Sedetik tak berdetak

26 2 0
                                    

Akhirnya aku memutuskan untuk memilih. Langit berongga, seakan sedang menurunkan lara. Aku termangu, memandang pengumuman penerimaan kampusku. Ayah dan ibu tersungging lugu, seakan tak ada duka yang pernah tertorehkan. Aku harusnya bahagia, namun malah bertambah duka.

"Setidaknya kalo kamu masuk jurusan ekonomi, kamu tidak akan jadi seperti bapak" Bapak berbisik ketika memelukku.

"Maksud bapak apa?" apa maksud seperti bapak.

"Iya begini, mematahkan mimpimu." aku menangis dalam dekapnya walau tak mengerti maksudnya.

Esoknya, aku bangun menatap kosong peralatan ospekku. Tak ada gairah, kosong. Semuanya pengap. Aku berangkat ogah-ogahan. Tak sarapan, tak tersenyum.

Bagiku memuakkan mengikuti acara seperti ini. Diatur-atur, disuruh-suruh, tak ada hal kreatif yang bisa kuasah. Ini seperti miniatur dalam dunia kerja. Hidup yang hanya ingin memenuhi kebutuhan. Dikekang dalam sebilik papan dengan komputer di depan. Dijerat oleh dasi yang disangka akan mewibawakan seseorang. Klise.

Hari pertamaku dikampus memang membosankan. Tapi aku tak terima jika hari keduaku bernasib sama. Aku agak semangat karena ada penampilan dari ormawa (organisasi mahasiswa yang akan unjuk gigi) sekaligus pembukaan stand dan pendaftaran untuk anggota baru di ormawa.

Mengenakan setelan batik dan tetap membawa penugasan yang agak ribet, yang katanya adalah bekal untuk kehidupan di kampus, aku bawa dengan amarah yang aku jaga.

"Eh kamu yang disana, ngapain manyun? Ngga terima disuruh bawa penugasan?" kata kakak tingkat yang sedang melihatku mengumpulkan tugas.

"Kalo iya kenapa? Kamu mau membiarkanku tanpa tugas ini? Dasar mentang-mentang kating." ucapku dalam hati.

"Tidak, kak." Jawabku setelah berpikir sejenak, nyaliku ciut.

Dibelakangku, suara laki-laki juga dikatakan sama denganku. Sepertinya bukan maba sepertiku yang punya masalah, tapi dia. Kenyataan hidupnya memang pahit, menjadi panitia tak semudah yang dikira dan kami jadi imbasnya.

Aku berjalan di stand grub tari fakultas. Kulihat laki-laki dibelakangku tadi juga ada disana.

"Ah, mana bisa laki-laki seperti itu menari" pikirku.

Tiba-tiba salah satu kakak-kakak yang di stand menarik aku dan laki-laki itu.   Ia mengajak kami menari, biasa strategi pasar untuk menarik pendaftar. Bisa-bisanya menjadikanku umpan.

"Kalian berdua beruntung sekali mendapatkan kesempatan menari di panggung ini." ia berbisik kepada kami berdua.

Beruntung apanya, ini akan jadi bulan-bulanan yang lain ketika kami membuat kesalahan.

Seperti mengerti maksud isi hatiku, kakak satu ini memberikan aku dan laki-laki ini arahan. Soal gerakan awal, lagu, dan posisi kami.

"Kalian belum kenal kan? Kenalan dulu." ia menyenggol bahu laki-laki itu.

Ia tampak malas menjabat tanganku. Maka aku berinisiatif terlebih dulu. Biar tau rasa, semakin ia tidak suka aku semakin suka. Begitulah prinsipku.

"Aku bizi. Nama kamu siapa?" ucapku dan menjabat tangannya erat.

"Dito"

Ia dingin sekali, tapi kilatan matanya berhasil membuat jantungku tak berdetak dalam sedetik.

Human MachineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang