Chapter One: Flashbacks.

148 0 0
                                    

Tanggal 9, bulan 9, tahun 2001.

Hari itu, ayah mengajak kami sekeluarga untuk datang ke tempat kerjanya, World Trade Center, New York. Tentu saja kami sangat senang. Namun, karena suatu alasan, aku dan ayah pergi lebih dahulu. Kami tiba dua hari sebelum ibu dan adik-adikku pergi. Ibu dan adik-adikku menyusul dengan pesawat American Airlines Penerbangan 11.

Tanggal 11, bulan 9, tahun 2001.

Ayahku dan aku ada di kantor, saat itu. Kami berencana menjemput ibu dan adik-adik setelah ayah menyelesaikan pekerjaannya. Aku keluar dari kantor ayah sebentar karena ingin berjalan-jalan ke taman. Akan sangat disayangkan jika aku tidak menikmati pemandangan selagi di New York.

Saat aku kembali ke kantor, raut wajah ayah horor dan ketakutan, sekaligus sedih. Saat pandanganku dan pandangannya bertemu, matanya yang hijau, yang biasanya bercahaya, sekarang gelap, ketakutan. Ia memandangku, lalu segera memelukku. Aku sangat terkejut dan tidak bisa berkata apa-apa.

"Ada apa, yah?" Tanyaku, sangat polos, karena saat itu aku berumur sekitar tujuh atau enam tahun.

"Ibu dan adik-adikmu pergi," Jawabnya, dengan suara yang serak. Ia mempererat pelukannya padaku dan aku berusaha mendorong tubuhnya.

"Maksud ayah?" Tanyaku sambil meneliti wajahnya, dan menatap dalam matanya, mencoba mencari kebenaran didalamnya.

Ayahku terdiam, lalu menggelengkan kepalanya. "Mereka pergi, tidak akan pernah kembali." Ujarnya padaku. Kendati aku masih kecil, aku tahu apa artinya. Meninggal.

"Tidak mungkin," Gumamku, berjalan mundur dari ayah. Ayahku menatapku dengan mohon dan lengannya terbuka lebar untuk memelukku. Tidak. Ia pikir aku akan menangis dipelukannya seperti di sinetron? "Tidak mungkin! Bohong!" Jeritku sambil berlari keluar dari ruang kantor ayah. Aku berlari menuju lift, dan disana aku bersama dengan beberapa orang.

Aku masuk. Aku berdiri tepat didepan pintu sambil memandangi meteran yang menunjukkan tanda lantai (satu, dua, tiga, Etc,) untuk sampai ke lantai dasar.

Da-Bum!

Tiba-tiba meledak. Aku dan beberapa lelaki didalam lift sampai terpelanting dan menabrak tembok. Lift tiba-tiba berhenti dan asap mulai muncul. Aku mulai menangis.

"Apa yang terjadi?" Tanyaku. Namun lelaki-lelaki itu hanya diam, memeluk lutut masing-masing. Aku menangis terduduk. "Aku benci orang dewasa, mereka gak jelas dan menyebalkan, mungkin kucing mencuri lidah mereka sampai mereka tidak bisa menjawab semua pertanyaanku..." Gumamku disela isakanku.

Aku melihat sekilas, bahwa ledakan tadi menyebabkan secuil celah di pintu lift. Ternyata seperempat lift sudah hampir berada di lantai empat, dan mungkin ukuranku cocok. Aku segera berusaha memperlebar celah itu, dan,

Bum!

Ledakan lagi. Celah makin terbuka, dan menyebabkan kesempatanku untuk kabur makin besar. Aku tidak memperdulikan wajahku yang mungkin sudah kotor dan berdebu, bahkan mungkin hitam, asalkan aku bebas...

Setelah berlama-lama berurusan dengan pintu lift, akhirnya aku berhasil. Aku mengajak lelaki-lelaki di lift tadi, namun mereka tidak cocok. Aku cuma bisa pasrah dan membebaskan diri sendiri.

Aku keluar dari lift disambut oleh asap-asap yang menyesakkan dada, menyebabkanku susah bernapas. Aku berusaha tetap terjaga, dan berlari keluar dari gedung. Namun aku tidak berhasil.

Aku pingsan.

Tanggal 14, bulan 9, tahun 2001.

Aku berusaha membuka kedua kelopak mataku. Aneh. Hanya membuka kedua kelopak mata rasanya berat dan sulit. Saat aku berhasil membukanya, yang bisa aku lihat adalah siluet beberapa orang, cahaya, yang blur. Aku mengerjap.

The Great Five and The Death AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang