Ada perasaan baru yang dirasakan Emma saat memandangi laki-laki itu tadi. Dia merasa bebannya mendadak hilang untuk sementara. Dan tanpa ia sadari, sudut bibirnya terangkat. Senyuman. Ya dia tersenyum meski dalam keadaannya yang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Argon
Teen Fiction"Saat hujan tak kunjung henti. Saat petir tak kunjung pergi. Saat pelangi tak muncul lagi. Saat itu juga aku selalu menemani." -Argon